Category Archives: Ilmu HADITS

Kitab-Kitab Kumpulan Hadits Shahih…

Yang pertama kali mengumpulkan hadits shahih adalah imam Al Bukhari rahimahullah, lalu setelahnya imam Muslim. Kedua buku ini disepakati oleh para ulama akan keshahihannya kecuali beberapa hadits yang dikritik oleh para ulama setelahnya.

Lalu diikuti oleh imam ibnu Khuzaimah. Beliau menulis kitab shahih juga namun syarat beliau termasuk kategori longgar. Kemudian diikuti oleh muridnya yaitu ibnu Hibban namun beliau lebih longgar dari gurunya.

Lalu diikuti oleh imam Al Hakim dengan kitab mustadroknya. Namun beliau terlalu longgar dan banyak terdapat kekeliruan padanya. Hal ini dikarenakan beliau menulis kitabnya dua kali. Kali pertama hanya sebatas mengumpulkan, dan kali kedua lebih menyaringnya lagi. Namun hanya sampai sepertiga kitab saja karena beliau didahului oleh ajal. Oleh karena itu seperti tiga pertama lebih bersih dibandingkan dua pertiga sisanya. Semoga Allah memaafkan beliau.

Kita akan membahas kitab kitab tersebut satu persatu in sya Allah.

Badru Salam, حفظه الله 

Artikel berikutnya, Klik :

Shahih Bukhari… part 1

Tingkatan Hadits Shahih…

Hadits shahih itu bertingkat tingkat dilihat dari tingkatan ketsiqohan perawi perawinya.

Manfaat mengenal tingkatan hadits itu di saat terjadi pertentangan dan tidak mungkin dikompromikan. Maka hadits yang lebih shahih tentu lebih diunggulkan dari yang lebih rendah darinya

Tujuh Tingkatan Hadits Shohih

1) Hadits yang diriwayatkan secara sepakat oleh al-Bukhari dan Muslim (Ini tingkatan paling tinggi)

2) Hadits yang diriwayatkan secara tersendiri oleh al-Bukhari

3) Hadits yang dirwayatkan secara tersendiri oleh Muslim

4) Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan keduanya sedangkan keduanya tidak mengeluarkannya

5) Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan al-Bukhari sementara dia tidak mengeluarkannya

6) Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan Muslim sementara dia tidak mengeluarkannya

7) Hadits yang dinilai shahih oleh ulama selain keduanya seperti Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân yang bukan berdasarkan persyaratan kedua imam hadits tersebut (al-Bukhari dan Muslim).

Badru Salam,  حفظه الله تعالى 

Sanad Yang Paling Shahiih…

Setelah kita mengetahui syarat syarat hadits shahih. Kita akan melanjutkan membahas tentang sanad yang paling shahih.

Para ulama berbeda pendapat tentang sanad yang paling shahih. Yang paling kuat adalah tidak bisa kita pastikan mana yang paling shahih karena amat sulit untuk mewujudkan kriteria derajat yang paling tinggi dari keshahihan.

Namun para ulama menyebutkan sanad sanad yang paling shahih:

Menurut Imam al-Bukhari
, “Sanad yang paling shahih adalah riwayat dari Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar.

Ibnu Hanbal dan Ishaq bin Rahuuyah: Riwayat dari Az-Zuhri dari Salim bin Abdullah bin Umar dari Abdullah bin Umar.

Menurut Al-Ijliy dan Ibnu al-Mubarak: Riwayat dari Sufyan dari Manshur dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah bin Mas’ud.

Ibnu Ma’in : Riwayat dari Sulaiman al-A’masy dari Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i dari Alqamah dari Abdullah bin Mas’ud.

Sementara imam Al Hakim memberikan urutan sanad yang paling shahih sesuai jalur shahabatnya. Yaitu:

Sanad Abu Bakr Ash-Shiddiiq yang paling shahih adalah :

1. Ismaa’iil bin Abu Khaalid – Qais bin Abi Haazim – Abu Bakr Ash-Shiddiiq

Sanad ‘Umar bin Al-Khaththaab yang paling shahih adalah :

2. Az-Zuhriy – Saalim bin ‘Abdillaah bin ‘Umar – Ayahnya – Kakeknya ; ‘Umar

Sanad Abu Hurairah yang paling shahih adalah :

3. Az-Zuhriy – Sa’iid bin Al-Musayyab – Abu Hurairah

Dan diriwayatkan sebelumnya dari Al-Bukhaariy, sanad paling shahih Abu Hurairah ini : Abu Az-Zinaad – Al-A’raj – Abu Hurairah
Dihikayatkan oleh yang lainnya dari Ibnul Madiiniy : Hammaad bin Zaid – Ayyuub – Muhammad bin Siiriin – Abu Hurairah

Sanad Ibnu ‘Umar yang paling shahih :

4. Maalik – Naafi’ – Ibnu ‘Umar

Sanad ‘Aaisyah yang paling shahih :

5. ‘Ubaidullaah bin ‘Umar – Al-Qaasim bin Muhammad – ‘Aaisyah

Yahyaa bin Ma’iin berkata, “Susunan ini adalah Syabakah Adz-Dzahab (jaringan sanad emas).” Lalu termasuk sanad ‘Aaisyah yang paling shahih pula adalah : Az-Zuhriy – ‘Urwah bin Az-Zubair – ‘Aaisyah

Sanad ‘Abdullaah bin Mas’uud yang paling shahih :

6. Sufyaan Ats-Tsauriy – Manshuur bin Al-Mu’tamir – Ibraahiim An-Nakha’iy – ‘Alqamah bin Qais – Ibnu Mas’uud

Sanad Anas bin Maalik yang paling shahih :

7. Maalik – Az-Zuhriy – Anas

Sanad Sa’d bin Abi Waqqaash yang paling shahih :

8. ‘Aliy Zainul ‘Abidin bin Al-Husain bin ‘Aliy – Sa’iid bin Al-Musayyab – Sa’d bin Abi Waqqaash

Sementara sanad penduduk Makkah yang paling shahih adalah :

1. Sufyaan bin ‘Uyainah – ‘Amr bin Diinaar – Jaabir bin ‘Abdillaah

Sanad penduduk Yamaan yang paling shahih :

2. Ma’mar bin Raasyid – Hammaam bin Munabbih – Abu Hurairah

Sanad penduduk Mesir yang paling tsabit :

3. Al-Laits bin Sa’d – Yaziid bin Abu Habiib – Abul Khair – ‘Uqbah bin ‘Aamir

Sanad penduduk Khurasan yang paling tsabit :

4. Al-Husain bin Waaqid – ‘Abdullaah bin Buraidah – Ayahnya ; Buraidah Al-Aslamiy

Dan sanad penduduk Syaam yang paling tsabit :

5. Al-Auzaa’iy – Hassaan bin ‘Athiyyah – dari sahabat.

Badru Salam, حفظه الله 

Hadits SHAHIH… part 5

Hadits shahih adalah yang terpenuhi padanya lima syarat:

Syarat pertama: Bersambung sanadnya. (baca part 1)
Syarat kedua: Perawinya adil. (baca part 2)
Syarat ketiga: Dlobith (baca part 3)
Syarat keempat: Tidak syadz (baca part 4)

Syarat kelima: Tidak ditemukan padanya illat.

Illat adalah ungkapan tentang sebab yang tersembunyi dan merusak. Dimana secara lahiriyah hadits tersebut selamat darinya. Namun setelah dikumpulkan semua jalannya tampaklah bahwa ada padanya illat.

Jadi illat itu harus memenuhi dua syarat yaitu tersembunyi dan merusak sanad atau matan atau keduanya.

Jenis illat

Illat terdapat pada sanad dengan memursalkan yang maushul misalnya. Terdapat juga pada matan karena kesalahan perawinya atau keduanya.
Yang sering terjadi illat itu terdapat pada sanad.
Pembahasan illat akan dibahas lagi di pembahasan hadits mu’allall إن شاء الله

Bagaimana mengetahui illat ?

Diketahui illat dengan beberapa cara:
1. Ilham dari Allah. Seorang alim hadits diberikan firasat yang amat kuat untuk merasakan adanya illat. Abdurrohman bin Mahdi berkata: Mengetahui illat hadits adalah ilham.

2. Seringnya membahas hadits dan perawi perawinya.

3. Mengumpulkan semua jalan jalannya dan membandingkan tingkat ketsiqohannya.

4. Pernyataan dari seorang ulama hadits terkemuka bahwa terdapat illat pada hadits tersebut.

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Hadits SHAHIH… part 4

Hadits shahih adalah yang terpenuhi padanya lima syarat:

Syarat pertama: Bersambung sanadnya. (baca part 1)
Syarat kedua: Perawinya adil. (baca part 2)
Syarat ketiga: Dlobith (baca part 3)

Syarat keempat: Tidak syadz

Syadz adalah periwayatan perawi yang maqbul (diterima) yang menyelisihi periwayatan perawi yang lebih tsiqoh darinya.

Perawi maqbul maksudnya adalah perawi yang diterima baik ia berstatus tsiqoh yang haditsnya shahih atau shoduq yang haditsnya hasan.

Tatacara mengetahui syadz:

Ada dua cara untuk mengetahui apakah suatu hadits itu syadz atau tidak, yaitu:

1. Mengumpulkan semua jalan jalan hadits dan lafadz lafadznya dari kitab kitab hadits untuk melihat apakah ada perselisihan para perawi hadits tersebut pada sanad dan matannya atau tidak. Bila terjadi perselisihan, maka kita gunakan cara kedua:

2. Memperhatikan derajat derajat ketsiqohan perawi dan membandingkannya, mana yang lebih tsiqoh dan mana yang tidak. Periwayatan yang lebih tsiqoh tentu lebih didahulukan.
Untuk mengetahui derajat ketsiqohannya tentu harus merujuk kitab kitab aljarh watta’dil.

Derajat perawi hadits.

Perawi perawi hadits itu berderajat:

1. Perawi yang amat tsiqoh, dimana periwayatannya tetap diterima walaupun diselisihi oleh perawi lain yang tsiqoh seperti para imam masyhur seperti imam Ahmad, Ali bin AlMadini, Ak Bukhari, dan sebagainya.

2. Perawi yang tsiqoh dan diterima periwayatannya bila bersendirian dan ditolak bila menyelisihi. Ini adalah keadaan mayoritas perawi shahih dan hasan.

3. Perawi yang diterima bila ada mutab’ah, dan ditolak bila bersendirian. Ini adalah perawi perawi yang memliki kelemahan yang tidak berat.

4. Perawi perawi yang tetap tidak diterima walaupun ada mutaba’ah. Apalagi bila sendirian. Ini adalah perawi perawi yang berat kelemahannya.

Bersambung… part 5

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Hadits SHAHIH… part 3

Hadits shahih adalah yang terpenuhi padanya lima syarat:

Syarat pertama: Bersambung sanadnya. (baca part 1)
Syarat kedua: Perawinya adil. (baca part 2)

Syarat ketiga: Dlobith

Dlobith artinya menguasai hadits yang ia riwayatkan dan selamat dari kesalahan atau kelalaian.

Dlobith ada dua macam:

1. Dlobith shodr. Yaitu menguasai hadits dengan hafalan dan hafalannya tidak berubah sampai akhir hayatnya. bila berubah maka periwayatan setelah berubah tidak diterima.

2. Dlobith kitab. Yaitu menguasai dengan kitab, dimana ia memiliki catatan yang selamat dari kesalahan dan telah dimuqobalah dengan kitab asalnya.

Sebagian perawi hadits ada yang diterima periwayatannya bila meriwayatkan dari hafalan tapi tidak diterima bila meriwayatkan dari catatan. Sebagian lagi ada yang sebaliknya. Dan ada juga yang diterima dari keduanya.

Bagaimana mengetahui kedlabitan perawi?

Ada dua cara yang digunakan oleh para ahli hadits untuk mengetahui kedlabitan perawi, yaitu:

Pertama: Membandingkan periwayatannya dengan periwayatan perawi-perawi lain yang terkenal ketsiqahan dan ke-dhabit-annya.
Jika mayoritas periwayatannya sesuai walaupun dari sisi makna dengan periwayatan para perawi yang tsiqah tersebut dan penyelisihannya sedikit atau jarang maka ia dianggap sebagai perawi yang dhabit. Dan jika periwayatannya banyak menyelisihi periwayatan perawi-perawi yang tsiqah tadi maka ia dianggap kurang atau cacat kedlabitannya dan tidak boleh dijadikan sebagai hujah. Akan tetapi jika si perawi tersebut mempunyai buku asli yang shahih dan ia menyampaikannya hanya sebatas dari buku bukan dari hafalannya maka periwayatannya dapat diterima.

Kedua: Menguji perawi.
Bentuk-bentuk ujian kepada perawi bermacam-macam diantaranya adalah dengan membacakan padanya hadits-hadits lalu dimasukkan di sela-selanya periwayatan orang lain, jika ia dapat membedakan maka ia adalah perawi yang tsiqah dan jika tidak dapat memebedakannya maka ia kurang ketsiqahannya.

Diantaranya juga adalah membolak-balik matan dan sanad sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli hadits Baghdad terhadap imam Bukhari. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menguji perawi, sebagian ulama mengharamkannya seperti Yahya bin Sa’id Al Qathan dan sebagian lagi melakukannya seperti Syu’bah dan Yahya bin Ma’in. Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah memandang bahwa menguji perawi adalah boleh selama tidak terus menerus dilakukan pada seorang perawi karena mashlahatnya lebih banyak dibandingkan mafsadahnya yaitu dapat mengetahui derajat seorang perawi dengan waktu yang cepat.

Hal hal yang meniadakan kedlabitan.

Ada tujuh perkara yang merusak kedlabitan perawi hadits, yaitu:

1. Katsrotul wahm: Yaitu perawi banyak melakukan wahm (kesalahan karena kurangnya menguasai) seperti memursalkan hadits yang harusnya mausul. Atau memuqufkan hadits yang seharusnya marfu dan sebaliknya.

2. Seringkali menyelisihi periwayatan perawi lain yang lebih tsiqot.

3. Buruk hafalan. Yaitu sisi salahnya tidak dapat mengalahkan sisi benarnya, artinya dua kemungkinan itu sama sama kuat.

4. Fuhsyul gholath. Yaitu kesalahan perawi dalam meriwayatkan hadits jauh lebih banyak dari periwayatannya yang benar.

5. Syiddatul ghoflah. Yaitu perawi tidak memiliki kepiawaian untuk membedakan mana riwayatnya yang benar dan mana yang salah.

6. Terlalu longgar dalam catatannya sehingga ia tidak berusaha membetulkan kesalahannya atau membandingkannya dengan kitab asal. Ini khusus untuk dlobit kitab.

7. Tidak memiliki ilmu tentang apa saja yang merusak makna hadits. Ini khusus ketika meriwayatkan secara makna.

Bersambung… part 4

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Hadits SHAHIH… part 2

Hadits shahih adalah yang terpenuhi padanya lima syarat:

Syarat pertama: Bersambung sanadnya. Dari awal sanad sampai akhir sanad. (baca part 1)

Syarat kedua: Perawinya adil.

Disebut adil apabila memenuhi lima syarat:
1. Muslim. Maka periwayatan orang kafir tidak diterima. kecuali bila ia masuk islam dan meriwayatkan apa yang ia dengar di saat kafir setelah islamnya.

2. Baligh. diterima Apa yang ia dengar di saat belum baligh lalu disampaikan setelah baligh.

3. Berakal.

4. Tidak fasiq. Yaitu pelaku dosa besar atau pelaku bid’ah. Adapun pelaku dosa besar maka tidak boleh diterima secara mutlak. Sedangkan pelaku bid’ah dapat diterima jika ia tsiqoh, amanah, dan tidak menghalalkan dusta.

5. Tidak melakukan khowarim almuruah. Seperti terbiasa meninggalkan sunnah sunnah muakkadah, atau melakukan adab adab yang buruk. maka yang seperti ini tercela pelakunya.

bersambung… part 3

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Hadits SHAHIH… part 1

Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan perawi perawinya yang adil dan sempurna kedlobitannya, tidak syadz dan tidak mengandung illat yang merusak keabsahannya.

Definisi ini memberikan kepada kita faidah bahwa hadits shahih adalah yang terpenuhi padanya lima syarat:

Syarat pertama: Bersambung sanadnya. Dari awal sanad sampai akhir sanad.

Kebersambungan sanad ada yang sharih (jelas) yaitu dengan menggunakan lafadz yang menunjukkan kepada mendengar atau mengambil langsung dari gurunya seperti lafadz: haddatsana, akhbarona, sami’tu dan semacamnya.

Ada juga yang tidak shorih, yaitu dengan menggunakan lafadz yang mengandung ihtimal (kemungkinan) mendengar atau tidak, seperti lafadz ‘an (dari), dan qoola (ia berkata).

Lafadz yang tidak shorih ini dianggap bersambung bila:
1. Perawinya tidak mudallis. Akan dibahas makna mudallis pada tempatnya in sya Allah.

2. Ada kemungkinan besar bertemu, seperti sezaman dan satu daerah dan sebagainya.

Jika perawinya mudallis maka tidak diterima periwayatannya dengan menggunakan lafadz ‘an atau qoola. Dan diterima bila menggunakan lafadz yang shorih ssperti haddatsana dsb bila perawi mudallis ini tsiqoh.
Kecuali bila perawi mudallis ini amat banyak meriwayatkan dari seorang syaikh maka perbuatan para ulama menunjukkan tetap diterima seperti periwayatan Al A’masy dari ibrahim An Nakho’iy dan sebagainya.

Demikian pula tidak diterima bila ada indikasi atau pernyataan ulama bahwa perawi tersebut tidak mendengar dari syaikhnya.

bersambung… part 2

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Hukum Hadits AHAD…

Setelah kita mengenal hadits ahad, maka ketahuilah bahwa semua ulama bersepakat wajibnya menerima hadits ahad baik dalam hukum maupun dalam aqidah bahkan dalam semua sisi agama.

Al-Imam Asy Syafi’i berkata dalam kitab beliau Ar Risalah, “Apabila satu orang boleh berbicara dalam suatu cabang ilmu tertentu, bahwa kaum muslimin yang lalu maupun yang sekarang telah bersepakat atas validnya berargumen dengan hadits ahad dan mencukupkan diri dengannya. Dan tidak diketahui seorang pun fuqaha’ dari kaum muslimin kecuali mereka menetapkan validitas argumen dengan hadits ahad. Maka boleh juga untukku menetapkannya Akan tetapi aku berkata, “Aku tidak hafal adanya seorang pun fuqaha kaum muslimin yang berselisih dalam masalah penetapan khabar ahad.”

Maksudnya beliau tidak mengetahui adanya perselisihan. Beliau tidak menyatakan dengan tegas adanya ijma sebagai bentuk kehati hatian dan waro’. Tetapi adanya ijma wajibnya menerima kabar ahad telah dinyatakan oleh banyak ulama.

Al-Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata, “Adapun tingkatan yang kedelapan: Meyakini telah bersepakatnya umat atas hal-hal yang telah diketahui dan diyakini, yaitu dengan menerima hadits-hadits dan menetapkan sifat-sifat Rabb Ta’ala dengannya. Dalam hal ini tidak boleh meragukan suatu khabar yang sedikit penukilnya, yaitu dari kalangan shahabat radhiyallahu ‘anhum. Merekalah yang meriwayatkan hadits-hadits dan sebagian mereka saling bertemu satu sama lain dan saling menerima kabar tersebut, dan tidak ada satupun dari mereka yang mengingkari riwayat (ahad) tersebut. Kemudian bertemulah mereka dengan segenap tabi’in, dari awal sampai akhir’” (Mukhtashar As Shawa’iq Al Mursalah).

Al-Imam Ibn Abdil Barr berkata mengenai khabar ahad dan sikap para ulama terhadapnya, “Seluruh ulama berpegang dengan khabar ahad yang ‘adl dalam masalah aqidah, mereka menetapkan loyalitas dan permusuhan dengan khabar ahad, meyakininya sebagai sumber dalam syariat dan agama, dan seluruh ahlus sunnah bersepakat dalam hal ini.” –selesai kutipan dari kitab At Tamhid 1/8.

Badru Salam,  حفظه الله تعالى 

Hadits AHAD… part 5

Macam macam hadits gharib

Dilihat dari posisi menyendirinya, hadits gharib dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Gharib mutlaq atau fard mutlaq

Yaitu hadits yang rawi menyendirinya terletak di asal sanad, yaitu dari kalangan shahabat.

Contohnya:

إنما الأعمال بالنيات…

Artinya: “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya…”

Takhrij Hadits: Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari [1] dan Muslim [1907]. ‘Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu menyendiri dalam periwayatan hadits ini.

2. Gharib nisbi atau fard nisbi

Yaitu hadits yang rawi menyendirinya terletak di tengah-tengah sanad, sedangkan di awal sanadnya terdapat lebih dari satu orang rawi.

Contohnya:

Hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari az-Zuhri, dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki Makkah dan di atas kepalanya ada mighfar (sejenis penutup kepala). Malik menyendiri meriwayatkan hadits ini dari az-Zuhri.

Hadits ini dikeluarkan oleh al-Bukhari [4286, 5808] dan Muslim [1357].

Macam-Macam Gharib Nisbi Ditinjau dari Menyendirinya Suatu Hal Tertentu:

(1) Menyendirinya seorang yang tsiqah dalam periwayatan hadits. Misalnya dikatakan: “Tidak ada seorang tsiqah pun yang meriwayatkannya, kecuali fulan”.

(2) Menyendirinya seorang rawi tertentu dari rawi tertentu. Misalnya dikatakan: “Fulan A menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini dari Fulan B”. Walaupun ada jalur lain yang juga meriwayatkan hadits ini.

(3) Menyendirinya penduduk negeri tertentu dalam periwayatan hadits. Misalnya dikatakan: “Penduduk Makkah menyendiri dalam meriwayatkannya”.

(4) Menyendirinya penduduk negeri tertentu dari penduduk negeri tertentu lainnya. Misalnya dikatakan: “Penduduk Bashrah menyendiri meriwayatkan hadits ini dari penduduk Madinah”.

Rujukan:

1. Taysir Mushthalah al-Hadits karya Mahmud ath-Thahhan

Badru Salam,  حفظه الله تعالى