Definisi
مَا نَسَبَهُ التَّابِعِي –الَّذِيْ سَمِعَ مِنَ الصَّحَابَةِ- إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ
Hadits yang disandarkan oleh para tabi’in -mereka adalah orang yang mendengarkan hadits dari shahabat- kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat.
Bentuk ungkapan hadits mursal; seorang tabi’in mengatakan,
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda demikian”, “Melakukan demikian”, “Dilakukan hal demikian di hadapan beliau”, atau “Beliau memiliki sifat demikian” seraya memberitakan tentang salah satu sifat beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Contoh; Abdur Razaq mengemukakan riwayat di dalam kitabnya Al Mushannaf(5281)
عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ أَقْبَلَ بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ، فَقَالَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
Dari Ibnu Juraij, dari Atha’, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam apabila naik ke mimbar beliau menghadapkan wajah beliau ke orang-orang lalu mengucap, “Assalamu’alaikum.”
Atha’ dalam hadits di atas adalah Atha’ bin Abi Rabah, seorang tabi’in besar, ia mendengarkan hadits dari sejumlah shahabat, tetapi riwayatnya dari Rasulullah adalah mursal.
Apakah Hadits Mursal Bisa Menjadi Hujjah ?
Mengenai masalah ini, terjadi silang pendapat di antara para ulama.
Pendapat pertama: Hadits mursal adalah hadits dho’if dan tertolak.
Yang berpendapat seperti ini adalah mayoritas ulama pakar hadits, serta kebanyakan ulama ushul dan fiqh. Alasan mereka karena dalam hadits mursal terdapat jahalah perowi (ada perowi yang tidak diketahui keadaannya), boleh jadi yang terhapus adalah selain sahabat.
Pendapat kedua: Hadits mursal adalah hadits shahih, bisa dijadikan hujjah.
Yang berpendapat seperti ini adalah tiga ulama madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad) dan juga sekelompok ulama lainnya. Namun mereka memberi syarat, tabi’in yang meriwayatkan hadits mursal harus tsiqoh (terpercaya), sehingga ia tidak meriwayatkan selain dari yang tsiqoh. Hujjah mereka adalah bahwa tabi’in yang tsiqoh mustahil ia katakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, kecuali ia mendengarnya dari yang tsiqoh pula.
Pendapat ketiga: Hadits mursal bisa diterima dengan memenuhi syarat.
Inilah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i dan ulama lainnya.
Syarat yang harus dipenuhi ada empat. Tiga syarat berkaitan dengan perowi dan satu syarat berkaitan dengan hadits mursalnya. Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut.
– Yang meriwayatkan hadits mursal adalah tabi’in senior (bukan junior).
– Tabi’in tersebut dikatakan tsiqoh oleh orang yang meriwayatkannya.
– Didukung oleh pakar hadits terpercaya lainnya yang tidak menyelisihinya.
– Hadits mursal tersebut didukung oleh salah satu dari:
(1) hadits musnad,
(2) hadits mursal lain,
(3) bersesuaian dengan perkataan sahabat, atau
(4) fatwa mayoritas ulama.
Badru Salam, حفظه الله تعالى
Baca artikel terkait sebelumnya : Hadits-Hadits MU’ALLAQ Yang Ada Dalam Shahih Bukhari…