Sangat sedikit orang yang memiliki gelar dan memang layak memiliki gelar tersebut. Dan lebih sedikit lagi jumlahnya, orang-orang yang enggan mencantumkan gelar-gelar yang layak mereka sandang. Syaikh ‘Abdurrozaq adalah satu di antara yang sedikit tersebut. Saat salah seorang ikhwan dari Indonesia meminta izin untuk menerjemahkan buku beliau yang berjudul Fikhul Ad’iyaa wal Adzkar (Fikh Doa dan Dzikir) ke dalam bahasa Indonesia, beliau mengizinkan dengan syarat: tatkala buku tersebut dicetak, nama beliau hanya ditulis ‘Abdurrozaq bin Abdilmuhsin Al-Badr’, tanpa embel-embel gelaran Profesor Doktor.
Begitu pula buku-buku beliau yang dicetak di Arab Saudi maupun di Aljazair (Algeria), semua tanpa embel-embel gelar tersebut. Padahal sudah belasan tahun –bahkan hampir 20 tahun- beliau menyandang gelar professor, mengingat beliau memperoleh gelar tersebut dalam usia yang masih relatif muda. Hal ini dikarenakan karena beliau sangat produktif dalam menelurkan karya-karya ilmiah yang sangat berharga.
Saat Radiorodja ingin menulis undangan kepada beliau untuk datang ke Indonesia, beliau ingatkan untuk tidak perlu mencantumkan dalam undangan tersebut bahwasanya beliau akan menyampaikan kajian di Masjid Istiqlal yang merupakan masjid terbesar di Indonesia. Beliau katakan cukup dicantumkan bahwa beliau akan mengisi di Radiorodja.
Bahkan, tatkala pihak Radiorodja menyampaikan kepada beliau bahwa ada salah satu stasiun televisi yang ingin meliput kajian beliau dan juga ada sebagian wartawan yang ingin mewawancarai beliau maka beliau menolak.
Menyembunyikan Tangis untuk Menjaga Keikhlasan
Sesungguhnya insan yang selalu dekat dengan Tuhannya, niscaya lembutlah hatinya. Hati yang lembut begitu mudah disentuh oleh perasaan khauf (takut kepada Allah) dan raja’ (berharap pada-Nya). Hati yang lembut pun bukan hanya mudah tersentuh, namun juga mudah ‘menyentuh’ hati orang lain.
Saat saya kuliah di semester 1 Fakultas Hadits, Syaikh Abdurrozaq menyampaikan muhadharah tentang iman kepada Hari Kiamat. Beliau dengan sangat menggebu-gebu menyampaikan dahsyatnya hari kiamat sehingga timbul rasa “khauf” yang amat sangat dalam hati kami, para mahasiswa. Namun, tiba-tiba beliau terdiam, bahkan terpaku membisu. Kami pun terkejut, ada apa gerangan..?
Beliau terus membisu hingga sekitar beberapa menit lamanya. Saat itulah saya melihat mata beliau berkaca-kaca. Hati saya pun semakin bertanya-tanya, “Mengapa Syaikh menahan tangisnya..? Bukankah jika beliau menangis di hadapan kami maka akan semakin menambah haru suasana dan menambah hidup wejangan-wejangan beliau..?”
Belakangan, setelah lama saya belajar, baru saya paham bahwa ternyata keikhlasan memang perkara yang sangat berat lagi sangat mahal harganya. Lebih berat lagi adalah menjaga keikhlasan setelah memperolehnya. Dan, memang merupakan kenyataan, bisa jadi seseorang ditimpa penyakit ujub tatkala dia mampu menangis di hadapan orang banyak. Bisa jadi… meskipun itu tidak lazim.
Pada kesempatan lain, beliau mengisi pengajian di Masjid Nabawi dan menyampaikan materi tentang berbakti kepada kedua orang tua. Saat itu beliau menjelaskan bahwa adanya orang tua di sebuah rumah merupakan hiasan rumah tersebut. Keberadaan orang tua menjadikan kehidupan di dalam sebuah rumah menjadi indah, dan ketiadaan mereka membuat kehidupan di rumah terasa gersang. Tiba-tiba nada suara beliau berubah seperti orang yang hendak menangis. Beliau pun terdiam beberapa menit. Kemudian, beliau memberi isyarat seakan-akan beliau hendak minum. Lantas, tatkala beliau memegang gelas untuk minum, tangan beliau gemetar. Hampir-hampir air yang ada di gelas itu tertumpah.
Subhanallah… beliau berusaha menutupi tangisan dengan minum air agar tidak ketahuan oleh para hadirin. Padahal, saat itu terdapat ratusan hadirin, bahkan merupakan jumlah hadirin terbanyak di majelis-majelis ilmu yang ada di Masjid Nabawi saat itu.
Hal serupa terjadi saat beliau mengisi acara di Radiorodja. Saat itu, beliau menyampaikan kepada Radiorodja akan kerinduan beliau untuk berkunjung ke studio Radiorodja secara langsung, dan beliau mengucapkan terima kasih kepada kru Radiorodja. Saking terharunya, tiba-tiba beliau terdiam. Saya yang sudah siap menerjemahkan perkataan beliau, tersentak kaget. Saya melihat mata beliau berkaca-kaca. Beliau ternyata sedang menahan tangis.
Peristiwa ini sekaligus menunjukkan betapa tawadhuk sikap Syaikh, sehingga beliau yang menyampaikan rasa terima kasih kepada kru Radiorodja secara langsung. Tatkala kru Radiorodja menyampaikan rasa gembira atas kesediaan beliau datang ke Jakarta, beliau langsung menimpali, “Saya yang harus berterima kasih kepada Radiorodja yang telah memberi saya kesempatan untuk bisa menyampaikan dakwah..”
Subhanallah…! Sungguh sikap tawadhu yang tidak dibuat-buat. Semoga Allah meninggikan derajat beliau.
Sikap lain yang menunjukan ketawadu’an syaikh, tatkala kru radiorodja mengabarkan kepada syaikh bahwa ternyata yang menghadiri tabligh akbar syaikh Abdurrozzaq dengan materi yang berjudul “Sebab-sebab kebahagiaan” berjumlah lebih dari 100 ribu peserta, dan ini merupakan rekor terbaru, karena masjid istiqlal tidak pernah dihadiri oleh jema’ah pengajian seramai ini dalam sejarah Indonesia. Maka syaikh dengan tersenyum berkata, “Mereka para hadirin yang datang bukan karena aku akan tetapi karena si penerjemah Firanda..” Spontan kamipun tertawa tatkala mendengar hal ini.
Ada juga kejadian lain yang tidak kalah menarik yang menunjukan sikap tawadhu syaikh, yaitu suatu ketika tatkala syaikh mengisi pengajian di radiorodja ada seseorang yang bertanya kepada beliau, dan sebelum bertanya penanya tersebut berkata, “Wahai syaikh, aku setiap mendengar pengajian yang Anda sampaikan hatiku menjadi lembut, dan aku lihat dari tutur kata Anda tatakala menyampaikan pengajian menunjukan bahwa Anda adalah orang yang berhati lembut..” Syaikh berkata mengomentari perkataan si penanya ini, “Adapun perkataan si penanya bahwa aku berhati lembut, maka itu hanyalah persangkaan penanya saja, dan aku berharap dan berdo’a agar Allah menjadikan aku berakhlak mulia, dan juga para pendengar radiorodja sekalian..” Subhaanallah, sungguh sikap tawadhu dan tidak terpedaya dengan pujian yang sampai kepada beliau.
Sungguh aku sangat merasa bagaimana beratnya ujian yang dihadapi oleh syaikh, bayangkan saja jika kita menyampaikan pengajian dan ternyata yang hadir sangatlah buaanyaak, tidak usah hinggga seratus ribu orang. Taruhlah yang hadir hanyalah seribu orang… betapa akan timbul berbagai banyak perasaan dalam hati kita, tercampur antara riya dan ujub.
Adapun mengenai upaya Syaikh untuk menyembunyikan tangis di hadapan orang lain, Saya teringat kisah salah seorang salaf ketika menyampaikan sebuah nasihat tiba-tiba dia pun menangis karena terharu dengan nasihat tersebut, lantas untuk menutupinya, beliau berkata, “Sesungguhnya influensa itu berat..” Ulama salaf tersebut adalah Ayyub As-Syikhtiyani, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam kitabnya Ar-Riqqah wal Buka:
قال حماد بن زيد: ذَكَرَ أَيُّوْبُ يَوْمًا شَيْئًا ، فَرَقَّ ، فَالْتَفَتَ كَأَنَّهُ يَتَمَخَّطُ . ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَقَالَ: « إِنَّ الزُّكَّامَ شَدِيْدٌ عَلَى الشَّيْخِ »
Hammad bin Zaid berkata, “Suatu hari Ayyub menyebutkan sesuatu kemudian dia pun terenyuh, lantas dia memalingkan wajahnya seakan-akan hendak buang ingus. Kemudian dia kembali menghadap kami dan berkata, ‘Sesungguhnya flu berat bagi Syaikh..’”
Syaikh Ayyub As-Syikhtiyani menggambarkan kepada orang-orang di sekitarnya seakan-akan beliau sakit flu, padahal beliau tidak sakit flu, oleh karena itu beliau tidak berkata, “saya sedang flu,” namun beliau berkata, “Penyakit flu itu berat.”
Subhanallah..! Keikhlasan memang sulit. Namun lebih sulit lagi menjaga keikhlasan setelah seseorang meraihnya.
Ditulis oleh,
Ustadz Firanda Andirja MA, حفظه الله تعالى