Mengejar BAYANGAN SEMU Atau BERPALING MENUJU KEPASTIAN…

Ustadz Aan Chandra Thalib حفظه الله تعالى

Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah mengatakan:

الدنيا كالظل لو لاحقتها تهرب منك و لو اعطيتها ظهرك تلاحقك.

“Dunia itu ibarat bayangan, bila kau kejar, dia akan lari darimu. Tapi bila kau palingkan badanmu, dia tak punya pilihan lain kecuali mengikutimu.”

Apa yang dikatakan Ibnul Qoyyim diatas selaras dengan sabda nabi shallallahu alaihi wasallam berikut ini:

مَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ

“Siapa yang obsesi hidupnya akhirat, maka Allah akan menjadikan kekayaannya berada di dalam hatinya, menyatukan urusannya, dan dunia datang kepadanya dalam keadaan tunduk. Sebaliknya, siapa yang menjadikan dunia sebagai obsesinya, maka Allah akan meletakkan kefaqiran di depan matanya, Dia akan mencerai-beraikan urusannya, sementara dunia tidak mendatanginya kecuali sebatas apa yang telah ditakdirkan baginya.”

(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Catatan:

Begitulah… setiap potongan hidup selalu menyajikan pilihan-pilihannya sendiri.

Disini kita hanya punya dua pilihan, mengejar bayangan semu atau berbalik menuju kepastian.
Tak ada pilihan ketiga, sebab kita tak mungkin berhenti, karena dengan berhenti itu artinya kita telah memilih untuk binasa.

Teruslah melangkah maju…
Sesekali lihatlah bayang itu, karena Allah azza wa jalla berfirman:

وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (berupa kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al-Qashshash: 77)

Sebagian orang menyangka bahwa maksud ayat ini adalah anjuran untuk menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Padahal tidak, justru ayat ini menjelaskan agar manusia sepenuhnya mencari karunia akhirat dan menjadikan dunianya sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan akhirat. Sehingga apapun pekerjaan duniawi yang ditekuni seseorang -selama itu halal-, hendaknya membuat ia semakin bersemangat dalam meraih akhiratnya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh mayoritas ahli tafsir diantaranya Ibnu Abbas, Al-Qurthuby, Jalaluddin Al-Mahally dan As-Sa’dy -rahihumullah-

As-Sa’di menjelaskan “Engkau memiliki berbagai sarana untuk menggapai kebahagiaan akhirat berupa harta, dimana hal tersebut tidaklah dimiliki oleh orang lain selain dirimu. Maka raihlah dengan harta tersebut apa yang ada disisi Allah. Berinfaklah dengannya, jangan menggunakannya sebatas untuk memenuhi kebutuhan syahwat dan berbagai kelezatan semata. “Jangan lupakan bagianmu di dunia”. Maksudnya, Allah tidak memerintahkan supaya manusia menginfakkan seluruh hartanya, hingga ia terlantar. Namun infakkan dengan niat untuk kebahagiaan akhiratmu.

Bersenang-senanglah dengan duniamu dengan tidak melalaikan agama sehingga membahayakan kehidupan akhiratmu.”

Kesimpulannya, tataplah akhiratmu, berjalanlah menujunya, namun jangan lupakan duniamu sebagai sarana meraihnya. Sebab Allah tak memuji mereka yang terus-menerus beribadah dan melupakan dunia, tapi Dia memuji mereka yang melakukan pekerjaan dunia namun hati mereka terpaut pada Allah.

رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

“laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang” (QS. An-Nur:37).

Wallahu a’lam

اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي، وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيهَا مَعَاشِي، وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيهَا مَعَادِي، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ

Ya Allah,perbaikilah agama kami yang merupakan sandaran segala urusan kami. Dan perbaikilah urusan
dunia kami yang merupakan tempat tinggal kami,dan perbaikilah akhirat kami yang merupakan tempat kembali kami. Dan jadikanlah kehidupan kami sebagai
tambahan bagi kebaikan kami dan
kematian kami sebagai tempat istirahat
dari segala kejelekan kami.” (HR Muslim)

_____________
Madinah 25-05-1436 H
ACT El Gharantaly (0)

Menolak Penulisan Gelar dan Menolak Tersohor

Sangat sedikit orang yang memiliki gelar dan memang layak memiliki gelar tersebut. Dan lebih sedikit lagi jumlahnya, orang-orang yang enggan mencantumkan gelar-gelar yang layak mereka sandang. Syaikh ‘Abdurrozaq adalah satu di antara yang sedikit tersebut. Saat salah seorang ikhwan dari Indonesia meminta izin untuk menerjemahkan buku beliau yang berjudul Fikhul Ad’iyaa wal Adzkar (Fikh Doa dan Dzikir) ke dalam bahasa Indonesia, beliau mengizinkan dengan syarat: tatkala buku tersebut dicetak, nama beliau hanya ditulis ‘Abdurrozaq bin Abdilmuhsin Al-Badr’, tanpa embel-embel gelaran Profesor Doktor.

Begitu pula buku-buku beliau yang dicetak di Arab Saudi maupun di Aljazair (Algeria), semua tanpa embel-embel gelar tersebut. Padahal sudah belasan tahun –bahkan hampir 20 tahun- beliau menyandang gelar professor, mengingat beliau memperoleh gelar tersebut dalam usia yang masih relatif muda. Hal ini dikarenakan karena beliau sangat produktif dalam menelurkan karya-karya ilmiah yang sangat berharga.

Saat Radiorodja ingin menulis undangan kepada beliau untuk datang ke Indonesia, beliau ingatkan untuk tidak perlu mencantumkan dalam undangan tersebut bahwasanya beliau akan menyampaikan kajian di Masjid Istiqlal yang merupakan masjid terbesar di Indonesia. Beliau katakan cukup dicantumkan bahwa beliau akan mengisi di Radiorodja.

Bahkan, tatkala pihak Radiorodja menyampaikan kepada beliau bahwa ada salah satu stasiun televisi yang ingin meliput kajian beliau dan juga ada sebagian wartawan yang ingin mewawancarai beliau maka beliau menolak.

Menyembunyikan Tangis untuk Menjaga Keikhlasan

Sesungguhnya insan yang selalu dekat dengan Tuhannya, niscaya lembutlah hatinya. Hati yang lembut begitu mudah disentuh oleh perasaan khauf (takut kepada Allah) dan raja’ (berharap pada-Nya). Hati yang lembut pun bukan hanya mudah tersentuh, namun juga mudah ‘menyentuh’ hati orang lain.

Saat saya kuliah di semester 1 Fakultas Hadits, Syaikh Abdurrozaq menyampaikan muhadharah tentang iman kepada Hari Kiamat. Beliau dengan sangat menggebu-gebu menyampaikan dahsyatnya hari kiamat sehingga timbul rasa “khauf” yang amat sangat dalam hati kami, para mahasiswa. Namun, tiba-tiba beliau terdiam, bahkan terpaku membisu. Kami pun terkejut, ada apa gerangan..?

Beliau terus membisu hingga sekitar beberapa menit lamanya. Saat itulah saya melihat mata beliau berkaca-kaca. Hati saya pun semakin bertanya-tanya, “Mengapa Syaikh menahan tangisnya..? Bukankah jika beliau menangis di hadapan kami maka akan semakin menambah haru suasana dan menambah hidup wejangan-wejangan beliau..?”

Belakangan, setelah lama saya belajar, baru saya paham bahwa ternyata keikhlasan memang perkara yang sangat berat lagi sangat mahal harganya. Lebih berat lagi adalah menjaga keikhlasan setelah memperolehnya. Dan, memang merupakan kenyataan, bisa jadi seseorang ditimpa penyakit ujub tatkala dia mampu menangis di hadapan orang banyak. Bisa jadi… meskipun itu tidak lazim.

Pada kesempatan lain, beliau mengisi pengajian di Masjid Nabawi dan menyampaikan materi tentang berbakti kepada kedua orang tua. Saat itu beliau menjelaskan bahwa adanya orang tua di sebuah rumah merupakan hiasan rumah tersebut. Keberadaan orang tua menjadikan kehidupan di dalam sebuah rumah menjadi indah, dan ketiadaan mereka membuat kehidupan di rumah terasa gersang. Tiba-tiba nada suara beliau berubah seperti orang yang hendak menangis. Beliau pun terdiam beberapa menit. Kemudian, beliau memberi isyarat seakan-akan beliau hendak minum. Lantas, tatkala beliau memegang gelas untuk minum, tangan beliau gemetar. Hampir-hampir air yang ada di gelas itu tertumpah.

Subhanallah… beliau berusaha menutupi tangisan dengan minum air agar tidak ketahuan oleh para hadirin. Padahal, saat itu terdapat ratusan hadirin, bahkan merupakan jumlah hadirin terbanyak di majelis-majelis ilmu yang ada di Masjid Nabawi saat itu.

Hal serupa terjadi saat beliau mengisi acara di Radiorodja. Saat itu, beliau menyampaikan kepada Radiorodja akan kerinduan beliau untuk berkunjung ke studio Radiorodja secara langsung, dan beliau mengucapkan terima kasih kepada kru Radiorodja. Saking terharunya, tiba-tiba beliau terdiam. Saya yang sudah siap menerjemahkan perkataan beliau, tersentak kaget. Saya melihat mata beliau berkaca-kaca. Beliau ternyata sedang menahan tangis.

Peristiwa ini sekaligus menunjukkan betapa tawadhuk sikap Syaikh, sehingga beliau yang menyampaikan rasa terima kasih kepada kru Radiorodja secara langsung. Tatkala kru Radiorodja menyampaikan rasa gembira atas kesediaan beliau datang ke Jakarta, beliau langsung menimpali, “Saya yang harus berterima kasih kepada Radiorodja yang telah memberi saya kesempatan untuk bisa menyampaikan dakwah..”

Subhanallah…! Sungguh sikap tawadhu yang tidak dibuat-buat. Semoga Allah meninggikan derajat beliau.

Sikap lain yang menunjukan ketawadu’an syaikh, tatkala kru radiorodja mengabarkan kepada syaikh bahwa ternyata yang menghadiri tabligh akbar syaikh Abdurrozzaq dengan materi yang berjudul “Sebab-sebab kebahagiaan” berjumlah lebih dari 100 ribu peserta, dan ini merupakan rekor terbaru, karena masjid istiqlal tidak pernah dihadiri oleh jema’ah pengajian seramai ini dalam sejarah Indonesia. Maka syaikh dengan tersenyum berkata, “Mereka para hadirin yang datang bukan karena aku akan tetapi karena si penerjemah Firanda..” Spontan kamipun tertawa tatkala mendengar hal ini.

Ada juga kejadian lain yang tidak kalah menarik yang menunjukan sikap tawadhu syaikh, yaitu suatu ketika tatkala syaikh mengisi pengajian di radiorodja ada seseorang yang bertanya kepada beliau, dan sebelum bertanya penanya tersebut berkata, “Wahai syaikh, aku setiap mendengar pengajian yang Anda sampaikan hatiku menjadi lembut, dan aku lihat dari tutur kata Anda tatakala menyampaikan pengajian menunjukan bahwa Anda adalah orang yang berhati lembut..” Syaikh berkata mengomentari perkataan si penanya ini, “Adapun perkataan si penanya bahwa aku berhati lembut, maka itu hanyalah persangkaan penanya saja, dan aku berharap dan berdo’a agar Allah menjadikan aku berakhlak mulia, dan juga para pendengar radiorodja sekalian..” Subhaanallah, sungguh sikap tawadhu dan tidak terpedaya dengan pujian yang sampai kepada beliau.

Sungguh aku sangat merasa bagaimana beratnya ujian yang dihadapi oleh syaikh, bayangkan saja jika kita menyampaikan pengajian dan ternyata yang hadir sangatlah buaanyaak, tidak usah hinggga seratus ribu orang. Taruhlah yang hadir hanyalah seribu orang… betapa akan timbul berbagai banyak perasaan dalam hati kita, tercampur antara riya dan ujub.

Adapun mengenai upaya Syaikh untuk menyembunyikan tangis di hadapan orang lain, Saya teringat kisah salah seorang salaf ketika menyampaikan sebuah nasihat tiba-tiba dia pun menangis karena terharu dengan nasihat tersebut, lantas untuk menutupinya, beliau berkata, “Sesungguhnya influensa itu berat..” Ulama salaf tersebut adalah Ayyub As-Syikhtiyani, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam kitabnya Ar-Riqqah wal Buka:

قال حماد بن زيد: ذَكَرَ أَيُّوْبُ يَوْمًا شَيْئًا ، فَرَقَّ ، فَالْتَفَتَ كَأَنَّهُ يَتَمَخَّطُ . ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَقَالَ: « إِنَّ الزُّكَّامَ شَدِيْدٌ عَلَى الشَّيْخِ »

Hammad bin Zaid berkata, “Suatu hari Ayyub menyebutkan sesuatu kemudian dia pun terenyuh, lantas dia memalingkan wajahnya seakan-akan hendak buang ingus. Kemudian dia kembali menghadap kami dan berkata, ‘Sesungguhnya flu berat bagi Syaikh..’”

Syaikh Ayyub As-Syikhtiyani menggambarkan kepada orang-orang di sekitarnya seakan-akan beliau sakit flu, padahal beliau tidak sakit flu, oleh karena itu beliau tidak berkata, “saya sedang flu,” namun beliau berkata, “Penyakit flu itu berat.”

Subhanallah..! Keikhlasan memang sulit. Namun lebih sulit lagi menjaga keikhlasan setelah seseorang meraihnya.

Ditulis oleh,
Ustadz Firanda Andirja MA, حفظه الله تعالى

Anak Gadis Dan Anak Ayam

Banyak orang yang memiliki atau memelihara hewan piaraan, semisal ayam. Tatkala telah tiba saatnya, atau tatkala mereka merasa butuh, maka mereka menjual ayam-ayam piaraan itu ke pasar atau ke pedagang ayam.

Dari satu penawar berganti ke penawar lainnya, dengan harapkan mendapatkan penawaran harga tertinggi. Mereka tidak rela melepaskan ayam-ayam piaraannya kepada sembarang orang. Mereka menginginkan agar ayam piaraannya dibeli dengan harga mahal.

Dalam urusan ayam piaraan, mereka berusaha mencari pembeli yang berani memberikan penawaran tertinggi. Namun aneh bin ajaib, giliran urusan jodoh untuk putrinya, banyak dari orang yang hanya menanti dan menanti.

Mereka rela melepaskan anak gadis kesayangannya kepada sembarang lelaki yang datang melamar putrinya. Bahkan banyak dari mereka merasa gengsi atau tercoreng mukanya hingga runtuh harga dirinya bila menawarkan putrinya kepada seorang pemuda, walaupun dia adalah pemuda sholeh dan mampu memberikan “penawaran” paling istimewa untuk putrinya.

Bukan penawaran uang atau barang, namun berupa kesetiaan, pendidikan, tanggung jawab dan perlindungan.

Mungkinkah anak ayam lebih bernilai dan berharga bagi mereka dibanding anak gadisnya..?

Mungkin anda berkata: malu dong, menawarkan anak gadis..?! terkesan anak gadis saya kurang laku sehingga di tawar-tawarkan kepada orang..

Betul, sangat memalukan bila anda menawarkan anak gadis kesayangan anda kepada sembarang orang, namun sebaliknya betapa nistanya anda bila akhirnya melepaskan anak gadis anda kepada lelaki yang akan menghinakannya, apalagi menutup mata mengetahui anak gadis anda diperlakukan seperti “anak ayam” yang bebas digoda dan dirayu lalu dimiliki oleh pejantan jalanan.

Karena itu; jangan anda tawarkan kepada sembarang lelaki, namun tawarkanlah kepada orang yang sholeh yang siap menjadi suami yang sholeh dan bertanggung jawab.

Teladanilah Syu’aib ‘alaihissalam ketika beliau menawarkan putrinya kepada lelaki miskin namun sholeh yaitu nabi Musa ‘alaihissalam:

( قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ )

“Ia (Syu’aib ) berkata: aku hendak menikahkanmu dengan salah satu dari kedua putriku ini, dengan ketentuan engkau bekerja padaku (menggembala kambing-kambingku) selama delapan tahun, dan jikalau engkau menggenapkannya menjadi sepuluh tahun maka itu sepenuhnya adalah kebaikan darimu (berpulang kepadamu), sedangkan aku tidak ingin menyusahkanmu. Dan insyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sholeh (baik).” (Al Qashash 27).

Ditulis oleh,
Ustadz Muhammad Arifin Badri MA, حفظه الله تعالى

Bagi Anda Yang Bentuk Tulisannya Jelek, Gak Usah Minder

Memang bentuk tulisan bagus adalah suatu kelebihan, namun bukan berarti yang bentuk tulisannya jelek harus minder.

Karena ternyata ada juga beberapa ulama zaman dahulu yang bentuk tulisannya jelek, namun sangat banyak memberikan manfaat kepada orang lain dari tulisan-tulisannya.

Diantara ulama yang terkenal bentuk tulisannya jelek adalah: Sufyan Ats-Tsauri, Shofiyyuddin Al-Hindi, Ibnu Taimiyah, Azzarkasyi, Asy-Syaukani, Syeikh Albani, dll… rohimahumulloh.

Bahkan tentang Shofiyyuddin Al-Hindi (wafat di damaskus th 715 H), Tajuddin Assubki bercerita:

“Bentuk tulisan orang ini sangat jelek sekali, orang ini cerdas dan sederhana.. dikisahkan dia pernah mengatakan :

“Suatu saat aku mendapatkan di pasar kitab; sebuah buku yang bentuk tulisannya lebih jelek dari tulisanku, maka akupun membelinya walaupun menurutku harganya mahal.

Tujuanku membeli kitab itu, untuk membantah orang yang mengklaim bahwa khotku adalah khot yang paling jelek.

Tapi sesampainya aku di rumah, tenyata kudapati itu adalah tulisanku sendiri yang sudah lama..”

[Kitab: Thobaqot Syafi’iyyah 9/163]

Ditulis oleh,
Ustadz Musyaffa’ Ad Dariny, حفظه الله تعالى

Ibadah Untuk Apa..?

Kita ingin beribadah meraih keridloanNya..
Namun sayang.. kita tidak memperhatikan ibadah seperti apa yang diridhoi olehNya..

Ibnul Qoyyim berkata..
Banyak manusia yang beribadah..
Untuk kepuasan jiwanya..
Padahal seharusnya..
Ia beribadah sesuai keridhoan penciptanya..

Ditulis oleh,
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى

Sebaik-Baiknya Budak

Tidak aneh..
Bila kamu melihat perahu berlayar dilautan..
Yang berbahaya adalah bila air laut masuk dalam perahu..

Demikianlah hidup di dunia..
Silahkan kamu hidup di hati dunia..
Namun jangan kamu masukkan dunia ke hatimu..
Karena dunia..
Sebaik baiknya budak..
Dan seburuk buruknya majikan..

Ditulis oleh.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى

Menebar Cahaya Sunnah