Category Archives: Kitab HAKIKAT BID’AH dan HUKUM-HUKUMNYA

HAKIKAT BID’AH dan Hukum-Hukumnya – Bid’ah Tarkiyah #3

PEMBAHASAN TERAKHIR

Dari kitab yang berjudul Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi, حفظه الله تعالى.
.
PEMBAHASAN SEBELUMNYA (Bid’ah Tarkiyah #2) bisa di baca di SINI

=======

? Bid’ah Tarkiyah #3 ?

Alhamdulillah.. wash-sholaatu was-salaamu ‘alaa Rosuulillah..

Kita lanjutkan.. kitab hakikat bid’ah dan hukum-hukumnya.. kemudian beliau (penulis kitab) menyebutkan macam ketiga dari macam-macam “At Tark” (meninggalkan).

Macam yang ke 3

Yaitu meninggalkan sesuatu akan tetapi tidak sesuai dengan syari’at. Ini ada dua macam :

1⃣ PERTAMA

Yaitu meninggalkan sesuatu yang di perintahkan, namun bukan karena tujuan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah (taqorrub), akan tetapi karena malas atau karena meremehkan, maka meninggalkan perkara yang di perintahkan itu maksiat dan perbuatannya tidak disebut bid’ah.

2⃣ KEDUA

Meninggalkan perkara-perkara yang mubah atau yang diperintahkan dengan maksud tujuan dalam rangka beribadah dan bertaqorrub kepada Allah dengannya, baik itu dalam masalah ibadah atau mua’malah atau kebiasaan, baik dengan ucapan atau perbuatan atau keyakinan.

Maka seperti ini termasuk bid’ah, dan pelakunya dianggap sebagai mubtadi (ahli bid’ah).

Dalilnya Hadits Yang dikeluarkan Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik, ia berkata

“Datang tiga orang ke rumah istri-istri Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam untuk bertanya tentang bagaimana ibadah Rosulullah ‎shollallahu ‘alayhi wasallam. Ketika mereka mengabarkan tentang ibadah Rosulullah, rupanya tiga orang ini menganggap ibadah Rosulullah sedikit.

Mereka berkata, “Siapa kita dibandingkan dengan Rosulullah shollallahu ‘alayhi wasallam.. Rosulullah sudah diampuni dosanya yang lalu maupun yang akan datang.”

Lalu seseorang diantara mereka berkata, “adapun aku, aku akan sholat malam semalam suntuk terus menerus,” yang ke 2 berkata, “saya akan terus berpuasa dan tidak akan berbuka,” yang ke 3 berkata, “saya tidak akan pernah mau menikah (maksudnya mau beribadah)

Maka Rosulullah bersabda kepada mereka, “apakah kalian yang mengatakan begini dan begitu..? ketahuilah, demi Allah, aku ini lebih takut kepada Allah dari kalian dan lebih bertaqwa kepada Allah.. akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku juga sholat dan aku tidur, dan akupun menikah. Siapa yang tidak menyukai sunnahku ia tidak termasuk golonganku.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Dalam Hadits ini, mereka ingin beribadah berupa sholat shaum, namun mereka dengan cara meninggalkan sesuatu yang sifatnya mubah, meninggalkan tidur, meninggalkan menikah, meninggalkan makan, maka dilarang oleh Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam, karena mereka meniggalkan perkara-perkara yang mubah itu, karena tujuannya untuk dalam rangka taqorub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Maka perbuatan ini jelas kebid’ahannya.

Contoh, meninggalkan perkara yang diperintahkan dalam rangka beribadah.

Contoh misalnya, orang-orang rofidhoh tidak mau mengusap dua khuf, dan mereka bertoqorub kepada Allah dengan hal itu. Padahal Rosulullah ‎shollallahu ‘alayhi wasallam menganjurkan.

Contoh dalam masalah mu’amalah, orang yang tidak mau mencari nafkah, katanya dalam rangka taqorrub kepada Allah, bahkan punya keyakinan bahwa mencari nafkah itu termasuk cinta dunia, ini jelas juga bid’ah.

➡️ Ini termasuk semua adalah bid’ah yang di sebut dengan bid’ah tarkiyah
.
Wallahu a’lam ?
.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
.

Dari kitab yang berjudul Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi, حفظه الله تعالى.
.
Silahkan bergabung di Telegram Channel dan Facebook Page :
https://t.me/aqidah_dan_manhaj
https://www.facebook.com/aqidah.dan.manhaj/

.
Artikel TERKAIT :
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Dhowabith AttakfiirKaidah-Kaidah Dalam Pengkafiran
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Haqiiqotul Bid’ah wa AhkaamuhaaHakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Showarif ‘Anil HaqHal-Hal Yang Bisa Memalingkan Seseorang Dari KEBENARAN
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Al IshbaahManhaj SALAF Dalam Masalah TARBIYAH dan PERBAIKAN

AL FAWAID AL ILMIYYAH GROUP

HAKIKAT BID’AH dan Hukum-Hukumnya – Bid’ah Tarkiyah #2

Dari kitab yang berjudul Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi, حفظه الله تعالى.
.
PEMBAHASAN SEBELUMNYA (Bid’ah Tarkiyah) bisa di baca di SINI

=======

? Bid’ah Tarkiyah #2 ?

Alhamdulillah.. wash-sholaatu was-salaamu ‘alaa Rosuulillah..

Kita melanjutkan kitab hakikat bid’ah… kemudian beliau (penulis kitab) berkata:

“Adapun apabila Allah mendiamkan atau Rosulullah meninggalkan sebuah perbuatan, sementara tidak ada pendorong yang mendorong untuk melakukan perbuatan tersebut, dan tidak pula ada sebab yang mengharuskan untuk melakukannya, dan juga tidak ada penghalang  untuk melakukannya, maka tidak lepas dari dua keadaan.

⚉ Keadaan yang pertama

Yaitu perkara yang ditinggalkan ini/didiamkan ini termasuk ibadah-ibadah yang sifatnya “Mahdhoh” (yaitu yang tidak difahami maknanya secara terperinci).

Maka tidak boleh kita melakukan perbuatan yang ditinggalkan tersebut, karena jika kita melakukannya maka itu termasuk kebid’ahan.

Contohnya, misalnya Nabi shollallahu ‘alayhi wasallam sholat Idul Fitri dan Idul Adha tanpa adzan dan tanpa iqomah, maka tidak boleh adzan dan iqomah untuk sholat Idul Fitri dan Idul Adha. Siapa yang melakukannya maka ia berbuat bid’ah.

‎⚉ Keadaan yang ke 2

Perbuatan yang ditinggalkan tersebut adalah perbuatan yang dipahami maknanya dan memiliki ILLAT, maka pada waktu itu diqiyaskan kepadanya yang semakna dengannya.

Seperti misalnya Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam menyuruh kita untuk tidak berjual beli bangkai. Disini ada maknanya, mengapa Nabi tidak melakukan itu, bahkan melarangnya. Karena illat-nya ternyata bangkai itu najis atau misalnya tidak ada manfaatnya.

Maka semua yang sifatnya najis atau yang tidak ada manfaatnya sama halnya dengan bangkai.
Ini kalau yang meninggalkannya adalah asy Syaari’, yaitu Allah dan Rosul-Nya.

Sekarang kalau yang meninggalkannya adalah mukallaf (manusia/muslim yang diberikan beban), ini ada beberapa macam

Macam yang pertama

Dia meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah untuk meninggalkannya, maka ini termasuk ibadah, bahkan wajib dia meninggalkannya. Namun tentu wajib dengan niat, yaitu niat karena mengharapkan wajah Allah semata.

Macam yang ke 2

Dia meninggalkan sesuatu perkara yang disetujui oleh syari’at.
Ini ada beberapa macam:

1⃣ Dia meninggalkan perkara yang mubah karena sesuatu yang mubah itu bisa membahayakan dirinya atau akalnya atau agamanya.
Seperti ia tidak mau makan-makanan tertentu karena bisa memberikan bahaya terhadap kesehatan tubuhnya, seperti orang yang diabet tidak memakan banyak gula, karena khawatir akan menambah penyakitnya. Makanya yang seperti ini tidak mengapa.

2⃣ Meninggalkan sesuatu yang tidak apa-apa karena takut jatuh pada perbuatan yang dosa.
Contoh, seperti meninggalkan perkara yang syubhat baik dalam makanan atau minuman atau pakaian atau muamallah.
Maka yang seperti ini termasuk sifat orang yang bertaqwa.
Karena Rosulullah ‎shollallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

‎فمن اتقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه

“Siapa yang meninggalkan syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya”

3⃣ Meninggalkan sesuatu yang mubah karena tidak sesuai selera saja.
Maka seperti inipun juga tidak haram dan sifatnya mubah saja.
Sebagaimana Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam tidak suka makan daging dhob, bukan karena Beliau mengharamkan tapi tidak sesuai dengan selera Beliau, Beliau tidak biasa dan merasa tidak suka dengan daging tersebut.

Maka kalau ditinggalkan seperti ini tidak mengapa, tidak berdosa dan ia mubah-mubah saja.

4⃣ Dan macam yang lainnya yang bisa dimasukkan macam yang ke 4 yaitu meninggalkan sesuatu karena hak yang lain, seperti Nabi tidak makan bawang karena berhubungan dengan Beliau bermunajat dengan para malaikat.

Maka kalau misalnya kita tidak memakan bawang saat kita mau sholat maka ini jelas dianjurkan dan bahkan Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam melarang makan bawang bagi mereka yang mau pergi ke masjid.

.
Wallahu a’lam ?
.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
.

Dari kitab yang berjudul Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi, حفظه الله تعالى.
.
Silahkan bergabung di Telegram Channel dan Facebook Page :
https://t.me/aqidah_dan_manhaj
https://www.facebook.com/aqidah.dan.manhaj/

Artikel TERKAIT :
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Haqiiqotul Bid’ah wa AhkaamuhaaHakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Showarif ‘Anil HaqHal-Hal Yang Bisa Memalingkan Seseorang Dari KEBENARAN
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Al IshbaahManhaj SALAF Dalam Masalah TARBIYAH dan PERBAIKAN

AL FAWAID AL ILMIYYAH GROUP

HAKIKAT BID’AH dan Hukum-Hukumnya – Bid’ah Tarkiyah #1

Dari kitab yang berjudul Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi, حفظه الله تعالى.
.
PEMBAHASAN SEBELUMNYA (Perbuatan Bid’ah) bisa di baca di SINI

=======

? Bid’ah Tarkiyah ?

Alhamdulillah.. wash-sholaatu was-salaamu ‘alaa Rosuulillah..

Kita lanjutkan hakikat bid’ah nya… sekarang kita membahas yaitu yang disebut dengan…

⚉ BID’AH TARKIYAH (Tarkiyah artinya meninggalkan)

Kata Beliau (penulis kitab), pembicaraan tentang meninggalkan itu ada dua macam:
1⃣ Meninggalkan dari pembuat syari’at, yaitu Allah dan Rosul-Nya.
2⃣ Meninggalkan dari pelaku (mukallaf) yaitu kaum muslimin.

==========

1⃣ Meninggalkan dari pembuat syari’at yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka ini maksudnya ada dua makna:

⚉ MAKNA YANG PERTAMA : yaitu yang diminta oleh Allah dan Rosul-Nya untuk ditinggalkan. Yaitu perkara-perkara yang dilarang atau tidak diizinkan, sesuatu yang makruh juga.
Berdasarkan hadits Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam

‎مانهيتكم ءنه فا ختنبوه

“Apa-apa yang aku larang maka tinggalkanlah”

‎وماأمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم

“Apa yang aku perintahkan lakukanlah semampu kalian”

⚉ MAKNA YANG KE-2 : yaitu Rosulullah ‎shollallahu ‘alayhi wasallam, yang pembuat syari’at, dalam hal ini adalah Rosulullah ‎shollallahu ‘alayhi wasallam meninggalkan suatu perbuatan, sementara penghalangnya tidak ada, dan pendorongnya ada. Tapi Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam meninggalkannya, maka melakukannya bisa jatuh kepada bid’ah.

Contoh : misalnya Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam tidak pernah merayakan hari kelahirannya, tidak pula para sahabatnya,
padahal pendorong untuk merayakannya ada, dan penghalangnyapun tidak ada, itu menunjukan tidak disyari’atkan.

Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam tidak pernah melakukan haul kematian Khodijah, 100 hari, 1000 hari. Padahal Rosulullah mampu melakukannya dan tidak ada penghalangnya, pendorongnya pun juga ada. Itu semua menunjukan bahwa itu perkara yang diada-adakan.

➡️ Jadi perkara yang Rosulullah tidak lakukan, sementara penghalangnya tidak ada dan pendorongnya sudah ada, bila kita lakukan itu bisa menjadi bid’ah.

Beda bila Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam tidak melakukan itu karena ada penghalang.
Contoh: Nabi tidak melakukan taraweh setiap malam di bulan Ramadhan secara berjama’ah karena takut diwajibkan. Maka di zaman ‘Umar rodhiyallahu ‘anhu, tidak mungkin lagi diwajibkan, maka ‘Umar-pun membuat taraweh berjama’ah setiap malam, dan itu tidak termasuk bid’ah.

Demikian pula kalau Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam tidak lakukan karena tidak ada pendorongnya di zaman Beliau. Seperti dibuatnya ilmu-ilmu, seperti ilmu nahwu, ilmu shorof, ilmu hadits. Dizaman Nabi belum dibutuhkan. Namun setelah itu amat dibutuhkan sekali untuk membela AlQuran dan Hadits Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam. Maka dibuatlah ilmu-ilmu tersebut.

➡️ Jadi sesuatu yang Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam tidak lakukan, sementara pendorongnya ada dan penghalangnyapun tidak ada itu menunjukkan bahwa itu perbuatan yang tidak disyari’atkan, bila kita melakukannya malah jatuh kepada bid’ah.
.
Wallahu a’lam ?
.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
.

Dari kitab yang berjudul Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi, حفظه الله تعالى.
.
Silahkan bergabung di Telegram Channel dan Facebook Page :
https://t.me/aqidah_dan_manhaj
https://www.facebook.com/aqidah.dan.manhaj/

Artikel TERKAIT :
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Haqiiqotul Bid’ah wa AhkaamuhaaHakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Showarif ‘Anil HaqHal-Hal Yang Bisa Memalingkan Seseorang Dari KEBENARAN
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Al IshbaahManhaj SALAF Dalam Masalah TARBIYAH dan PERBAIKAN

AL FAWAID AL ILMIYYAH GROUP

HAKIKAT BID’AH dan Hukum-Hukumnya – Perbuatan Bid’ah

Dari kitab yang berjudul Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi, حفظه الله تعالى.
.
PEMBAHASAN SEBELUMNYA (Pembagian Bid’ah # 3…) bisa di baca di SINI

=======

? Perbuatan Bid’ah ?

Alhamdulillah.. wash-sholaatu was-salaamu ‘alaa Rosuulillah..

Kita lanjutkan hakikat bid’ah nya…

Fasa selanjutnya yaitu bid’ah yang berhubungan dengan perbuatan melakukan dan perbuatan meninggalkan.

Adapun yang dimaksud dengan perbuatan melakukan yaitu ada 2 macam :
1⃣ Perbuatan Rosulullah shollallahu ‘alayhi wasallam
2⃣ Perbuatan ummatnya yang mukallaf, yaitu yang baligh dan berakal.

Adapun perbuatan Rosulullah ‎shollallahu ‘alayhi wasallam , maka ini bermacam-macam hukumnya, ada yang wajib, ada yang sunnah, ada yang mubah.

Dan Syaikh Utsaimin rohimahullah membagi perbuatan Rosulullah ‎shollallahu ‘alayhi wasallam menjadi 6 :

1⃣ Perbuatan Rosulullah yang bersifat tabi’at, seperti masalah selera makan, maka ini bila kita tidak ikutipun tidak mengapa.

2⃣ Perbuatan Rosulullah yang berhubungan dengan adat kebiasaan (adat-istiadat), maka kata Syaikh Utsaimin, yang lebih utama kita mengikuti adat setempat (adat kaum muslimin setempat) selama tidak bertabrakan dengan syari’at.

3⃣ Perbuatan Rosulullah ‎shollallahu ‘alayhi wasallam yang hanya perbuatan tanpa ada perintah, maka ini hukumnya sunnah.

4⃣ Perbuatan Rosulullah ‎shollallahu ‘alayhi wasallam dalam mempraktekkan perintah Allah yang wajib. Maka ini hukumnya sesuai dengan hukum perintah tersebut. Bila hukum perintah tersebut sifatnya wajib, maka perbuatan Rosulullah menjadi wajib, tapi bila perintah tersebut hukumnya sunnah, maka perbuatan Rosulullah ‎shollallahu ‘alayhi wasallam itu sunnah.

5⃣ Perbuatan Rosulullah ‎shollallahu ‘alayhi wasallam yang merupakan khusus untuk Rosul tidak untuk ummatnya. Seperti misalnya menikah lebih dari empat, berpuasa terus-menerus, ini adalah merupakan kekhususan untuk Rosul ‎shollallahu ‘alayhi wasallam

6⃣ Perbuatan Rosulullah yang masih diperselisihkan oleh para Ulama, apakah ini termasuk sunnah ataukah sebatas kebiasaan.
Sebuah contoh misalnya, Rosulullah ‎shollallahu ‘alayhi wasallam rambutnya sampai ke pundaknya, apakah ini termasuk kebiasaan atau perkara yang Rosulullah sunnahkan untuk ummatnya, jumhur ulama mengatakan itu termasuk kebiasaan saja.

Dan masuk didalam makna sunnah juga yaitu yang diamalkan oleh para sahabat Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam dan mempunyai dasar. Artinya tidak bertabrakan dengan Alquran dan Hadits Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam, bahkan kalau terjadi ijma’ mereka itu menjadi hujjah tentunya.

Ini yang berhubungan dengan perbuatan Rosulullah ‎shollallahu ‘alayhi wasallam.

Adapun yang ke-2, itu perbuatan melakukan yang dilakukan oleh ummatnya. Yaitu yang dilakukan oleh hati mereka, tulisan mereka atau badan mereka, baik itu sifatnya ibadah ataupun mu’amalaah ataupun kebiasaan, maka semua perbuatan ini tidak boleh keluar dari batasan-batasan syari’at, karena semua perbuatan itu pasti akan dihisab oleh Allah. Allah berfirman dalam Surat Al-Qiyaamah Ayat 36 :

أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى

“Apakah manusia akan dibiarkan sia-sia tanpa diberikan perintah dan larangan ?” Tentu tidak.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, pokok yang dibangun oleh Imam Ahmad dan yang lainnya dari para Ulama dalam mazhab-mazhab mereka, bahwa perbuatan mahluk itu ada 2 macam:

1⃣ Ibadat yang mereka jadikan sebagai sebuah agama, dan mereka berharap manfaatnya diakhirat.

2⃣ Sifatnya duniawiyah atau adat istiadat yang mereka ambil manfaatnya dalam kehidupan mereka didunia.

Adapun yang pertama berhubungan dengan ibadat, maka pada asalnya tidak disyari’atkan sampai ada dalil yang menunjukkan kepadanya.

Adapun yang kedua, yang berhubungan dengan adat kebiasaan manusia pada asalnya boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya. (Demikian dalam kitab I’tidal Shirotolmustaqim jilid 2, halaman 581-582.)

Maka dengan melihat dua perkara inilah kita melihat atau menimbang semua perbuatan-perbuatan manusia, maka dari itu perbuatan manusia kalau ternyata bertabrakan dengan syari’at atau tidak sesuai dengan syari’at itupun juga tidak lepas dari dua keadaan.

1⃣ Keadaan yang pertama, dia melakukan perbuatan yang menyimpang itu tidak bermaksud dalam rangka bertaqorrub kepada Allah, maka ini masuk didalam kategori maksiat, seperti mendengarkan musik, minum arak, berzina dan yang lainnya.

2⃣ (Keadaan) yang kedua, melakukan penyimpangan tersebut dalam rangka taqorrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, maka inilah yang dianggap sebagai bid’ah, baik itu dalam ibadah ataupun mu’amalah atau kebiasaan. Demikian pula baik dalam aqidah, keyakinan ataupun perbuatan badan dan lisan.

Adapun contoh ibadah, misalkan mengamalkan hadits-hadits palsu atau membuat ibadah-ibadah yang tidak ada dalilnya sama sekali. Contoh, sholat Rogho’ib, sholat nifsyu sya’ban demikian pula membuat-buat wirit-wirit tertentu yang bid’ah seperti yang dilakukan kaum sufi dan yang lainnya.

Adapun dalam masalah mu’amalah, contoh misalnya, ada orang yang beribadah kepada Allah dengan cara melihat anak-anak kecil yang ganteng. Ini juga termasuk bid’ah, maka ini bisa bukan hanya bid’ah tapi juga masih maksiat.

Contoh lagi misalnya, beribadah kepada dengan cara mendengarkan nyanyian dan musik, yang mereka anggap itu bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Lihat Majmu’ Fatawa jilid 5, halaman 83-84).

Ini adalah merupakan contoh-contoh perkara yang menyimpang dan diinginkan kepadanya taqorrub kepada Allah.
.
Wallahu a’lam ?
.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
.

Dari kitab yang berjudul Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi, حفظه الله تعالى.
.
Silahkan bergabung di Telegram Channel dan Facebook Page :
https://t.me/aqidah_dan_manhaj
https://www.facebook.com/aqidah.dan.manhaj/

Artikel TERKAIT :
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Haqiiqotul Bid’ah wa AhkaamuhaaHakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Showarif ‘Anil HaqHal-Hal Yang Bisa Memalingkan Seseorang Dari KEBENARAN
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Al IshbaahManhaj SALAF Dalam Masalah TARBIYAH dan PERBAIKAN

AL FAWAID AL ILMIYYAH GROUP

HAKIKAT BID’AH dan Hukum-Hukumnya – Pembagian Bid’ah # 3…

Dari kitab yang berjudul Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi, حفظه الله تعالى.
.
PEMBAHASAN SEBELUMNYA (Pembagian Bid’ah # 2) bisa di baca di SINI

=======

? Pembagian Bid’ah # 3 ?

Alhamdulillah.. wash-sholaatu was-salaamu ‘alaa Rosuulillah..

Kita melanjutkan kajian kita tentang hakikat bid’ah…

Masih pembahasan tentang ‘bid’ah ‘idhofiyah’, dimana Al Imam asy-Syatibi rohimahullah juga memasukan macam-macam yang lainnya, yang beliau menganggapnya Itu termasuk ‘bid’ah ‘idhofiyah’,

1⃣ Sesuatu yang samar.

Apakah ia termasuk bid’ah atau bukan ? Karena sesuatu yang samar itu perkara yang harus dijauhi dan kaidah dalam masalah bid’ah pada asalnya adalah tidak boleh dilakukan sampai ada dalil yang menunjukan akan kebolehannya.

⚉ Contoh misalnya, kalau terjadi ikhtilaf para ahli ijtihad, apakah Itu termasuk sunnah atau bid’ah, dan kita tidak bisa untuk menggabungkan dalil-dalil mereka dan belum jelas kepada kita mana yang paling kuat, maka pada saat itu kita tinggalkan, karena pada asalnya ibadah itu tidak boleh dilakukan sampai jelas kepada kita bahwa perkara itu perkara yang disyari’atkan.

⚉ Contoh lagi kata beliau, masalah yang berhubungan dengan ‘tabaruk’, ngalap berkah dengan badan orang sholeh. Karena sebagian Ulama hal ijtihad ada yang mengatakan boleh untuk selain Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam, dan mereka mengqiyaskannya kepada perbuatan sahabat kepada Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam . Sementara sebagian Ulama lagi mengatakan tidak boleh dan tidak bisa diqiyaskan, karena itu kekhususan Rosulullah sebagai Nabi dan tidak bisa Beliau diqiyaskan dengan orang-orang sholeh selain Nabi, karena bagaimana akan disamakan derajat Nabi dengan derajat yang lainnya.

Dan itu juga yang dipahami oleh para sahabat Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam, dimana para sahabat mereka hanya bertabaruk dengan bekas-bekas peninggalan Rosulullah ‎shollallahu ‘alayhi wasallam saja, mereka tidak pernah ‘tabaruk’ dengan Abubakar, padahal beliau manusia yang paling utama setelah Rosulullah, tidak pula para tabi’in bertabaruk dengan bekas-bekas para sahabat, walaupun memang diriwayatkan dari mereka namun semua riwayatnya itu tidak shohih adanya mereka yang bertabaruk kepada yang lainnya, bahwa itu semua tidak dibenarkan. Maka dari itu para sahabat tidak pernah bertabaruk kepada yang lainnya.

Kalaulah pemahaman bahwa diqiyaskan kepada Nabi itu orang-orang sholeh itu benar, tentu para sahabat yang pertama kali yang melakukannya.

Kemudian diantara perkara yang dimasukan oleh Imam asy-Syatibi dalam kategori bid’ah ‘idhofiyah yang kedua…

2⃣ Pokok ibadahnya disyari’atkan akan tetapi kemudian keluar dari pokok per syari’atannya dengan tanpa dalil.

Seperti didalam tata caranya atau jumlahnya atau waktunya atau tempatnya.

⚉ Contoh misalnya, berpuasa adalah sesuatu yang disyari’atkan dan asal daripada hukum puasa itu memang disyari’atkan, tapi kemudian mengkhususkan puasa pada hari tertentu, seminggu misalnya pada hari Rabu saja tanpa dalil, ini jelas masuk dalam ‘bid’ah ‘idhofiyah’. Adapun puasa hari Senin dan Kamis maka itu sesuatu yang di tunjukkan oleh dalil dan tidak termasuk bid’ah.

Zikir misalnya, yaitu pada asalnya disyari’atkan, tapi kemudian seseorang mengkhususkan zikir pada hari kelahirannya saja misalnya, pada hari tertentu saja tanpa hari yang lainnya, maka itu termasuk bid’ah ‘idhofiyah.

3⃣ Menyampaikan kepada manusia ilmu yang mereka tidak fahami

Dimana seseorang menyampaikan kepada orang-orang awam perkara-perkara yang sangat detil, yang pemahaman mereka tidak sampai kepadanya. Yang berakibat akhirnya malah menjadi fitnah atau salah paham, maka beliau (Imam asy-Syatibi) menganggap ini termasuk perkara yang bid’ah juga.

Ali bin Abi Tholib berkata

‎حدثوا الناس بما يعر فون أَتُحبون أن يكذَّب اللّٰه ورسوله

“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan pemahaman mereka, apakah kalian suka Allah dan Rosul-Nya didustakan ?!”

Abdullah bin Mas’ud juga berkata

‎ما أنت بمحدث قو ماً حديثاً لا تبلغه عقو لهم إلا كان لبعضهم فتنة

“Tidaklah engkau menyampaikan suatu ilmu kepada suatu kaum yang tidak sampai akal mereka untuk memahaminya kecuali akan menjadi fitnah untuk sebagian mereka.”

Maka ini perkara yang beliau (Imam asy-Syatibi) anggap termasuk yaitu ‘bid’ah ‘idhofiyah’.
.
Wallahu a’lam ?
.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
.

Dari kitab yang berjudul Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi, حفظه الله تعالى.
.
Silahkan bergabung di Telegram Channel dan Facebook Page :
https://t.me/aqidah_dan_manhaj
https://www.facebook.com/aqidah.dan.manhaj/

Artikel TERKAIT :
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Haqiiqotul Bid’ah wa AhkaamuhaaHakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Showarif ‘Anil HaqHal-Hal Yang Bisa Memalingkan Seseorang Dari KEBENARAN
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Al IshbaahManhaj SALAF Dalam Masalah TARBIYAH dan PERBAIKAN

AL FAWAID AL ILMIYYAH GROUP

HAKIKAT BID’AH dan Hukum-Hukumnya – Pembagian Bid’ah # 2…

Dari kitab yang berjudul Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi, حفظه الله تعالى.
.
PEMBAHASAN SEBELUMNYA (Pembagian Bid’ah # 1) bisa di baca di SINI

=======

? Pembagian Bid’ah # 2 ?

Alhamdulillah.. wash-sholaatu was-salaamu ‘alaa Rosuulillah..

Kita lanjutkan.. kajian hakikat bid’ah nya…

Kemarin sudah kita sebutkan bahwa bid’ah tebagi menjadi 2…

Bid’ah Haqiqiyah : yaitu bid’ah yang sama sekali tidak ada asalnya dari syari’at.
Bid’ah ‘Idhofiyah : yaitu bid’ah yang ditambahkan pada perkara yang disyari’atkan

Contoh : sholat disyari’atkan lalu kemudian ditambahkan padanya bacaan-bacaan atau gerakan-gerakan yang tidak ada asalnya dari syari’at.

Al Imam asy-Syatibi membagi bid’ah ‘Idhofiyah menjadi 2 macam:

1⃣ Bid’ah ‘Idhofiyah yang mendekati bid’ah Haqiqiyah.
Contohnya : adalah orang yang tidak mau memakai pakaian yang bagus, dimana ia menganggap memakai pakaian yang bagus itu cinta dunia, atau dalam rangka melatih jiwa dan ia tidak mau makan-makanan yang enak karena takut tertipu dengan dunia misalnya, atau takut ujub dan yang lainnya.

Makanya yang seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Rosulullah, Rosulullah tetap makan makanan yang biasa, yang enak, memakai pakaian yang bagus namun tidak mewah. Adapun kemudian beribadah kepada Allah dengan cara meninggalkan pakaian yang bagus dan baik, atau meninggalkan makanan yang enak, yang baik, yang sehat tentu ini adalah perkara yang tidak pernah dilakukan oleh Rosulullah ‎shollallahu ‘alayhi wasallam

2⃣ Bid’ah ‘Idhofiyah yang mendekati sunnah, sampai-sampai dikira itu sunnah, padahal bukan.

Contoh : adalah terus menerus melakukan suatu ibadah sunnah yang Nabi tidak mendawamkannya, karena perbuatan ibadah sunnah itu ada 2:

ada yang didawamkan oleh Nabi, seperti sholat tahajud, sholat qobliyah shubuh, sholat witir, sholat sunnah rowatib.
ada lagi sholat yang tidak di dawamkan oleh Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam dari ibadah-ibadah yang sifatnya sunnah, seperti sholat qobliyah magrib, sholat sunnah mutlak dan yang lainnya.

Ketika kita mendawamkan dan terus-menerus sesuatu yang Nabi tidak dawamkan itu bisa saja menjadi bid’ah.

Sebuah contoh misalnya Syaikhul Islam, menyebutkan bahwa tidak baik membaca terus menerus di shubuh hari Jum’at, (surat) Assajadah terus, sehingga akhirnya dikira oleh orang, bahwa itu hukumnya wajib. Maka yang seperti inipun tidak bagus.

Sofyan ats-Tsauriy juga pernah ditanya tentang orang yang memperbanyak membaca Al Ikhlas dan tidak membaca surat yang lainnya, pokoknya dalam sholat dia hanya membaca Al Ikhlas saja diulang-ulang, maka Sofyan ats-Tsauriy tidak menyukainya dan berkata

‎إنما أنتم متبعون فاتّبعوا الأولين

“kalian itu harusnya ittiba’, maka ikutilah orang-orang pertama

‎ولم يبلغنا عنهم نحو هذا

dan tidak pernah sampai kepada kami ibadah seperti itu

‎وإنما أنزل القرآن ليُقرأ ولا يُخص شيء

Alqur’an diturunkan untuk dibaca semuanya, tidak dikhususkan suatu surat tanpa surat yang lainnya”

(Dalam Kitab Al-Bida’ Wannahyu ‘Anha halaman 43)

Maka ini adalah diantara contoh bid’ah ‘Idhofiyah yang dikira oleh orang itu sunnah, padahal ternyata itu tidak sunnah, tapi masuk dalam kategori yaitu bid’ah ‘Idhofiyah.
.
Wallahu a’lam ?
.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
.

Dari kitab yang berjudul Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi, حفظه الله تعالى.
.
Silahkan bergabung di Telegram Channel dan Facebook Page :
https://t.me/aqidah_dan_manhaj
https://www.facebook.com/aqidah.dan.manhaj/

Artikel TERKAIT :
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Haqiiqotul Bid’ah wa AhkaamuhaaHakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Showarif ‘Anil HaqHal-Hal Yang Bisa Memalingkan Seseorang Dari KEBENARAN
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Al IshbaahManhaj SALAF Dalam Masalah TARBIYAH dan PERBAIKAN

AL FAWAID AL ILMIYYAH GROUP

HAKIKAT BID’AH dan Hukum-Hukumnya – Pembagian Bid’ah # 1…

Dari kitab yang berjudul Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi, حفظه الله تعالى.
.
PEMBAHASAN SEBELUMNYA (Bid’ah Hasanah # 5…) bisa di baca di SINI

=======

? Pembagian Bid’ah # 1 ?

Alhamdulillah.. wash-sholaatu was-salaamu ‘alaa Rosuulillah..

Kita lanjutkan.. kitab ‘Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa’.. Kita masuk jilid 2.., yaitu tentang..

⚉ PEMBAGIAN BID’AH

Pembagian bid’ah itu dilihat dari berbagai macam sisi
Kata Beliau, “Bid’ah dilihat dari zatnya, itu terbagi menjadi dua:
Bid’ah Haqiqiyah
Bid’ah ‘Idhofiyah

➡ Apa itu ‘BID’AH HAQIQIYAH’ ? yaitu bid’ah yang benar-benar tidak didasarkan kepada dalil yang mu’tabar (yang dianggap oleh syari’at).

Imam asy-Syatibi mendefinisikan ‘bid’ah haqiqiyah’, “yaitu yang sama sekali tidak ditunjukkan oleh dalil syari’at, tidak dari Alqur’an, tidak pula dari sunnah, tidak pula ijma’, tidak pula pendalillan yang dianggap menurut para Ulama (pendalillan yang diterima disisi para Ulama) baik secara global maupun secara terperinci.” [Dilihat Al’itishom jilid 1 – 286]

Disini Beliau mengatakan bahwa ‘bid’ah haqiqiyah’ adalah bid’ah yang sama sekali tidak di tunjukkan oleh dalil, artinya tidak ada asalnya sama sekali dari syari’at.

Kemudian disini Beliau membahas tentang masalah..

⚉ DALIL YANG DIGUNAKAN OLEH AHLI BID’AH

Kata Beliau dalil yang digunakan oleh ahli bid’ah untuk membenarkan kebid’ahan mereka itu ada dua:

1⃣ Dalil-dalil yang tidak diterima dalam syari’at dan tidak dianggap dalil secara syari’at, ini ada dua macam

Macam yang pertama, yaitu dalil-dalil yang rusak secara asalnya.
Contoh misalnya berdalil dengan sebatas dengan perasaan atau dengan akal saja, seperti yang dilakukan kaum mu’tazilah, atau dengan kasyaf seperti yang dilakukan oleh orang-orang sufi, atau berdalil dengan mimpinya wali dan yang lainnya.

Yang kedua, yaitu dalil-dalil yang sanadnya dho’if jiddan, atau bahkan palsu, yang asanadnya lemah, tidak bisa dijadikan hujjah.
Maka yang seperti ini tidak bisa dijadikan dalil

Ini yang pertma, artinya bagian yang pertama yaitu dalil-dalil yang tidak diterima secara syari’at.

2⃣ Dalil-dalil yang bisa diterima secara syari’at tapi dipahami dengan pemahaman yang tidak benar.

Contoh misalnya orang-orang syi’ah punya keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib itu ada di awan. Mereka menafsirkan firman Allah Qs Yusuf : 80

‎فَلَنْ أَبْرَحَ الْأَرْضَ حَتَّىٰ يَأْذَنَ لِي أَبِي أَوْ يَحْكُمَ اللَّهُ لِي

dan aku tidak akan meninggalkan bumi hingga ayahku mengizinkan aku atau Allah menghukumi aku”

‎وَهُوَ خَيْرُ الْحَاكِمِينَ

Kata orang syi’ah maksudnya Ali, padahal ayat ini berhubungan dengan kisah Nabi Yusuf dengan saudara-saudaranya. Tidak ada hubungan sama sekali dengan Ali bin Abi Thalib, tapi pemahamannya dipaksakan oleh mereka. Maka ini jelas dalil yang bathil, walaupun ayatnya benar.

Jadi ‘bid’ah haqiqiyah’ adalah bid’ah yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam Islam dan tidak ada asalnya. Contoh misalnya perayaan maulid Nabi, perayaan Isro’ Mi’roj, demikian pula sholat-sholat yang berdasarkan hadits palsu, seperti sholat nifsu sya’ban, sholat roghoib.

➡ Kemudian ada lagi ‘BID’AH ‘IDHOFIYAH’, yaitu bid’ah yang ditambahkan dari perkara yang disyari’atkan.

Contoh misalnya sholat adalah disyari’atkan dalam Islam, namun ditambah-tambah seperti ditambah dengan mengucapkan usholli fardho, dikeraskan niatnya, demikian pula ketika salam, assalamu’alaikum ke kanan sambil telapak tangannya dibuka.
Ini namanya ditambahkan dari perkara yang disyari’atkan, maka ini disebut dengan ‘bid’ah ‘idhofiyah’.
.
Wallahu a’lam ?
.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
.

Dari kitab yang berjudul Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi, حفظه الله تعالى.
.
Silahkan bergabung di Telegram Channel dan Facebook Page :
https://t.me/aqidah_dan_manhaj
https://www.facebook.com/aqidah.dan.manhaj/

Artikel TERKAIT :
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Haqiiqotul Bid’ah wa AhkaamuhaaHakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Showarif ‘Anil HaqHal-Hal Yang Bisa Memalingkan Seseorang Dari KEBENARAN
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Al IshbaahManhaj SALAF Dalam Masalah TARBIYAH dan PERBAIKAN

AL FAWAID AL ILMIYYAH GROUP

HAKIKAT BID’AH dan Hukum-Hukumnya – Bid’ah Hasanah # 5…

Dari kitab yang berjudul Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi, حفظه الله تعالى.
.
PEMBAHASAN SEBELUMNYA (Bid’ah Hasanah # 4…) bisa di baca di SINI

=======

? Bid’ah Hasanah # 5 ?

Alhamdulillah.. wash-sholaatu was-salaamu ‘alaa Rosuulillah..

Kita lanjutkan kitab tentang mengenal bid’ah…

Kemudian diantara perkara yang dijadikan dalil oleh orang-orang yang mengatakan adanya bid’ah hasanah, itu adanya perkataan-perkataan Ulama yang membagi bid’ah kepada bid’ah yang baik dan bid’ah yang buruk. Seperti perkataan Imam Syafi’i dan yang lainnya.

Yang harus kita pahami terlebih dahulu bahwa dalil dari Alqur’an dan Hadits itulah yang menjadi sandaran kita. Karena pendapat siapapun apabila bertabrakan dengan Alqur’an dan Hadits maka lebih dahulukan Alqur’an dan Hadits Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam.

Allah Ta’ala berfirman, 

‎يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahului Allah dan Rosul-Nya” [QS. Al Hujurat – 1]

Maka kewajiban siapapun baik Ulama, Mufti berhukum dengan dalil, tidak boleh mereka membuat-buat hukum atau pembagian-pembagian yang tidak ada dalilnya dari Alqur’an dan Sunnah serta Ijma’.

Maka dari itu, perkataan-perkataan para Ulama yang bertabrakan dengan Alqur’an dan Hadits, wajib kita tolak bukan karena kita tidak menghormati Ulama tapi Allah dan Rosul-Nya kita lebih kedepankan daripada mereka.

Diantara perkataan Ulama yang dijadikan hujjah dalil oleh orang-orang yang meng-klaim adanya bid’ah hasanah yaitu perkataan Imam Syafi’i rohimahullah.

⚉ Dimana Imam Syafi’i rohimahullah berkata dalam Kitab Ar-risaalah,

“Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Adapun yang sesuai dengan sunnah maka itu bid’ah yang terpuji, dan yang tidak sesuai dengan sunnah maka itu tercela.” [Ini di keluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ jilid 9 halaman 113]

⚉ Dan dalam riwayat Ibnu Asakir, Imam Syafi’i berkata, “Yang dibuat-buat dalam perkara yang diada-adakan itu ada dua macam,

  1. yang dibuat-buat dan menyelisihi kitab atau sunnah atau atsar atau ijma’ maka ini bid’ah sesat,
  2. Adapun apabila tidak berseberangan dengan Alqur’an atau Sunnah atau Atsar atau Ijma’ maka ini tidak tercela.”

Maka kita katakan,

1⃣ Bahwa Imam Syafi’i sudah memberikan kepada kita penjelasan yang tegas, apa yang dimaksud dengan bid’ah yang tercela yaitu yang bertabrakan dengan sunnah, dan apa itu yang dimaksud dengan bid’ah yang terpuji, yaitu yang sejalan dengan Alqur’an atau Sunnah atau Atsar atau Ijma’.

Makanya yang seperti ini tidak disebut dengan bid’ah secara istilah tapi bid’ah secara bahasa saja.

2⃣ Bahwa yang dimaksud oleh Imam Syafi’i adalah perkara-perkara yang baru muncul yang tidak ada dalilnya dari Alqur’an dan sunnah, namun setelah kita lihat dalil-dalilnya ternyata ia sesuai dengan dalil dari Alqur’an, hadits, demikian pula ijma’ serta kaidah-kaidah syari’at.

Makanya yang seperti ini tidak disebut bid’ah secara syari’at walaupun bid’ah secara bahasa.

3️⃣ Kemudian kalau kita perhatikan juga bagaimana penjelasan Imam Syafi’i dalam Kitab Al Umm tentang tidak boleh kita berdalil dengan ‘istihsan’ (menganggap baik) sesuatu perbuatan sebatas dengan perasaan atau pendapat.

Dapat kita ketahui, tidak mungkin Imam Syafi’i rohimahullah menghukumi suatu bid’ah hanya sebatas bid’ah itu sesuatu yang baik, hanya sebatas dengan perasaan menurut pendapat kita, tapi harus bersumber kepada hujjah yang kuat.

Itu adalah bid’ah dalam artian perkara yang baru ada dan ternyata tidak bertabrakan dengan Alqur’an dan Hadits Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam.

⚉ Imam Syafi’i rohimahullah berkata dalam Kitab Ar-risaalah halaman 25, kata beliau,

“Dan ini menjelaskan, haram atas seseorang berpendapat dengan sebatas menganggap baik secara akal, apabila penganggapan baik itu bertabrakan dengan dalil/khobar, dimana khobar yang berasal dari Alqur’an dan Sunnah itu harus diikuti seorang mustahid berusaha untuk memahami maknanya agar sesuai dengannya.”

⚉ Imam Syafi’i juga berkata dalam Kitab Ar-risaalah

“menganggap baik itu hanya sebatas menganggap bahwa itu sesuatu lezat menurut diri kita”

Artinya bahwa sebatas menurut kita, perasaan kita bahwa itu baik, belum tentu itu baik. Maka hanya sebatas berhujjah itu menganggap baik jadi baik, “Itu tidak boleh”, kata Imam Syafi’i rohimahullah.

Oleh karena itulah kalau kita perhatikan, Imam Syafi’i berapa banyak menganggap bid’ah perkara-perkara yang dianggap baik/bid’ah hasanah di zaman ini, contoh,

➡ Imam Syafi’i mengatakan tentang Sama’ (Sama’ itu adalah ibadah orang-orang tasawuf dengan cara memukul rebana, bernyanyi, lalu menari-nari). Imam Syafi’i menganggap itu bid’ah, tapi di zaman sekarang malah dianggap sebagai bid’ah hasanah.

➡ Imam Syafi’i menganggap ma’tam (berkumpul di pura kematian atau disebut dengan tahlilan) itu bid’ah yang tercela, tapi dizaman sekarang dianggap sebagai bid’ah yang terpuji.

Maka dari itulah secara praktek ternyata tidak sesuai dengan perkataan Imam Syafi’i, itu menunjukkan bahwa mereka membawakan perkataan Imam Syafi’i itu hanya sebatas perisai saja.
.
Wallahu a’lam ?
.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
.

Dari kitab yang berjudul Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi, حفظه الله تعالى.
.
Silahkan bergabung di Telegram Channel dan Facebook Page :
https://t.me/aqidah_dan_manhaj
https://www.facebook.com/aqidah.dan.manhaj/

Artikel TERKAIT :
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Haqiiqotul Bid’ah wa AhkaamuhaaHakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Showarif ‘Anil HaqHal-Hal Yang Bisa Memalingkan Seseorang Dari KEBENARAN
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Al IshbaahManhaj SALAF Dalam Masalah TARBIYAH dan PERBAIKAN

AL FAWAID AL ILMIYYAH GROUP

HAKIKAT BID’AH dan Hukum-Hukumnya – Bid’ah Hasanah # 4…

Dari kitab yang berjudul Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi, حفظه الله تعالى.
.
PEMBAHASAN SEBELUMNYA (Bid’ah Hasanah # 3…) bisa di baca di SINI

=======

? Bid’ah Hasanah # 4 ?

Alhamdulillah.. wash-sholaatu was-salaamu ‘alaa Rosuulillah..

Kita lanjutkan kajian kita Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya nya…

Kemudian diantara hujjah atau argumen yang dibawakan oleh orang-orang yang mengatakan adanya bid’ah hasanah, yaitu perkataan sebagian sahabat yang mensifati bid’ah itu bagus.

Contoh misalnya perkataan Umar bin Khottab tentang sholat taraweh berjama’ah, ‘sebaik-baik bid’ah adalah ini.’

➡ Maka kita jawab :
bahwa perkataan Umar bin Khottab ini dibawa kepada makna bid’ah secara bahasa bukan secara syari’at, karena sholat taraweh itu pernah dilakukan oleh Rosulullah ‎‎shollallahu ‘alayhi wasallam namun Beliau tidak melakukan setiap malam, karena takut diwajibkan.

Sementara di zaman Umar, ‘takut diwajibkan‘ itu sudah tidak mungkin lagi diwajibkan. Maka Umar melihat bahwa untuk menghidupkan sholat taraweh itu boleh karena penghalangnya sudah hilang di zaman Umar.

Oleh karena itulah banyak Ulama mengatakan bahwa perkataan salaf terdahulu dikalangan sahabat dan yang setelahnya yang memutlakan adanya bid’ah yang bagus, itu maksudnya secara makna bahasa saja.

⚉ Diantara Ulama tersebut diantaranya Ibnu Rojab Alhambali. Beliau mengatakan, “Adapun yang ada perkataan Salaf terdahulu menganggap bagus sebagian bid’ah, begitu maksudnya bid’ah secara bahasa saja, bukan secara syari’at. Diantara contohnya yaitu perkataan Umar ketika mensifati sholat taraweh berjama’ah, ‘sebaik-baik bid’ah itu adalah ini.’

[Demikian beliau ucapkan dalam kitab beliau, Jami’ Al’ulum wal hikam Syarah al arba’in an-nawawiyah]

⚉ Kemudian diantaranya juga perkataan Al Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Kata beliau, “bid’ah itu ada dua macam, terkadang mempunyai makna bid’ah secara syari’at, yaitu contohnya sabda Rosulullah,

‎فإن كل محدثة بدعة و كل بدعة ضلالة

“Setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”

Dan terkadang bid’ah itu secara bahasa saja. Seperti perkataan Umar bin Khottab, yang mengumpulkan orang-orang untuk sholat taraweh berjama’ah.”

[Dalam tafsir Ibnu Katsir, jilid 1 halaman 282]

⚉ Demikian pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullah. Dimana beliau menyebutkan tentang masalah ini, kata beliau,

“Penamaan Umar tentang sholat taraweh secara berjama’ah itu sebagai bid’ah yang baik adalah penamaan secara bahasa bukan penamaan secara syari’at. Karena bid’ah secara bahasa itu adalah segala sesuatu yang baru diada-adakan yang sebelumnya tidak ada.

Sementara melakukan sholat taraweh setiap malam itu baru dilaksanakan oleh Umar, dan Umar melihat bahwa Rosulullah tidak melakukan setiap malam karena ada penghalangnya, yaitu takut diwajibkan, sementara di zaman Umar sudah tidak mungkin diwajibkan lagi.”

[Ibnu Taimiyyah menyebutkan yaitu dalam kitab Majmu Fatawa dalam Kitab Iqtidho Alshirotolmustaqim di jilid 2 halaman 589]
.
Wallahu a’lam ?
.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
.

Dari kitab yang berjudul Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi, حفظه الله تعالى.
.
Silahkan bergabung di Telegram Channel dan Facebook Page :
https://t.me/aqidah_dan_manhaj
https://www.facebook.com/aqidah.dan.manhaj/

Artikel TERKAIT :
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Haqiiqotul Bid’ah wa AhkaamuhaaHakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Showarif ‘Anil HaqHal-Hal Yang Bisa Memalingkan Seseorang Dari KEBENARAN
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Al IshbaahManhaj SALAF Dalam Masalah TARBIYAH dan PERBAIKAN

AL FAWAID AL ILMIYYAH GROUP

HAKIKAT BID’AH dan Hukum-Hukumnya – Bid’ah Hasanah # 3…

Dari kitab yang berjudul Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi, حفظه الله تعالى.
.
PEMBAHASAN SEBELUMNYA (Bid’ah Hasanah # 2…) bisa di baca di SINI

=======

? Bid’ah Hasanah # 3 ?

Alhamdulillah.. wash-sholaatu was-salaamu ‘alaa Rosuulillah..

Kita lanjutkan Hakikat Bid’ah nya…

Dan diantara dalil yang digunakan oleh orang-orang yang membolehkan adanya bid’ah hasanah yaitu hadits Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam,

‎مَنْ سَنً فِي اﻹِْسْلاَم سُنَّةً حَسَنَةً

“Barangsiapa yang memberikan contoh yang baik dalam Islam,

‎فَلَهُ أَجْرُهَا

maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengikutinya,

‎وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءُ

tanpa dikurangi dari pahala mereka sedikitpun juga.”

Dimana mereka mengatakan disini, ‘Nabi mengatakan ada sunnah hasanah dan sunnah sayyi’ah, berarti kalau begitu ada bid’ah hasanah dan bid’ah yang sayyi’ah (yang dholalah).’

➡ Maka kita katakan bahwa Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam yang mengatakan,

‎كل بدعة ضلالة

“Setiap bid’ah itu sesat”

Tidak mungkin bertabrakan dengan sabda Nabi sendiri yang mengatakan

‎مَنْ سَنً فِي اﻹِْسْلاَم سُنَّةً حَسَنَةً

“Siapa yang memberikan contoh yang baik..”
(kata penulis buku).. ‘maka memberikan contoh yang baik, demikian pula berdakwah kepada kebaikan semua itu harus dibatasi dengan batasan-batasan syari’at, berdasarkan nash-nash yang banyak.’

Berarti yang dimaksud dengan

‎من سن سنة حسنة

“Siapa yang membuat sunnah yang baik (artinya yang sesuai dengan yang disyari’atkan oleh Allah dan Rosul-Nya bukan dengan membuat-buat sendiri), dan siapa yang memberikan contoh yang buruk (yaitu buruk menurut syari’at bukan menurut kita), maka tentu berdalil dengan hadits ini untuk mengatakan adanya bid’ah hasanah jelas pendalillan yang SANGAT LEMAH sekali.
Kenapa?
Karena hadits-hadits Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam tidak saling bertabrakan satu sama lainnya.

Diantara dalil yang dijadikan hujjah oleh orang-orang yang mengatakan adanya bid’ah hasanah yaitu Hadits
Wabisho bin ma’bad, bahwa Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam bersabda,

‎استفت قلبك

“Coba kamu minta fatwa kepada hatimu,

البر ما اطمأنت إليه النفس، واطمأن إليه القلب،

karena kebaikan itu yang membuat hatimu tenang dan jiwamu tentram,

والإثم ما حاك في النفس، وتردد في الصدر، وإن أفتاك الناس وأفتوك

sementara dosa itu, yang dihatimu itu tidak tentram dan membuat dadamu juga gelisah, walaupun manusia berfatwa apapun juga.”
(HR. Imam Ahmad dan yang lainnya).

Kata mereka, ‘Nabi ‎shollallahu ‘alayhi wasallam menyuruh untuk meminta fatwa kepada hati.’

➡ Maka kita katakan bahwa pertama Hadits ini harus dijelaskan oleh dalil-dalil yang lainnya.
Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk mengembalikan segala macam perselisihan kepada Alqur’an dan Hadits.

Maka wajib kita mengembalikan segala macam perkara apalagi masalah agama ini kepada Alqur’an dan Hadits dulu. Karena agama ini milik Allah bukan milik siapapun.
Maka Allah sudah menjelaskan, Rosul pun juga sudah menjelaskan
Allah berfirman: [An-Nisaa’ : 59]

‎ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

“Jika kalian berselisih maka kembalikan kepada Allah dan Rosul.”

Dan kewajiban orang awam untuk BERTANYA kepada ahlinya.

Adapun maksud Hadits ini adalah ketika seseorang awam atau seseorang telah sampai sudah melihat dalil-dalilnya dan melihat pendapat-pendapat Ulamanya, ternyata masih juga dia bingung mana yang paling kuat maka lihat mana yang lebih menentramkan hatinya, silahkan diamalkan.

Dan perlu diketahui bahwa Nabi bersabda ini kepada seorang sahabat yang hatinya sangat bening dan ilmunya luas, maka tidak disamakan tentunya dengan orang yang hatinya kotor, maksiat dan syahwat dan ilmunya dangkal.
.
Wallahu a’lam ?
.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
.

Dari kitab yang berjudul Haqiiqotul Bid’ah wa Ahkaamuhaa, tentang Hakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya, ditulis oleh Syaikh Sa’id bin Nashir Al Ghomidi, حفظه الله تعالى.
.
Silahkan bergabung di Telegram Channel dan Facebook Page :
https://t.me/aqidah_dan_manhaj
https://www.facebook.com/aqidah.dan.manhaj/

Artikel TERKAIT :
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Haqiiqotul Bid’ah wa AhkaamuhaaHakikat Bid’ah dan Hukum-Hukumnya
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Showarif ‘Anil HaqHal-Hal Yang Bisa Memalingkan Seseorang Dari KEBENARAN
⚉   PEMBAHASAN LENGKAP – Al IshbaahManhaj SALAF Dalam Masalah TARBIYAH dan PERBAIKAN

AL FAWAID AL ILMIYYAH GROUP