Category Archives: Ilmu HADITS

Macam-Macam Mursal Dilihat Dari Kekuatannya…

1. Mursal shahabat. ini adalah hujjah. karena shahabat tidak mengambil kecuali dari shahabat lagi sedangkan para shahabat semuanya adil.

2. Mursal Kibaar Tabi’in seperti Mursal Sa’id bin Musayyib.

3. Mursal Tabi’in yang tidak meriwayatkan kecuali dari perawi yang tsiqoh. Seperti Mursal Muhammad bin Sirin.

4. Mursal tabi’in pertengahan yang tidak meriwayatkan kecuali dari perawi yang tsiqoh seperti mursal Atho bin Robah.

5. Mursal Tabi’in kecil. Ini adalah mursal yang paling lemah.

Yang dapat dijadikan hujjah adalah mursal shahabat. Kemudian di bawahnya mursal kibaar tabi’in. ia bisa diterima bila ada qorinah yang menguatkannya. Adapun yang lainnya adalah lemah.

Wallahu a’lam

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Baca artikel terkait sebelumnya : Hadits Mursal…

Hadits Mursal…

Definisi

مَا نَسَبَهُ التَّابِعِي –الَّذِيْ سَمِعَ مِنَ الصَّحَابَةِ- إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ

Hadits yang disandarkan oleh para tabi’in -mereka adalah orang yang mendengarkan hadits dari shahabat- kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat.

Bentuk ungkapan hadits mursal; seorang tabi’in mengatakan,
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda demikian”, “Melakukan demikian”, “Dilakukan hal demikian di hadapan beliau”, atau “Beliau memiliki sifat demikian” seraya memberitakan tentang salah satu sifat beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Contoh; Abdur Razaq mengemukakan riwayat di dalam kitabnya Al Mushannaf(5281)

عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ أَقْبَلَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ، فَقَالَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ

Dari Ibnu Juraij, dari Atha’, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam apabila naik ke mimbar beliau menghadapkan wajah beliau ke orang-orang lalu mengucap, “Assalamu’alaikum.”

Atha’ dalam hadits di atas adalah Atha’ bin Abi Rabah, seorang tabi’in besar, ia mendengarkan hadits dari sejumlah shahabat, tetapi riwayatnya dari Rasulullah adalah mursal.

Apakah Hadits Mursal Bisa Menjadi Hujjah ?

Mengenai masalah ini, terjadi silang pendapat di antara para ulama.

Pendapat pertama: Hadits mursal adalah hadits dho’if dan tertolak.

Yang berpendapat seperti ini adalah mayoritas ulama pakar hadits, serta kebanyakan ulama ushul dan fiqh. Alasan mereka karena dalam hadits mursal terdapat jahalah perowi (ada perowi yang tidak diketahui keadaannya), boleh jadi yang terhapus adalah selain sahabat.

Pendapat kedua: Hadits mursal adalah hadits shahih, bisa dijadikan hujjah.

Yang berpendapat seperti ini adalah tiga ulama madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad) dan juga sekelompok ulama lainnya. Namun mereka memberi syarat, tabi’in yang meriwayatkan hadits mursal harus tsiqoh (terpercaya), sehingga ia tidak meriwayatkan selain dari yang tsiqoh. Hujjah mereka adalah bahwa tabi’in yang tsiqoh mustahil ia katakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, kecuali ia mendengarnya dari yang tsiqoh pula.

Pendapat ketiga: Hadits mursal bisa diterima dengan memenuhi syarat.

Inilah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i dan ulama lainnya.

Syarat yang harus dipenuhi ada empat. Tiga syarat berkaitan dengan perowi dan satu syarat berkaitan dengan hadits mursalnya. Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut.

– Yang meriwayatkan hadits mursal adalah tabi’in senior (bukan junior).
– Tabi’in tersebut dikatakan tsiqoh oleh orang yang meriwayatkannya.
– Didukung oleh pakar hadits terpercaya lainnya yang tidak menyelisihinya.
– Hadits mursal tersebut didukung oleh salah satu dari:
(1) hadits musnad,
(2) hadits mursal lain,
(3) bersesuaian dengan perkataan sahabat, atau
(4) fatwa mayoritas ulama.

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Baca artikel terkait sebelumnya : Hadits-Hadits MU’ALLAQ Yang Ada Dalam Shahih Bukhari…

Hadits-Hadits MU’ALLAQ Yang Ada Dalam Shahih Bukhari…

Telah kita sebutkan bahwa hadits mu’allaq termasuk hadits lemah karena sanadnya yang terputus (baca : Macam-Macam Hadits Dlaif…).

Namun bagaimana dengan hadits hadits mu’allaq yang terdapat dalam shahih Bukhari ? Sementara ia adalah buku yang telah disepakati keshahihannya ?

Al Hafidz ibnu Hajar menjawab dalam kitab Hadyussari muqoddimah fathul baari syarah shahih Bukhari. Secara ringkas bahwa hadits hadits mu’allaq yang ada dalam shahih Bukhari ada yang Marfu’ (dinisbatkan kepada Nabi) dan ada yang Mauquf (dinisbatkan kepada shahabat).

Adapun yang Marfu’ ada dua macam:

Pertama: Yang disebutkan oleh Al Bukhori di tempat lain dalam shahihnya secara bersambung.
Sebab beliau menyebutkannya secara mu’allaq karena beliau biasanya tidak mengulangi sanad kecuali bila ada faidahnya. Bila tidak ada maka beliau sebutkan secara mu’allaq agar tidak menjadi panjang.

Kedua: Yang hanya disebutkan secara mu’allaq saja. Ini ada dua macam:

1. Yang disebutkan dengan Jazm yaitu menggunakan kata kerja aktif.
Jenis ini hukumnya shahih sampai kepada perawi yang dita’liq. Namun setelah perawi tersebut sampai kepada shahabat perlu diperiksa statusnya, dan ini ada dua macam:

A. Yang masuk dalam syaratnya. Sebab beliau menjadikannya mu’allaq diantaranya adalah karena beliau telah menyebutkan hadits lain yang maushul yang mewakilinya. Atau karena tidak mendengar langsung dari syaikhnya. Atau karena merasa ragu dalam mendengar dari syaikhnya. Atau mendengarnya dalam rangka mudzakaroh saja.
Jenis ini biasanya yang beliau riwayatkan dari guru gurunya.

B. Yang tidak masuk dalam syaratnya.
Jenis ini ada yang shahih sesuai syarat ulama lain. Contohnya imam Bukhari berkata, “Berkata Aisyah, “Nabi selalu berdzikir pada setiap keadaannya. Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim.
Ada juga hasan yang dapat dijadikan hujjah. Contohnya perkataan imam Bukhari: “Berkata Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya: “Allah lebih berhak untuk kamu merasa malu kepadaNya dari manusia.”
Dan terkadang lemah bukan karena perawi perawinya tapi karena adanya keterputusan yang ringan dalam sanadnya. Contohnya perkataan Bukhari: “Berkata Thawus berkata Mu’adz bin Jabal kepada penduduk Yaman: “Bawakan kepadaku pakaian sebagai ganti gandum untuk sedekah..dst. Sanadnya shahih kepada Thawus tapi Thawus tidak mendengar dari Muadz.

2. Yang disebutkan dengan bentuk tamridl yaitu menggunakan kata kerja pasif.
Jenis ini tidak bisa dipastikan keshahihannya kepada perawi yang dita’liq, Jenis ini ada yang shahih dan ada juga yang tidak shahih. Inipun ada dua macam:

A. Yang disebutkan di tempat lain dalam shahihnya.
Adapun yang shahih, tidak didapati yang sesuai dengan syaratnya kecuali sedikit sekali. Dan biasanya beliau lakukan untuk periwayatan secara makna. Contohnya perkataan Bukhari: “Disebutkan dari ibnu Abbas dari Nabi shallallahu alaihi wasallam mengenai ruqyah dengan al fatihah.”
Bukhari menyebutkan hadits tersebut dalam tempat lain dalam shahihnya dari jalan Ubaidillah bin Al Akhnas dari ibnu Abi Mulaikah dari ibnu Abbas tentang kisah beberapa shahabat yang singgah di sebuah perkampungan lalu kepala kampung tersebut tersengat kalajengking dan diruqyah oleh seorang shahabat dengan alfatihah.

B. Yang tidak disebutkan dalam tempat lain dalam shahihnya.
Jenis ini ada yang shahih tetapi tidak sesuai dengan syaratnya. Ada juga yang hasan dan ada juga yang dlaif akan tetapi sesuai dengan yang diamalkan oleh para ulama. Ada juga yang dlaif yang tidak memiliki penguat.

Contoh yang shahih yaitu perkataan Bukhari:
“Disebutkan dari Abdullah bin Saib ia berkata, “Rasulullah membaca surat al-mukminun dalam sholat shubuh. Ketika sampai kepada ayat tentang Musa dan Harus beliau batuk lalu ruku.” Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim.

Contoh yang hasan yaitu perkataan Bukhari:
“Dan disebutkan dari Utsman bin Affan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Jika kamu menjual maka wakilkanlah dan jika kamu membeli maka timbanglah.”

Contoh yang dlaif dan sesuai dengan pengamalan ulama yaitu perkataan Bukhari:
Disebutkan dari Nabi bahwa beliau memerintahkan untuk membayarkan hutang sebelum melaksanakan wasiat.
Hadits ini diriwayatkan oleh At Turmidzi dalam sanadnya terdapat Harits Al A’war seorang perawi yang lemah namun para ulama bersepakat mengamalkan makna hadits tersebut.

Contoh yang dlaif yang tidak dikuatkan oleh amalan para ulama sangat sedikit sekali dan biasanya Bukhari mengomentarinya dengan kelemahan. Contohnya perkataan Bukhari: “Disebutkan dari Abu Hurairah secara marfu’: Tidak boleh imam sholat sunnah di tempatnya.” Bukhari berkata: “Tidak shahih.”

Adapun riwayat riwayat mu’allaq yang mauquf maka beliau menjazm yang shahih walaupun tidak sesuai dengan syaratnya. Dan tidak menjazm yang di dalam sanadnya terdapat kelemahan atau terputus kecuali bila ada penguatnya dari jalan lain atau karena kemasyhurannya.

Beliau membawakan fatawa fatawa shahabat dan tabi’in dalam penafsiran ayat untuk menguatkan pendapat yang ia pilih dalam permasalahan yang diperselisihkan diantara para ulama.

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Baca artikel terkait sebelumnya : Macam-Macam Hadits Dlaif…

Macam-Macam Hadits Dlaif…

Hadits dloif yang disebabkan oleh terputusnya sanad ada beberapa macam:

1. Mu’allaq.
2. Mursal.
3. Mu’dlol.
4. Munqothi’.
5. Mudallas.
6. Mursal Khofi.

1. Hadits Mu’allaq.

Definisi

مَا حُذِفَ مِنْ مُبْتَدَأِ إِسْنَادِهِ رَاوٍ فَأَكْثَرَ وَلَوْ إِلَى آخِرِ اْلإِسْنَادِ

Apabila dari awal sanad dihilangkan seorang perawi atau lebih dan seterusnya sampai akhir sanad.

Penjelasan Definisi

Awal Sanad, dihitung dari penyusun kitab.

Seorang rawi atau lebih, yaitu gurunya penyusun kitab, gurunya sang guru, dan seterusnya dihilangkan sanadnya

Sampai akhir sanad, tempat dimana dikatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda”, atau “Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam”

Contoh; Diriwayatkan oleh Al Bukhari di dalam kitabnya Ash Shahih, Kitab Al Iman, Bab: Husnu Islami Al Mar’i (1/17), ia mengatakan,

قَالَ مَالِكٌ، أَخْبَرَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ، أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَسَّارٍ أَخْبَرَهُ، أَنَّ أَبَا سَعِيْدِ الْخُدْرِيّ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا أَسْلَمَ الْعَبْدُ فَحَسُنَ إِسْلاَمُهُ يُكَفِّرُ اللهُ عَنْهُ كُلَّ سَيِّئَةٍ كَانَ زَلْفَهَا، وَكَانَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقِصَاصِ الْحَسَنَةِ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِئَةٍ ضِعْفٍ وَالسَّيِّئَةُ بِمِثْلِهَا، إِلاَّ يَتَجَاوَزُ اللهُ عَنْهَا

Telah berkata Malik, telah memberitakan kepada kami Zaid bin Aslam, bahwa ‘Atha’ bin Yasar memberitahu kepadanya, bahwa Abu Sa’id Al Khudri memberitahu kepadanya, bahwasannya ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda; Apabila seseorang masuk Islam, dengan keislaman yang bagus maka Allah akan menghapuskan semua kejahatannya yang telah lalu. Setelah itu balasan terhadap suatu kebaikan sebanyak sepuluh kali sampai 700 kali lipat dari kebaikan itu, dan balasan kejahatan sebayak kejahatan itu sendiri, kecuali pelanggaran tehadap Allah.

Al Bukhari tidak menyebutkan nama gurunya, padahal ia meriwayatkan hadits dari Imam Malik melalui perantara seorang rawi.

Contoh lain:

Dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam kitabnya Ash Shahih, Kitab ath-Thaharah, Bab Ma Ja’a fi Ghusli Al Baul, (1/51)

وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِصَاحِبِ الْقُبْرِ: كَانَ لاَ تَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada penghuni kubur, “Dahulu dia tidak membersihkan kencingnya.”

Al Bukhari menghilangkan semuasanadnya, dan hanya mengatakan, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda”.

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Baca artikel terkait sebelumnya : Keunggulan Shahih Bukhari di Atas Shahih Muslim…

Keunggulan Shahih Bukhari di Atas Shahih Muslim…

Al Hafidz ibnu Hajar Al Asqolani menyebutkan 6 keunggulan shahih Bukhari di atas shahih Muslim. yaitu:

1. Ada 430 lebih perawi yang bersendirian imam Bukhari dalam meriwayatkannya. Yang diperbincangkan akan kelemahannya hanya 80 orang lebih. Sedang jumlah perawi yang imam Muslim bersendirian mengeluarkannya ada 620 orang dan yang diperbincangkan ada 160 orang. Tidak ragu lagi bahwa meriwayatkan perawi yang tidak diperbincangkan sama sekali lebih baik dari meriwayatkan perawi yang diperbincangkan.

2. Perawi perawi Bukhari yang diperbincangkan tersebut tidak sering diriwayatkan oleh Bukhari hadits hadits mereka kecuali naskah Ikrimah dari ibnu Abbas.
Berbeda dengan Muslim. Ia sering meriwayatkan hadits perawi perawinya yang diperbincangkan kelemahannya. Seperti periwayatan AbuZubair dari Jabir, Suhail dari ayahnya dan sebagainya.

3. Perawi perawi Bukhari yang diperbincangkan tersebut kebanyakan adalah guru langsung imam Bukhari yang beliau telah mengetahui betul hadits haditsnya dan memilahnya antara yang shahih dan yang tidak.
Berbeda dengan Muslim. Kebanyakan perawinya yang diperbincangkan tersebut adalah dari kalangan tabi’in dan setelahnya yang tentunya imam Muslim tidak sezaman dengannya.

4. Imam Bukhari meriwayatkan perawi perawi tingkatan kedua dengan dipilih pilih. Sedang Muslim meriwayatkan mereka sebagai pokok sebagaimana dikatakan oleh Abu Bakr Al Hazimi.

5. Bukhari mensyaratkan seorang perawi harus benar benar bertemu dengan gurunya dalam isnad yang mu’an’an. Sedangkan Muslim hanya mencukupkan sezaman antara murid dan guru dan ada kemungkinan bertemu. Walaupun pendapat Muslim bisa diterima namun tentu syarat Bukhari lebih kuat.

6. Hadits hadits shahih Bukhari dan Muslim yang dikritik oleh para ulama seperti imam Ad Daroquthni semuanya berjumlah 210 hadits. 80 kurang dalam shahih Bukhari dan selebihnya dalam shahih Muslim. Tentu yang lebih sedikit dikritik hadits haditsnya lebih baik dari yang lebih banyak dikritik.

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Baca artikel terkait sebelumnya : Hadits Lemah…

Hadits Lemah…

Hadits lemah atau dlaif adalah hadits yang tidak terpenuhi padanya salah satu syarat hadits SHAHIH dan HASAN.

Sebab kelemahan hadits ada dua:
1. Terputusnya sanad. Baik terputusnya di awal atau di akhir atau ditengah, baik gugurnya perawi itu satu odang atau lebih. Dan setiap itu ada namanya tersendiri sebagaimana nanti akan di bahas.

2. Cacat pada perawinya.
Cacat yang ada pada perawi ada dua macam:

A. Cacat pada keadilannya.
Ada lima jenis cacat yang berhubungan dengan keadilan perawi hadits, yaitu:
Berdusta,
tertuduh berdusta,
berbuat dosa besar (fasiq),
berbuat bid’ah,
dan majhul.

B. Cacat yang berhubungan dengan kedlobitan perawi.
Inipun ada lima jenis, yaitu:
Buruk hafalan,
Banyak wahm,
Banyak menyelisihi,
Ghoflah (lalai).
Fuhsyul gholath (Amat banyak salahnya).

Ada juga sebab kelemahan hadits yang tidak berhubungan dengan keadilan dan kedlabitan seperti tadlis.

Baca artikel terkait sebelumnya : Hadits Hasan – part 2 – Hasan Lighairihi…

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Hadits Hasan – part 2 – Hasan Lighairihi…

Hasan lighairihi

Definisi imam At Tirmidzi tentang hadits hasan sebetulnya cocok untuk hasan lighairihi.

Beliau berkata, “semua hadis yang diriwayatkan, dimana dalam sanadnya tidak ada yang dituduh berdusta, serta tidak ada syadz dan diriwatkan dari selain jalan sepereti demikian, maka dia menurut kami adalah hadis hasan.”

Artinya bila suatu hadits yang lemahnya tidak berat, dikuatkan oleh jalan lain yang sama kelemahannya maka ia naik derajatnya menjadi Hasan Lighairihi.

Jadi sebetulnya hasan lighairihi itu asalnya adalah hadits lemah, namun dikuatkan oleh jalan lain yang selevel sehingga menjadi hasan dengannya.

Hadits yang tidak berat kelemahannya adalah bila perawinya bukan perawi pendusta atau tertuduh dusta, atau fahisyul gholat (sangat banyak kesalahannya) dan bukan hadits yang syadz.

Adapun bila perawinya dlo’if saja atau buruk hafalannya, atau majhul atau sanadnya terputus, maka ini tidak berat kelemahannya.

Dlo’if yang tidak berat + dlo’if yang tidak berat = hasan lighairihi.

Dlo’if yang tidak berat + mursal yang shahih = hasan lighairihi.

Dlo’if yang berat + dlo’if yang tidak berat= dlo’if.

Contoh Hasan Lighairihi

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi rahimahullah dan beliau mengatakannya hasan, dari jalur Syu’bah bin ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dari ‘Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah dari bapaknya, bahwasanya ada seorang perempuan dari Bani Fazarah menikah dengan mahar dua sendal. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:

أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ؟ ». فَقَالَتْ : نَعَمْ فَأَجَازَ

”Apakah engkau rela (ridha) sebagai gantimu dan hartamu dua sandal (maksudnya apakah engaku rela maharmu dua sandal).” Perempuan itu menjawab:”Iya (saya rela)” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkannya.

Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata:”Dan dalam bab ini ada hadits dari ‘Umar, Abu Hurairah, dan ‘Aisayh radhiyallahu ‘anhum.”

Maka ‘Ashim adalah seorang yang dha’if disebabkan buruknya hafalan. Namun imam at-Tirmidzi telah mengatakan bahwa hadits ini hasan dikarenakan datangnya riwayat ini dari banyak jalan.

Hadits hasan lighairihi termasuk hadits maqbul dan bisa dijadikan hujjah baik dalam hukum maupun aqidah.

Baca artikel terkait : Hadits HASAN – part 1 – Hasan Lidzatihi…

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Hadits HASAN – part 1 – Hasan Lidzatihi…

Hadits Hasan ada dua macam:
Hasan lidzatihi dan
Hasan lighairihi.

Hasan lidzatihi.
Definisi yang paling bagus adalah definisi Ibnu Hajar: beliau berkata, ia adalah hadis ahad yang diriwayatkan oleh yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersanbung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz maka dia adalah hadis shahih li-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadis hasan li dszatihi.

Dari definisi beliau ini dapat kita lihat bahwa perbedaan hadits shahih dengan hadits hasan adalah dalam masalah kedlabitan saja.

Bila kedlabitannya sempurna maka ia shahih haditsnya. Perawi yang sempurna kedlabitannya diungkapkan oleh para ulama dengan istilah: Tsiqoh.

Bila kedlabitannya kurang maka disebut hasan. para ulama mengungkapkan perawi yang kurang kedlabitannya dengan istilah shoduq atau laa basa bihi atau laisa bihi basa.

contoh hadits hasan

عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (( أكثروا من شهادة أن لا إله إلا الله قبل أن يحال بينكم و بينها, و لقينو ها موتاكم ))

“Dari Abu Hurairah, beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Perbanyaklah bersyahadat Laa ilaaha illallahu (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah) sebelum kalian terhalangi darinya. Dan ajarilah syahadat tersebut kepada orang yang sedang menghadapi sakaratul maut diantara kalian.”

Hadits ini derajatnya hasan karena di sanadnya ada rowi yang bernama Dhimam bin Isma’il.

Al Hafizh Adz Dzahabi rahimahullah berkomentar tentang dirinya : “Shalihul hadits, sebagian ulama melemahkan dirinya tanpa hujjah”.

Abu Zur’ah Al ‘Iroqy rahimahullah dalam kitab Dzailul Kaasyif (hal 144)menukil komentar Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah terhadap Dhimam bin Isma’il : “Shalihul hadits”. Dan juga komentar Abu Hatim rahimahullah : “Shoduq dan ahli ibadah”. Dan juga komentar An Nasa’I rahimahullah : “Laa ba’sa bihi”.

Al Hafizh Ibnu Hajar berkomentar tentangnya : “Shoduq tapi terkadang salah (hafalannya)”

Maka hadits seperti ini minimal berderajat hasan.

(Disarikan dari At Ta’liqaat  ‘alal Manzhumah Al Baiquniyyah karya Syaikh Ali Hasan Al Halabi hafizhahullah hal. 22-23, cet. Daar Ibnul Jauzy)

Hukum Hadits Hasan.

Hadits hasan dalam hal statusnya sebagai hujjah sama seperti hadits shahih, yakni sama-sama bisa dipakai sebagai hujjah, meskipun kekuatannya lebih lemah daripada hadits shahih. Oleh karena itu, seluruh fuqoha berhujjah dengan hadits hasan dan beramal dengannya. Mayoritas para ahli hadits dan ulama ushuliyyun juga berhujjah dengan hadits hasan.

Baca artikel terkait sebelumnya : Hadits SHAHIH… part 5

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Shahih Bukhari… part 2

Hadis-hadis yang terdapat dalam Sahih Bukhâri dikelompokkan berdasarkan topik-topik tertentu yang tersusun dalam beberapa kitab dan bab. Jumlah Hadis dalam setiap kitab dan bab bervariasi.

Pada satu bab bisa memuat Hadis yang banyak, namun pada bab yang lain bisa hanya memuat satu atau dua Hadis saja. Bahkan pada beberapa bab hanya berisi ayat-ayat Al-Quran saja tanpa satu pun Hadis didalamnya, atau hanya terdapat judul bab tanpa ada satu pun Hadis maupun ayat-ayat Alquran di dalamnya, untuk memudahkan baginya menemukan Hadis sesuai dengan bab tersebut pada suatu saat.

Isi kitab Sahih al-Bukhâri dibagi ke dalam 97 kitab dan 3.450 bab. Dimulai dari pembahasan tentang wahyu dan ditutup dengan pembahasan tauhid. Dalam menyusun kitabnya, al-Bukhâri menggunakan susunan dan topik-topik yang lazim digunakan dalam ilmu fiqih. Hadis-hadis dipilah-pilah dan dikelompokkan berdasarkan bidang-bidang yang menjelaskan bagian-bagian yang ada, dengan menyebutkan secara lengkap sanad-sanadnya.

Metode dan sistematika penulisannya adalah:

1. Mengulangi Hadis jika diperlukan dan memasukkan ayat-ayat Al-Quran;

2. Memasukkan fatwa sahabat dan tabi‟in sebagai penjelas terhadap Hadis yang ia kemukakan;

3. Menta‟liqkan (menghilangkan sanad) pada Hadis yang diulang karena pada tempat lain sudah ada sanadnya yang bersambung; 4. Menerapkan prinsip-prinsip al-jarh wa at-ta‟dil;

5. Mempergunakan berbagai Sighat Tahammul;

6. Disusun berdasar tertib fiqih.

Adapun teknik penulisan yang digunakan adalah:

1. Memulainya dengan menerangkan wahyu, karena ia adalah dasar segala syari‟at;

2. Kitabnya tersusun dari berbagai tema;

3. Setiap tema berisi topik-topik;

4. Pengulangan Hadis disesuaikan dengan topik yang dikehendaki tatkala mengistinbatkan hukum.

Badru Salam, حفظه الله

Shahih Bukhari… part 1

Shahih Bukhari… part 1

Nama lengkap shahih al Bukhâri adalah:

الجامع المسند الصحيح المختصر من أمور رسول الله صلى الله عليه وسلم وسننه وأيامه

Ensiklopedi musnad yang shahih tentang urusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sunnah sunnah dan kesehariannya.

Ada tiga sebab mengapa beliau menulis kitab ini, yaitu:

1. Belum adanya kitab hadis yang khusus memuat hadis-hadis shahih saja. Al Hafiz ibn Hajar al Asqalani berkata: “Ketika beliau (Imam Bukhâri) melihat kitab-kitab hadis yang ditulis sebelumnya telah memuat bermacam-macam hadis, ada yang shahih, hasan dan banyak pula yang dha‟if, maka tidak dapat disamakan antara hadis dha‟if dengan hadis Shahih, oleh sebab itu beliau tertarik untuk mengumpulkan hadis-hadis shahih saja.” (Hadyussaari hal. 6)

2. Ada motifasi dari guru beliau, yakni Ishak bin Rahuwaih. Ibnu Hajar berkata: Dan keinginannya tersebut menjadi kuat setelah ia mendengar gurunya yang termasuk pakar dalam bidang hadis dan fiqih, yaitu Ishak bin Rahuwaih, ia berkata: “Andaikata engkau menulis satu buku hadis yang berisikan hadis-hadis shahih (maka hal tersebut sangatlah baik)”. Kemudian Imam Bukhâri berkata: “Perkataan tersebut membekas dalam hatiku, kemudian aku mengumpulkan hadis-hadis shahih dalam kitab tersebut”.

3. Ada motivasi dari mimpi baiknya. Imam Bukhâri pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Beliau berkata:

“Aku pernah bermimpi bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam , aku berdiri di hadapannya dan mengipasinya, kemuadian aku menayakan mimpi tersebut kepada orang yang ahli mena’birkan mimpi, ia berkata: “Kamu menolak kedustaan yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam”. Hal itulah yang menyebabkan aku menulis al-Jâmi‟ al Shahîh”.

Imam Bukhâri telah menyusun kitabnya secara sungguh-sungguh dan teliti selama 16 tahun sehingga seperti yang kita lihat dan baca pada saat ini. Kesungguhan dan ketelitian ini disampaikan sendiri oleh Imam Bukhâri dan juga Ulama lainnya.

Al Waraq menyampaikan pernyataan Imam Bukhâri: “Aku susun kitab al-Jâmi‟ dari enam ratus ribu hadis selama waktu enam belas tahun”.

Ibnu „Adi juga menyampaikan berita dari beberapa guru beliau bahwa Imam Bukhâri menyusun judul Bab dalam Shahîhnya antara kuburan Nabi dan Mimbarnya dan beliau shalat dua raka’at untuk setiap judul babnya.

bersambung…

Badru Salam, حفظه الله