Ketahuilah saudaraku, bahwa hadits dilihat dari banyaknya jalan terbagi menjadi dua yaitu hadits Mutawatir dan hadits ahad.
Kita akan membahas hadits mutawatir terlebih dahulu.
Al Hafidz ibnu Hajar Al Asqolani dalam kitab Nuzhatunnazhor berkata: “Apabila terkumpul empat syarat berikut ini, yaitu:
1. Jumlah yang banyak yang secara kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat di atas kedustaan.
2. Mereka (jumlah yang banyak) meriwayatkan dari yang sama dengan mereka dari awal sampai akhir sanad.
3. Sandaran periwayatan mereka adalah panca indera.
4. kabar mereka menghasilkan ilmu (keyakinan) bagi pendengarnya.
Maka ini disebut mutawatir. Bila tidak menghasilkan ilmu, maka disebut masyhur saja. (An Nukat Ala Nuzhatinnadzor hal 56)
Inilah syarat syarat hadits untuk disebut mutawatir. Kita perjelas satu persatu.
Syarat yang pertama adalah jumlah yang banyak.
Terjadi perselisihan para ulama berapa jumlah banyak yang dapat disebut mutawatir; sebagian ulama berpendapat lima ke atas, ada yang berpendapat sepuluh, ada lagi dua puluh dan sebagainya.
Yang paling kuat adalah bahwa mutawatir tidak dibatasi oleh jumlah tertentu. Inilah yang dirojihkan oleh banyak ulama muhaqiq seperti syaikhul islam ibnu Taimiyah, Al Hafidz ibnu Hajar Al Asqolani, Assuyuthi dan lainnya.
Terlebih bila kita melihat syarat yang keempat yaitu menghasilkan keyakinan. Suatu kabar menghasilkan keyakinan atau tidak, tidak ditentukan oleh sebatas jumlah tapi terkadang karena indikasi indikasi lainnya.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Pendapat yang sahih yang dipegang oleh mayoritas ulama adalah bahwa mutawatir tidak terbatas dengan jumlah tertentu. dan ilmu yang terhasilkan dari suatu kabar, akan terhasilkan di hati. sebagaimana terhasilkannya kenyang setelah makan, puas setelah minum. Tetapi sesuatu yang mengenyangkan seseorang atau memuaskannya tidak memiliki batasan tertentu.
Sesuatu yang mengenyangkan itu bisa jadi karena kwantitas makanan atau kwalitasnya… (Majmu Fatawa 18/50)
Perkataan Al Hafidz: Secara kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat di atas kedustaan.
Maksudnya karena melihat ketaqwaan dan kejujurannya yang luar biasa. Dimana jumlah mereka banyak dan negeri mereka berjauhan, namun kabar mereka serupa.
Sebuah contoh: Bila kita pergi ke sumatera lalu kita bertemu dengan orang yang kita ketahui amat taqwa dan jujur memberitakan sebuah kabar.
Kemudian kita pergi ke Irian jaya, dan bertemu dengan orang yang taqwa dan jujur yang memberitakan kabar yang mirip dengan yang pertama.
Kemudian kita pergi ke sumbawa dan bertemu dengan orang yang taqwa dan jujur yang juga memberitakan kabar yang serupa.
Tentu hal ini akan menghasilkan keyakinan akan kebenaran berita tersebut setelah melihat sifat pembawa beritanya yang taqwa dan jujur, daerah mereka yang berjauhan, dan mungkin tidak saling mengenal satu sama lainnya, sehingga secara nalar tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta.
Bersambung…
Badru Salam, حفظه الله