Category Archives: Abdullah Roy

Apakah Makmum Ikut Mengangkat Tangan dan Mengamini Imam Qunut Shubuh..?

Tanya:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, ustadz, ana mau bertanya ketika kita bermakmum kepada imam yang berqunut shubuh apakah harus ikut atau diam (tidak mengangkat tangan)? Karena yang ana tahu qunut shubuh dalilnya dhaif. Mohon penjelasannya. Jazakallahu khair.

Jawab:

Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. 

Qunut shubuh termasuk perkara khilafiyyah, dan yang rajih bahwasanya amalan ini tidak disyariatkan karena tidak memiliki dalil yang shahih. Namun apabila imam berqunut shubuh maka hendaklah makmum mengikutinya, mengangkat kedua tangan dan mengamininya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنما جعل الإمام ليؤتم به

Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti. (HR.Al-Bukhari dan Muslim).

Beliau shallallhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

يصلون لكم فإن أصابوا فلكم وإن أخطؤوا فلكم وعليهم

Mereka (imam-imam) tersebut sholat untuk kalian, kalau mereka benar maka kalian mendapat pahala, dan kalau mereka bersalah maka kalian mendapat pahala dan mereka menanggung kesalahannya.” (HR. Al-Bukhary)

Imam Abu Dawud menyebutkan sebuah atsar dimana ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu sholat di Mina 4 rakaat dengan ijtihad beliau, maka Abdullah bin Mas’ud berkata: “Aku sholat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (di Mina) 2 rakaat, dan bersama Abu Bakar 2 rakaat, dan bersama Umar 2 rakaat ” yaitu dengan mengqashar sholat 4 rakaat.

Akan tetapi ketika beliau sholat di belakang ‘Utsman beliau sholat 4 rakaat, maka beliau ditanya, kenapa melakukan demikian? Maka beliau menjawab: Perbedaan itu jelek.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunannya 1/602 no: 1960)

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وكذلك إذا اقتدى المأموم بمن يقنت في الفجر أو الوتر قنت معه سواء قنت قبل الركوغ أو بعده وإن كان لا يقنت لم يقنت معه ولو كان الإمام يرى استحباب شيء والمأمومون لا يستحبونه فتركه لأجل الاتفاق والائتلاف : كان قد أحسن

“Dan demikian pula jika makmum di belakang imam yang berqunut shubuh atau witir maka dia juga berqunut, sama saja apakah qunutnya sebelum ruku’ atau setelahnya, kalau imam tidak berqunut maka makmum juga tidak berqunut, dan seandainya imam berpendapat mustahabnya sebuah amalan, dan makmum tidak berpendapat demikian maka jika imam meninggalkan amalan tersebut untuk mewujudkan kesepakatan dan kerukunan sungguh dia telah berbuat baik.” (Majmu Al-Fatawa 22/267-268).

Beliau juga berkata:

ولهذا ينبغى للمأموم أن يتبع إمامه فيما يسوغ فيه الاجتهاد فاذا قنت قنت معه وإن ترك القنوت لم يقنت

Oleh karena itu seyogyanya bagi seorang makmum mengikuti imam di dalam perkara yang boleh di dalamnya berijtihad, kalau imam qunut maka dia qunut, kalau imam meninggalkan qunut maka dia tidak qunut.” (Majmu Al-Fatawa 23/115)

Syeikh Al-Utsaimin rahimahullah juga pernah ditanya permasalahan ini maka beliau mengatakan:

ثم إذا كان الإنسان مأموماً هل يتابع هذا الإمام فيرفع يديه ويؤمن معه، أم يرسل يديه على جنبيه؟
والجواب على ذلك أن نقول: بل يؤمن على دعاء الإمام ويرفع يديه تبعاً للإمام خوفاً من المخالفة. وقد نص الإمام أحمد – رحمه الله – على أن الرجل إذا ائتم برجل يقنت في صلاة الفجر، فإنه يتابعه ويؤمن على دعائه، مع أن الإمام أحمد – رحمه الله – لا يرى مشروعية القنوت في صلاة الفجر في المشهور عنه، لكنه – رحمه الله – رخص في ذلك؛ أي في متابعة الإمام الذي يقنت في صلاة الفجر خوفاً من الخلاف الذي قد يحدث معه اختلاف القلوب

Kemudian apabila seseorang menjadi makmum apakah mengikuti imam dan mengangkat tangan serta mengamini atau melepas kedua tangannya ke samping ? Jawabannya kita katakan: Hendaknya makmum mengamini doa imam dan mengangkat tangan untuk mengikuti imam, karena ditakutkan (kalau tidak mengikuti ) ini termasuk penyelisihan terhadap imam.

Imam Ahmad rahimahullahu telah menegaskan bahwa seseorang jika bermakmum kepada seseorang yang melakukan qunut shubuh maka hendaklah mengikutinya dan mengamini do’anya, padahal Imam Ahmad rahimahullah dikenal termasuk orang yang berpendapat tidak disyariatkannya qunut ketika sholat shubuh, akan tetapi beliau memberi keringanan dalam hal ini, yaitu dalam masalah mengikuti imam yang berqunut shubuh karena takut perselisihan yang akhirnya terjadi perselihan diantara hati.”

(Majmu Fatawa wa Rasail Syeikh Muhammad Al-Utsaimin 14/133)

Wallahu a’lam.

Ustadz DR. Abdullah Roy MA, حفظه الله تعالى 

Ref:  https://konsultasisyariah.com/861-apakah-makmum-ikut-mengangkat-tangan-dan-mengamini-imam-qunut-shubuh.html

Majelis Ilmu Bahasa Indonesia di Masjid NABAWI…

MADINAH 

Kajian Harian Berbahasa Indonesia di Masjid Nabawi Madinah

Kabar gembira bagi para jamaah umrah yang akan berziarah ke Masjid Nabawi, untuk bisa mendengarkan kajian berbahasa Indonesia di masjid yang dibangun oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Berikut jadwal kajian berbahasa indonesia di Masjid Nabawi, Madinah Al Munawwarah:

• Pemateri : Ustadz Abdullah Roy, MA
(Mahasiswa Doktoral, jurusan Aqidah, Fakultas Da’wah Dan Ushuluddin, Universitas Islam Madinah)

• Materi : Kitab Al Aqidah Ath Thahawiyah
• Karya : Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath Thahaawi

• Waktu : Setiap Hari, Setelah Sholat Magrib (akan dimulai insyaAllah hari Selasa, 7 Rajab 1438 H/4 April 2017 M)
• Tempat : Pintu 19 (Badr)

Semoga info kajian ini bisa disampaikan kepada para jamaah yang akan berangkat umrah tahun ini, sehingga bisa mengambil manfaat lebih banyak selama di Madinah dan meraih pahala menuntut ilmu di Masjid Nabawi.

Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ جَاءَ مَسْجِدِي هَذَا لَمْ يَأْتِهِ إِلاَّ لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ جَاءَ لِغَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتَاعِ غَيْرِهِ

“Barangsiapa mendatangi masjidku ini, ia tidak datang kecuali untuk kebaikan yang ingin dia pelajari atau diajarkan, maka kedudukannya seperti mujahid di jalan Allah. Dan barangsiapa datang untuk selain itu, maka ia laksana orang yang hanya memandang barang orang lain.” [HR. Ibnu Majah no. 227, di shahihkan oleh al-Albani]

.:: PPMI MADINAH ::.

Kapan Waktunya Menggerakkan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud..?

Pertanyaan :
Bismillaah, Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakaatuh,
Kaifa haaluk ya Ustadz ? Ana ada pertanyaan seputar masalah fiqh dalam sholat, mohon penjelasannya:

Penjelasan tentang menggerakkan jari telunjuk ketika tasyahud?

Mohon penjelasan & beserta pendapat yang rajih.
Semoga bisa menambah khazanah/referensi seputar permasalahan fiqih.
Wassalamu’alaikum. Jazaakallaahu khairan katsiro.

Jawaban:
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuhu.

Alhamdulillah khair.
Disunnahkan menggerakkan jari telunjuk ketika tasyahhud pada saat berdoa, karena datang di dalam hadits Wa’il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ أُصْبُعَهُ فَرَأَيْته يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا

“Bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat jari beliau, maka aku melihat beliau menggerakkannya, seraya berdoa dengannya.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’I, Ahmad dan dishahihkan Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa’ no: 367))

Ini menunjukkan bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menggerakkan jari telunjuk beliau ketika berdoa saja bukan dari awal tasyahhud, dan gerakan yang dimaksud di sini adalah gerakan yang ringan.

Berkata Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu:

السنة للمصلي حال التشهد أن يقبض أصابعه كلها أعني أصابع اليمنى ويشير بالسبابة ويحركها عند الدعاء تحريكا خفيفا إشارة للتوحيد وإن شاء قبض الخنصر والبنصر وحلق الإبهام مع الوسطى وأشار بالسبابة كلتا الصفتين صحتا عن النبي صلى الله عليه وسلم

“Yang sesuai dengan sunnah bagi orang yang shalat ketika tasyahhud adalah menggenggam semua jari kanannya dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya dan menggerakkannya ketika berdoa dengan gerakan yang ringan sebagai isyarat kepada tauhid, dan kalau dia mau maka bisa menggenggamkan jari kecil dan jari manis kemudian membuat lingkaran antara jempol dengan jari tengah, dan memberi isyarat dengan jari telunjuk, kedua cara ini telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Maj’mu Fatawa Syeikh Bin Baz 11/185)

Berkata Syeikh Abdul Muhsin Al-Abbad:

لا أعلم شيئاً يدل على أن الإنسان يحركها باستمرار، وإنما يحركها ويدعو بها، أي: عندما يأتي الدعاء: اللهم.. اللهم.. يحركها.

“Saya tidak tahu dalil yang menunjukkan bahwa seseorang menggerakkan jari telunjuk secara terus menerus, akan tetapi menggerakannya dan berdoa dengannya, yaitu: ketika melewati doa (Allahumma…Allahumma) menggerakkannya”
(Jawaban dari pertanyaan yang diajukan kepada beliau ketika mensyarh Sunan Abi Dawud, setelah Bab fil Hadab dari Kitab Al-Libas)

Adapun isyarat dengan jari dan mengangkatnya serta mengarahkannya ke arah qiblat, maka pendapat yang kuat ini dilakukan dari awal tasyahhud karena dhahir hadist-hadist menunjukkan demikian.

Diantara hadist yang menunjukkan disyari’atkannya isyarat dari awal tasyahhud adalah hadist Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma:

… وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ

“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan kiri di atas lutut kiri dan tangan kanan di atas paha kanan, dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya.” (HR. Muslim)

Dari Nafi’ beliau berkata:

كَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِذَا جَلَسَ فِى الصَّلاَةِ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ وَأَتْبَعَهَا بَصَرَهُ ثُمَّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَهِىَ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنَ الْحَدِيدِ ». يَعْنِى السَّبَّابَةَ

“Abdullah bin ‘Umar apabila duduk di dalam shalat meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya dan memberi isyarat dengan jarinya, dan menjadikan pandangannya mengikuti jari tersebut, kemudian beliau berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ini lebih keras bagi syetan dari pada besi, yaitu jari telunjuk.’” (HR. Ahmad, dan dihasankan Syeikh Al-Albany)

Dan dalam hadist yang lain:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ رَأَى رَجُلًا يُحَرِّكُ الْحَصَى بِيَدِهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ لَا تُحَرِّكْ الْحَصَى وَأَنْتَ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَلَكِنْ اصْنَعْ كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ قَالَ وَكَيْفَ كَانَ يَصْنَعُ قَالَ فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَأَشَارَ بِأُصْبُعِهِ الَّتِي تَلِي الْإِبْهَامَ فِي الْقِبْلَةِ وَرَمَى بِبَصَرِهِ إِلَيْهَا أَوْ نَحْوِهَا ثُمَّ قَالَ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ

Dari Abdullah bin Umar bahwasanya beliau melihat seorang laki-laki menggerakan kerikil ketika shalat, ketika dia selesai shalat maka Abdullah berkata: Jangan engkau menggerakkan kerikil sedangakan engkau shalat, karena itu dari syetan. Akan tetapi lakukan sebagaimana yang telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan. Maka beliau meletakkan tangan kanannya di atas pahanya dan mengisyaratkan dengan jari di samping jempol (yaitu jari telunjuk) ke arah qiblat, kemudian memandangnya, seraya berkata: Demikianlah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan. (HR. An-Nasa’i dan dishahihkan Syeikh Al-Albany)

Berkata Al-Mubarakfury:

ظَاهِرُ الْأَحَادِيثِ يَدُلُّ عَلَى الْإِشَارَةِ مِنْ اِبْتِدَاءِ الْجُلُوسِ

“Dhahir hadist-hadist menunjukkan bahwa isyarat dilakukan semenjak awal duduk” (Tuhfatul Ahwadzy 2/185, Darul Fikr).

Wallahu a’lam.

Ustadz Abdullah Roy,  حفظه الله تعالى 

Sumber: https://konsultasisyariah.com/744-kapan-waktunya-menggerakkan-jari-telunjuk-ketika-tasyahud.html

Hakikat Kritikan…

Badru Salam, حفظه الله تعالى

Ketika kita dikritik orang..
Terkadang kita marah dan benci kepada orang yang mengkritik..
Bahkan menganggapnya sebagai musuh..

Sebetulnya kritikan itu..
Mengajarkan kedewasaan kita..
Dan melatih kesabaran dalam mentarbiyah emosi.
Toh kita bukan malaikat atau nabi yang ma’shum.

Mungkin..
Orang yang mengkritik itu karena mencintai kita..
Sehingga ia memberi perhatiannya untuk kita..
Asal kita positif thinking aja..

Bila kritikan itu benar..
Tentu merujuk kebenaran lebih baik dari pada ngeyel di atas kesalahan..
Bila kritik itu tidak benar..
Cukup kita tepis dengan adab dan sopan santun..
Nggak perlu marah marah atau tersinggung..

Moga bermanfaat..

Mengenal Allah Sebagai Pemberi Rizqi…

Ustadz Abdullah Roy, حفظه الله تعالى

Di antara nama Allāh ‘Azza wa Jalla adalah Ar-Razzaq yang artinya Yang Maha Memberi Rizqi.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla menciptakan makhluq dan memberikan rizqi kepada mereka. Bahkan Allāh ‘Azza wakīl Jalla telah menulis rizqi makhluk-Nya sebelum Allāh menciptakan mereka.

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda :

قدر الله مقادير الخلائق قبل أن يخلق السموات والأرض بخمسين ألف سنة

“Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah menentukan (telah menulis) taqdir bagi makhluk-makhlukNya 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.”

(HR. Muslim, Tirmidzi dan Ahmad)

Allāh Subhānahu wa Ta’āla menciptakan rizqi tersebut dan menyampaikannya kepada makhluq sesuai dengan waktu yang sudah Allāh tentukan sebelumnya.

Dan tidak akan meninggal seseorang sampai dia mendapatkan rizqi yang terakhir, meskipun rizqi tersebut ada di puncak gunung atau bahkan ada di bawah lautan.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman :

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

“Tidak ada suatu binatang yang melata yang ada di permukaan bumi ini melainkan Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang akan memberikan rizqinya.”

(QS. Surat Hūd:6)

Siapa sesembahan selain Allāh yang bisa melakukan yang demikian?

Adakah selain Allāh sesembahan yang bisa memberi makan sekali saja untuk seluruh makhluq yang ada di bumi ini mulai dari manusia, jin, hewan dan juga tumbuhan?

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ فَأَنَّىٰ تُؤْفَكُونَ

“Wahai manusia hendaklah kalian mengingat nikmat Allāh atas kalian. Adakah yang mencipta selain Allāh, yang memberikan rizki kepada kalian dari langit maupun dari bumi? Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia. Oleh karena itu kenapa kalian dipalingkan?.”

(QS Surat Fāthir:3)

Itulah halaqah yang ke-3 dan sampai bertemu kembali pada halaqah yang selanjutnya.

وبالله التوفيق والهداية
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Riya’

Ustadz Abdullah Roy, حفظه الله تعالى

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم ِ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Riya’ adalah seorang mengamalkan sebuah ibadah bukan karena ingin pahala dari Allāh, akan tetapi ingin dilihat manusia dan dipuji.

Riya’ hukumnya HARAM dan dia termasuk syirik kecil yang samar yang tidak mengeluarkan seseorang dari Islam.

Riya’ adalah di antara sebab tidak diterimanya amal ibadah seseorang, bagaimanapun besar amalan tersebut.

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda :

ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺗَﺒَﺎﺭَﻙَ ﻭَﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺃَﻧَﺎ ﺃَﻏْﻨَﻰ ﺍﻟﺸُّﺮَﻛَﺎﺀِ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺸِّﺮْﻙِ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﺃَﺷْﺮَﻙَ ﻓِﻴﻪِ ﻣَﻌِﻲ ﻏَﻴْﺮِﻱ ﺗَﺮَﻛْﺘُﻪُ ﻭَﺷِﺮْﻛَﻪُ

“Allāh berkata: ‘Aku adalah Dzat yang paling tidak butuh dengan syirik. Barangsiapa yang mengamalkan sebuah amalan dia menyekutukan Aku bersama yang lain di dalam amalan tersebut maka Aku akan meninggalkannya dan juga kesyirikannya’.” (HR. Muslim)

Sebagian ulama berpendapat bahwa syirik yang kecil tidak ada harapan untuk diampuni oleh Allāh, artinya dia harus diadzab supaya bersih dari dosa riya’ tersebut.

Berbeda dengan dosa besar yang ada di bawah kehendak Allāh, yang kalau Allāh menghendaki maka akan diampuni langsung dan kalau Allāh menghendaki maka akan diadzab.

Mereka berdalil dengan keumuman ayat:

ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ لا ﻳَﻐْﻔِﺮُ ﺃَﻥْ ﻳُﺸْﺮَﻙَ ﺑِﻪِ ﻭَﻳَﻐْﻔِﺮُ ﻣَﺎ ﺩُﻭﻥَ ﺫَﻟِﻚَ ﻟِﻤَﻦْ ﻳَﺸَﺎﺀُ

“Sesungguhya Allāh tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa yang lain bagi siapa yang dikehendaki.” (QS. An Nisā: 48)

Tahukah kita siapa orang yang pertama kali nanti akan dinyalakan api neraka dengan mereka?

Mereka bukanlah preman-preman di jalan atau pembunuh yang kejam tapi mereka justru adalah orang-orang yang beramal shaleh.

Mereka adalah orang yang:
① Mengajarkan Al Quran supaya dikatakan sebagai seorang qāri, seorang yang suka membaca, seorang yang mahir membaca.

② Dan juga orang yang berinfak supaya dikatakan dermawan.

③ Dan berjihad supaya dikatakan seorang pemberani.

Beramal bukan karena Allāh.

Sebagaimana hal ini dikabarkan oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dalam hadits shahih.

Oleh karena itu, saudara sekalian, ikhlash-lah di dalam beramal dan ikhlash adalah barang yang sangat berharga.

Para salaf kita, merekapun merasakan beratnya memperbaiki hati mereka.

Dan hanya kepada Allāh kita meminta keikhlashan di dalam beramal, menjauhkan kita dari riya’, sum’ah, ujub dan berbagai penyakit hati.

Dan marilah kita biasakan untuk menyembunyikan amal kita kecuali kalau memang ada mashlahat yang lebih kuat.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqoh yang ke-20 ini. Dan sampai bertemu kembali pada halaqoh yang selanjutnya.

وبالله التوفيق والهداية
وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

Courtesy : BIAS

Seputar ‘SYAFAA’AT’…

Ustadz Abdullah Roy, حفظه الله تعالى

Syafā’at adalah meminta kebaikan bagi orang lain di dunia maupun di akhirat.

Allâh & Rasul-Nya telah mengabarkan kepada kita tentang adanya syafā’at pada hari kiamat.

Diantara bentuknya adalah bahwasanya Allāh mengampuni seorang muslim dengan perantara do’a orang yang telah Allāh izinkan untuk memberikan syafa’at.

Syafa’at akhirat ini harus kita imani & kita berusaha untuk meraihnya.

Dan modal utama untuk mendapatkan syafā’at akhirat adalah bertauhid & bersihnya seseorang dari kesyirikan.

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda ketika beliau mengabarkan tentang bahwasanya beliau memiliki syafā’at pada hari kiamat, beliau mengatakan:

فَهِيَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ الله مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لا يُشْرِكُ بِالله شَيْئًا

“Syafa’at itu akan didapatkan insyā’ Allāh oleh setiap orang yang mati dari umatku yang tidak menyekutukan Allāh sedikitpun.”
(Hadits Shahih Riwayat Muslim)

Merekalah orang-orang yang Allāh ridhai karena ketauhidan yang mereka dimiliki.

Allâh berfirman:

…وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَىٰ…

“…Dan mereka (yaitu para nabi para malaikat & juga yang lain) tidak memberikan syafā’at kecuali bagi orang-orang yang Allāh ridhai…”.
(Al-Anbiyaa’ 28)

Syafā’at di akhirat ini berbeda dengan syafā’at di dunia. Karena seseorang pada hari kiamat tidak bisa memberikan syafā’at bagi orang lain kecuali setelah diizinkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’ālā, sampai meskipun dia seorang nabi atau seorang malaikat sekalipun. Sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta’ālā (yang artinya) :

“Tidaklah ada yang memberikan syafa’at di sisi Allāh Ta’ālā kecuali dengan izin-Nya.” (Al-Baqarah 255)

Oleh karena itu permintaan syafā’at hanya ditujukan kepada Allāh, Zat yang memilikinya.

Seperti seseorang mengatakan dalam yang do’anya, “Ya Allāh, aku meminta syafa’at Nabi-Mu .”

Ini adalah cara untuk mendapatkan syafā’at yang diperbolehkan.

Bukan dengan meminta langsung kepada Nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam seperti mengatakan, “Ya Rasūlullāh, berilah aku syafā’atmu.”

Atau dengan cara menyerahkan sebagian ibadah kepada makhluk dengan maksud meraih syafā’atnya.

Karena cara seperti ini adalah cara yang dilakukan oleh orang-orang musyrikin zaman dahulu.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman (yang artinya) :

“Dan mereka menyembah kepada selain Allāh, sesuatu yang tidak memudharati mereka & tidak pula memberikan manfaat & mereka berkata: “Mereka adalah pemberi syafa’at bagi kami disisi Allāh”. Katakanlah: “Apakah kalian akan mengabarkan kepada Allāh sesuatu yang Allāh tidak ketahui di langit maupun di bumi?”. Maha Suci Allāh dan Maha Tinggi dari apa yang mereka sekutukan.” (Yunus 18)

Itulah yang bisa kami sampaikan pada halaqoh kali ini dan sampai bertemu kembali pada halaqoh selanjutnya.

وبالله التوفيق والهداية.
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Ref : BIAS

Membaca Surat Apa Saja Dalam Sholat WITIR .?

Beberapa hadist menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surat-surat tertentu ketika shalat witir, akan tetapi ini hukumnya tidak wajib. Dan kita boleh membaca surat apa saja yang mudah bagi kita.

Diantara surat yang disunnahkan dibaca:
1. Jika shalat witirnya 3 rakaat, membaca surat Al-A’laa pada rakaat pertama, surat Al-Kafirun pada rakaat kedua, surat Al-Ikhlas pada rakaat ketiga.

Dalilnya:

عن أبي بن كعب قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يوتر بسبح اسم ربك الأعلى وقل يا أيها الكافرون وقل هو الله أحد

“Dari ‘Ubay bin Ka’ab beliau berkata: Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat witir dengan membaca (Sabbihismarabbikal a’laa),dan (Qul yaa ayyuhal kafirun), dan (Qul huwallahu ahad).” (HR. An-Nasai’y dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albany)

2. Atau Membaca surat Al-A’laa pada rakaat pertama, surat Al-Kafirun pada rakaat kedua, surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas pada rakaat ketiga

Dalilnya:

عن عبد العزيز بن جريج قال: سألنا عائشة بأي شيء كان يوتر رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ قالت كان يقرأ في الركعة الأولى بسبح اسم ربك الأعلى . وفي الثانية قل يا أيها الكافرون . وفي الثالثة قل هو الله أحد والمعوذتين

“Dari Abdul Aziz bin Juraij beliau berkata: Kami bertanya kepada ‘Aisyah: Dengan apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat witir? Maka ‘Aisyah menjawab: Beliau membaca (sabbihismarabbikal a’la) pada rakaat pertama, dan (qul yaa ayyuhal kafirun) ada rakaat yang kedua, dan (qul huwallahu ahad) serta (al mu’awwidzatain/al-falaq dan An-Naas) pada rakaat yang ketiga.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzy, Ibnu Majah, dan dishahihkan Syeikh Al-Albany)

3. Ketika shalat witir satu rakaat , membaca seratus ayat dari surat An-Nisa

عن أبي مجلز أن أبا موسى كان بين مكة والمدينة فصلى العشاء ركعتين ثم قام فصلى ركعة أوتر بها فقرأ فيها بمائة آية من النساء ثم قال ما ألوت أن أضع قدمي حيث وضع رسول الله صلى الله عليه و سلم قدميه وأنا أقرأ بما قرأ به رسول الله صلى الله عليه و سلم

“Dari Abu Majliz bahwasanya Abu Musa Al-Asy’ary berada diantara Mekah dan Madinah, kemudian beliau shalat isya 2 rakaat, setelah itu shalat witir satu rakaat, membaca 100 ayat dari surat An-nisa, kemudian beliau mengatakan: Aku tidak akan meninggalkan untuk meletakkan kedua kakiku di tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua kakinya, dan aku membaca apa yang dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. An-nasa’I, dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albany)

Wallahu a’lam.

Ustadz Abdullah Roy, حفظه الله تعالى

Sumber: https://konsultasisyariah.com/803-surat-yang-dibaca-ketika-sholat-witir.html