Kematian merupakan sunatullah yang pasti menimpa setiap makhluk yang bernyawa, sebagaimana firman Allah:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan (QS. Al Ankabut: 57)
Dan firman Allah:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al Mulk: 2)
Sehingga sudah menjadi satu keharusan bagi kita untuk mengetahui hukum dan adab seputar masalah ini. Diantara masalah yang belum banyak diketahui masyarakat kita, khususnya di Indonesia adalah permasalahan berkabung.
Berkembang dewasa ini atau sebelumnya realita yang menyelisihi syariat islam dalam permasalahan berkabung ini. Diantaranya berkabung dengan menaikkan bendera setengah tiang untuk wafatnya seorang pemimpin atau tokoh besar selama sehari atau tiga hari atau tujuh hari atau lebih. Hal ini jelas tidak ada dasarnya dalam islam.
Demikian juga kaum laki-laki berkabung atas kematian salah seorang keluarga atau kerabatnya merupakan satu hal yang tidak disyariatkan, sebab Islam hanya menetapkan berkabung kepada wanita jika suaminya meninggal dunia atau salah satu keluarganya dengan cara-cara tertentu yang telah ditetapkan syari’at dengan istilah Al Hadaad. Sehingga perlu sekali kita mengetahui hukum seputar Al hadaad yang telah ditetapkan syari’at Islam.
Lebih lanjut baca di http://klikuk.com/hukum-berkabung-bagi-istri/