Category Archives: Abdullah Zaen

Bersikap Pertengahan Di Masa Pandemi

Sebagai umat Nabi termulia Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, tentu umat Islam dikaruniai oleh Allah banyak keistimewaan yang tidak diberikan pada umat-umat sebelum mereka. Di antara keistimewaan tersebut adalah dijadikannya mereka sebagai umat pertengahan. Tidak ekstrim kanan dan tidak pula ekstrim kiri. Allah ta’ala berfirman,

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا

Artinya: “Begitulah Kami menjadikan kalian sebagai umat pertengahan..” QS. Al-Baqarah (2): 143.

Umat Islam memiliki prinsip pertengahan dalam akidah, ibadah, akhlak dan seluruh aspek kehidupan. Termasuk dalam menyikapi pandemi.

Ekstrim Kanan Vs Ekstrim Kiri

Dalam menyikapi pandemi ini, kita menyaksikan adanya dua kubu yang bertolak belakang. Ekstrim kanan dan ekstrim kiri.

Ekstrim kanan adalah golongan yang terlalu berlebihan dalam bersikap. Sedangkan ekstrim kiri adalah golongan yang bersikap meremehkan dan menyepelekan.

Kaum ekstrim kanan tenggelam dalam kecemasan dan kekhawatiran yang tidak wajar. Hingga taraf mengalami gangguan paranoid atau takut berlebihan. Hal ini dipicu dari terlalu sibuk siang dan malam mengupdate berita yang mengerikan tentang parahnya lonjakan penularan virus.

Sekedar mengetahui secara global kondisi terkini level pandemi tentu penting; untuk meningkatkan kewaspadaan. Namun tidak boleh berlebihan. Hingga tidak sempat membaca al-Qur’an dan berdzikir. Bahkan saat shalat pun yang dipikirkan adalah situasi terkini pandemi.

Padahal ketenangan hati dan ketentraman jiwa di masa genting seperti ini sangat diperlukan untuk meningkatkan imunitas tubuh.

Adapun golongan ekstrim kiri adalah mereka yang bersikap meremehkan pandemi. Sikap menyepelekan itu bertingkat-tingkat. Ada yang sama sekali tidak percaya adanya Covid-19. Ada yang percaya, namun menganggap bahwa itu penyakit ringan biasa. Adapula yang percaya Covid-19 itu berbahaya, namun malas menerapkan protokol kesehatan. Tidak peduli bahwa sikap cueknya itu bisa membahayakan dirinya sendiri dan orang lain.

Keberadaan golongan ini memiliki andil yang cukup besar untuk memicu drastisnya peningkatan kasus positif Covid-19 di dunia belakangan ini.

Sikap Ideal

Yang benar adalah bersikap pertengahan. Yaitu mengambil sikap waspada tanpa ketakutan yang berlebih. Menjalankan protokol ketat kesehatan, setelah mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Dengan cara bertaubat nasuha, menjaga shalat lima waktu, merutinkan dzikir pagi dan petang, memperbanyak istighfar, serta konsisten membaca al-Qur’an setiap hari minimal 1 juz.

Jika sudah maksimal dalam bertawakal dan berikhtiar pencegahan, lalu ditakdirkan tertular, maka tetap mengedepankan optimisme bahwa Allah Maha Kuasa untuk menyembuhkan. Bila ternyata berakhir dengan kematian, maka semoga meraih pahala syahid.

Sungguh kematian adalah sebuah keniscayaan. Yang selamat dari Covid-19 pun akan meninggal dengan sebab lainnya. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa wafat dalam keadaan husnul khatimah, bukan su’ul khatimah.

Ditulis oleh,
Ustadz Abdullah Zaen MA, حفظه الله تعالى

Guru Mendewasakan Murid..?

Kata orang, guru itu harus bisa digugu (dipercaya) dan ditiru. Apalagi guru agama. Alias ustadz, kyai, ajengan dan yang semisal. Sayangnya belakangan ini banyak guru yang belum bisa dijadikan panutan oleh murid-muridnya.

Syahdan ada seorang ahli hadits bernama Muhammad bin ‘Ala. Beliau biasa dipanggil Abu Kuraib. Karena satu dan lain hal, beliau mencela Imam Ahmad bin Hambal. Ulama besar Ahlus Sunnah yang tersohor itu.

Suatu hari ada serombongan santri yang pengin berguru kepada Imam Ahmad. Beliau bertanya, “Kalian barusan menghadiri kajian siapa ?”.

“Kajiannya Syaikh Abu Kuraib” jawab mereka.

Imam Ahmad komen, “Tetaplah belajar kepada beliau. Sungguh beliau adalah guru yang berkompeten”.

“Tapi beliau kan mencelamu wahai imam ?” tanya mereka keheranan.

“Gimana lagi ? Beliau tetap guru yang berkompeten. Hanya saja beliau sedang diuji dengan diriku”.

Kisah ini dibawakan Imam adz-Dzahabiy dalam kitab beliau Siyar A’lam an-Nubala’ (XI/317).

Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kisah menarik ini. Di antaranya, bagaimana seorang guru menunaikan tugas untuk mendidik muridnya.

Ustadz juga manusia. Sehingga kecemburuan dan perasaan iri bisa saja menjangkiti hatinya. Apalagi saat menyaksikan kenyataan bahwa ustadz lain lebih banyak jama’ahnya.

Hal itu diperparah dengan keberadaan murid-murid pendukung yang fanatik. Punya hobi menukilkan kepada ustadnya tulisan terbaru postingan ustadz pesaingnya. Tidak jarang mereka juga berperan sebagai tukang sate. Ngipas-ngipasi emosi ustadznya, hingga panas bahkan gosong. Sehingga bantahan-bantahan yang dikeluarkan pun menggunakan beragam diksi yang tidak layak untuk disematkan kepada sesama ustadz.

Seharusnya kita berguru kepada Imam Ahmad. Bagaimana beliau berusaha mendewasakan murid-muridnya. Tidak mudah terpancing dengan nukilan berita. Bahkan berusaha mendinginkan suasana.

Juga melokalisir masalah. Permasalahan pribadi tidak usah diperlebar menjadi masalah manhaj. Baca: Mawa’izh ash-Shahabah, Dr. Umar al-Muqbil (hal. 80).

Bukan berarti tidak boleh membantah berbagai penyimpangan yang bersliweran di sekeliling kita. Asalkan proporsional.

Namun akhirnya kekuatan muroqobahlah yang berperan. Allah Mahatahu motivasi kita dalam menulis bantahan. Apakah benar-benar murni ikhlas dalam rangka membela agama Allah. Atau sejatinya berakar pada kecemburuan pribadi. Namun dipoles seakan itu adalah tahdzir syar’i.

Mari belajar dewasa dan mendewasakan murid-murid kita…

Ustadz Abdullah Zaen MA, حفظه الله تعالى.

Sudah Ditanggung Allah

Salah satu masalah yang paling memusingkan banyak orang, pribadi maupun negara, adalah masalah rezeki. Pengangguran meruyak di mana-mana. Tidak sedikit orang yang stress, bahkan bunuh diri, gara-gara himpitan ekonomi.

Padahal sebenarnya kita tidak perlu mengalami kondisi buruk kejiwaan seperti itu. Apalagi bila kita mengenal Allah ta’ala dengan baik.

Ketahuilah bahwa rezeki seluruh makhluk tanpa terkecuali sudah ditanggung Allah ta’ala. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan,

“وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا”

Artinya: “Tidak ada satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi ini; melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya.” QS. Hud (11): 6.

Statemen di atas adalah janji dari Allah ta’ala. Dan sebagaimana telah maklum bahwa Allah itu tidak mungkin mengingkari janji-Nya.

Bila ada orang kaya nan jujur dan dermawan bersedia menjamin biaya kehidupan Anda selama satu tahun misalnya, saya yakin Anda pasti akan merasa senang sekali. Bagaikan kejatuhan durian runtuh. Anda akan menghadapi kehidupan setahun ke depan dengan penuh optimisme.

Mengapa giliran Allah yang menjamin rezeki kita, lantas ada di antara kita yang merasa pesimis dalam menghadapi hidup ini? Bukankah Allah jauh lebih kaya, jujur dan dermawan dibanding orang kaya di atas?

Penuhi syarat-Nya!

Namun tentunya perlu dibedakan antara optimis dengan nekat.

Allah akan menjamin rezeki kita, bila syarat yang digariskan-Nya kita penuhi. Yakni tekun beribadah kepada-Nya.

Menarik sekali untuk kita cermati firman Allah berikut ini,

“وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56) مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ (57) إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ (58)”

Artinya: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan yang sangat kokoh.” QS. Adz-Dzariyat (51): 56-58.

Allah menjelaskan bahwa tujuan utama diciptakannya jin dan manusia adalah agar beribadah kepada-Nya. Setelah itu Allah menegaskan bahwa Dialah Sang Pemberi rezeki.

Seakan Allah ingin menjelaskan agar kita menjalankan saja tugas utama tersebut, yakni sibukkan diri dengan beribadah. Niscaya timbal baliknya, pasti Allah akan menjamin rezeki kita.

Tapi bukan berarti kita tidak perlu bekerja mencari nafkah. Sebab menafkahi anak dan istri pun juga ibadah.

Hanya saja jangan sampai upaya kita dalam mencari rezeki justru malah melalaikan kita dari ibadah-ibadah pokok, seperti shalat dan yang semisalnya. Dan jangan pula kita melanggar aturan Allah serta menghalalkan segala cara demi mendapatkan rezeki.

Rezeki Allah pasti kita dapatkan dengan cara-cara yang halal. Andaikan kita dapatkan dengan cara yang haram pun, tentu tidak akan mendatangkan keberkahan.

Semoga renungan singkat ini bermanfaat…

Penulis : Ustadz Abdullah Zaen MA,  حفظه الله تعالى

Posted by : Ustadz Musyaffa’ Ad Dariny MA,  حفظه الله تعالى

Beda Selera Beda Rasa, Beda …. Beda ….

METODE PENGAJARAN TAUHID

Pagi hari ini tersebar sebuah postingan di sebagian media sosial, yang kami pribadi tidak mengetahui siapa penulisnya. Sebab di akhir tulisan tidak dicantumkan nama sang penulis. Hanya saja kami cukup menyayangkan sebagian isi postingan tersebut. Karena kurang sesuai dengan fakta yang ada.

Kami hanya akan menukil potongan postingan yang bermasalah tersebut, bukan semuanya.

Berikut potongannya:

“Fawaa-id Dari Liqaa Maftuuh Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili -hafizhahullaah-:
1- Ada pertanyaan:
Bolehkah kita mengajarkan Tauhid di sela-sela pelajaran Tafsir dll. dikarenakan masyarakat sensitif kalau kita langsung mendakwahkan Tauhid.

Jawaban beliau:
Yang perlu diperhatikan: yang terjadi adalah bahwa sifat sensitif itu muncul dari diri Da’i itu sendiri!!
Dia takut kepada para mad’u-nya untuk mengajarkan Tauhid!!!”.

Komentar kami:

Jawaban Syaikh yang dinukil dalam postingan di atas kurang lengkap. Sebab, sebenarnya secara garis besar, jawaban beliau terbagi menjadi dua poin. Sedangkan yang dinukil dalam postingan tadi hanya poin pertama saja. Sedangkan poin kedua tidak disampaikan. Dan itu berakibat munculnya pemahaman yang berbeda dengan apa yang beliau sampaikan.

1. Poin pertama: Adalah apa yang sudah dipaparkan dalam postingan di atas.

2. Poin kedua: Beliau menyampaikan, bahwa bilamana kondisi masyarakat seperti apa yang digambarkan dalam pertanyaan itu, yakni mereka sangat sensitif dengan pembahasan tauhid. Maka bagi seorang dai yang menghadapi mereka, yang terpenting baginya adalah tetap menyampaikan pembahasan tauhid, lewat pintu apapun yang syar’i.

Bisa dengan cara mengajarkan tafsir, tauhid, tazkiyatun nufus, sirah nabawiyah, lalu memasukkan tauhid melalui berbagai pintu tadi.

Mengajarkan tauhid tidak harus dengan membaca Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Kemudian kita juga perlu berupaya untuk menjadikan masyarakat senang dengan tauhid. Antara lain dengan memperbaiki uslub (cara penyampaian) kita dalam mengajarkan tauhid. Juga dengan memaparkan perkataan para ulama Ahlus Sunnah yang mereka kenal, semisal Imam Syafii dan yang lainnya.

Demikian global jawaban yang disampaikan Syaikh Sulaiman ar-Ruhailiy hafizhahullah.

Dalam kesempatan ini, kami merasa perlu menyampaikan nasehat untuk kami pribadi dan para ikhwah agar lebih AMANAH dalam menyampaikan ilmu. Betapa banyak problematika dakwah muncul akibat penyampaian ilmu yang sepotong-sepotong.

Meringkas sebuah tema ilmu atau fatwa ulama diperbolehkan, asalkan tidak merubah inti pembahasan.

Wallahu yahdi ila sawa’is sabil…

Kusuma Agrowisata Batu, 16 Syawal 1437 H

Abdullah Zaen,  حفظه الله تعالى 

Posted on FB by :
Muhammad Arifin Badri,  حفظه الله تعالى 

Kiat-Kiat Menghindari Anak Dari Pengaruh Lingkungan Di Luar Rumah Yang Tidak Sesuai Sunnah

Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA, حفظه الله تعالى

Sering kita sebagai orangtua mendidik dan mengajarkan anak-anak diatas sunnah namun ketika mereka diluar rumah, mereka berada di lingkungan yang tidak mengenal sunnah. Bagaimana kiat-kiat menghindari anak-anak dari hal-hal yang bertentangan dungan sunnah ?

Simak jawaban Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA, حفظه الله تعالى  berikut ini:

Pendidikan IHSAN Bagi Anak

Ustadz Abdullah Zaen, MA, حفظه الله تعالى

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pernah menjelaskan makna ihsan dalam haditsnya,

“أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ”.

“Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Apabila engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”.HR. Bukhari dan Muslim.

Makna di atas biasa diistilahkan pula dengan murâqabah, atau merasa selalu diawasi Allah ta’ala. Maka kewajiban orang tua adalah mengajarkan kepada anak tentang kedekatan dan pengawasan Allah terhadap hamba-Nya. Dia melihat serta mengetahui segala gerak-gerik dan perbuatan kita, juga mendengar semua ucapan kita. Bahkan Dia mengetahui segala isi hati kita.

Bacakan kepada mereka firman Allah ta’ala,

“أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ”.

Artinya: “Tidakkah engkau perhatikan, bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tidak ada lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tidak ada yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia pasti bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.QS. Al-Mujadilah (58): 7.

Adapun prakteknya, maka cara menanamkan perasaan merasa diawasi tersebut kepada anak, antara lain adalah dengan sering-sering mengingatkan hal tersebut. Saat kita memotivasi dia untuk beribadah atau meninggalkan perilaku yang negatif, selalu berusahalah mengaitkannya dengan pengawasan Allah ta’ala.

Contohnya, ketika ibu melepas anaknya pergi ke masjid ia berpesan, “Shalatnya yang bagus ya nak! Jangan bermain-main ketika shalat! Sungguh Allah Maha Melihat, sekalipun ibu tidak melihat”.

Juga ketika ayah melepas kepergian anaknya ke sekolah, jangan lupa ia mewanti-wanti, “Belajarlah yang baik nak! Jangan berbuat nakal! Allah Maha Melihat segala gerak-gerikmu, walaupun bapak atau ibu guru tidak melihatnya”.

Namun tentunya, supaya penanaman perasaan positif tersebut efektif dan manjur, orang tua harus juga memiliki perasaan yang serupa dalam dirinya.

Logikanya, bagaimana mungkin seseorang mengajarkan membaca, sedangkan dia sendiri tidak bisa membaca?

Ref: http://tunasilmu.com/silsilah-fiqih-pendidikan-anak-no-31-anak-dan-ihsan/

Menanamkan Akhlak Mulia Pada Anak

Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA, حفظه الله تعالى

Apa yang ada dalam pikiran Anda? Ketika mendapati seorang anak yang lembut tutur katanya, sopan perilakunya, taat ibadahnya dan terdidik pemikirannya? Pasti Anda akan merasa senang untuk berjumpa dan melihatnya.

Kita tentu bisa menerka bahwa anak tersebut terdidik dengan baik dan mendapat bimbingan akhlak yang memadai. Mengapa demikian? Sebab terbentuknya akhlak yang mulia pada diri seseorang sangat dipengaruhi tempaan pendidikan yang dilaluinya.

Karenanya, sangat penting bagi kita untuk mengisi masa kanak-kanak mereka dengan menanamkan adab dan akhlak yang terpuji. Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah yang murni dan perangai yang lurus. Jiwa yang polos ini menerima bentuk perangai apapun yang dipahatkan pada dirinya. Selanjutnya pahatan itu akan meluas sedikit demi sedikit hingga akhirnya meliputi seluruh jiwa dan menjadi tabiat yang melekat padanya. Juga akan menentang segala yang berlawanan dengannya.

Dalam kitab Tuhfah al-Maudûd, Imam Ibn al-Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Yang sangat dibutuhkan anak adalah perhatian terhadap akhlaknya. Ia akan tumbuh sesuai dengan apa yang dibiasakan oleh pendidiknya saat kecil. Jika sejak kecil ia terbiasa marah, keras kepala, tergesa-gesa dan mudah mengikuti hawa nafsu, serampangan, tamak dan seterusnya, maka akan sulit baginya untuk memperbaiki dan menjauhi hal itu ketika dewasa. Perangai seperti ini akan menjadi sifat dan perilaku yang melekat pada dirinya. Jika ia tidak dibentengi betul dari hal itu, maka pada suatu ketika, semua perangai itu akan muncul. Karena itu, kita temukan manusia yang akhlaknya menyimpang, itu disebabkan oleh pendidikan yang dilaluinya”.

Maka, langkah pertama yang harus ditempuh adalah pembinaan akhlak secara nyata melalui keteladanan yang baik dari orang tua. Hingga mereka tumbuh dengan perangai yang mulia dan tidak mengabaikan akhlak-akhlak Islam. Terlebih lagi di hadapan berbagai gelombang arus perilaku yang menyimpang.

Contohlah akhlak Rasulullah shallallahualaihiwasallam! Beliau menyuruh dan melarang anak. Bercanda dengan mereka, mengajak mereka bermain, membonceng mereka dan murah senyum. Tidak marah-marah di hadapan mereka dan tidak mencela mereka. Inilah kunci agar anak merasa dekat dengan kita. Hingga terciptalah suasana yang hangat. Buahnya kita akan lebih leluasa dan mudah memberikan pengajaran serta pengarahan kepada mereka.

Anas bin Malik radhiyallahu’anhu menuturkan, “Nabi shallallahu’alaihiwasallam adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Suatu hari beliau mengutusku untuk suatu keperluan. Lalu akupun menjawab, “Aku tidak mau pergi!”. Padahal sebenarnya di hatiku akan berangkat menuruti perintah Nabiyullah shallallahu’alaihiwasallam. Akupun keluar sampai akhirnya aku melewati anak-anak kecil yang sedang bermain di pasar. Ternyata Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengikuti pelan-pelan di belakang. Aku kemudian melihat beliau ketika sedang tertawa. Beliau berkata, “Ternyata engkau berangkat juga ke tempat yang kuperintahkan”. Aku menjawab, “Ya, aku berangkat wahai Rasulullah!”. Selanjutnya Anas berkata, “Demi Allah, aku menjadi pelayan Nabi selama sembilan tahun. Dan seingatku beliau tidak pernah mengomentari sesuatu yang kulakukan dengan mengatakan, “Kenapa kamu lakukan begitu?”. Atau mengomentari sesuatu yang kutinggalkan dengan mengatakan, “Kenapa tidak kamu lakukan ini?”. (HR. Muslim).

Ref:  http://tunasilmu.com/silsilah-fiqih-pendidikan-anak-no-32-menanamkan-akhlak-mulia-pada-anak/

 

Bagaimana Cara Mengenalkan Ibadah Haji ke Anak ?

Ust. Abdullah Zaen, MA, حفظه الله تعالى

Berhaji adalah salah satu perintah agama Islam bagi pemeluknya yang mampu, diwajibkan sekali dalam seumur hidup.

Jika memang mampu dan memungkinkan, ajaklah anak-anak menunaikan ibadah haji dan umrah. Sebab, pemandangan Ka’bah, Masjidil Haram, Shafa, Marwa dan semua syiar yang ada di tanah suci akan membekas dalam hati mereka. Demikian pula dengan kalimat talbiyah, doa orang yang berthawaf, shalatnya orang-orang yang bertaubat, lantunan dzikir tahlil dan yang lainnya di padang Arafah, serta permintaan orang-orang yang berhajat akan mempengaruhi jiwa anak, dengan izin Allah ta’ala. Lebih dari itu kita juga akan mendapat pahala dari haji mereka.

Dikisahkan bahwa di musim haji ada seorang ibu mengangkat anaknya seraya berkata kepada Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam,

“أَلِهَذَا حَجٌّ؟” قَالَ: “نَعَمْ وَلَكِ أَجْرٌ”.

Apakah anak ini mendapat pahala haji?” Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjawab, ”Ya, dan engkau juga mendapat pahala”. HR. Muslim dari Ibn Abbas radhiyallahu’anhuma.

Ini bagi mereka yang mampu. Adapun untuk mereka yang kurang mampu, maka bisa mengenalkan anak tentang ibadah haji ini dengan berbagai sarana yang ada. Bisa menggunakan buku bergambar atau video atau yang lainnya.

Tanamkan dalam jiwa anak kecintaan terhadap ibadah haji dan tanah suci Mekah. Bisa diawali dengan cara mengajarkan pada mereka saat shalat, bahwa mereka menghadap ke arah Ka’bah yang ada di Mekah. Jika ada rezeki lebih ajarkan mereka untuk menabung untuk menunaikan ibadah haji, sekalipun nominal uang yang dimilikinya kecil.

Catatan penting:

Haji anak kecil dianggap sah, sebagaimana disebutkan di atas. Hanya saja dia tidak dianggap telah menunaikan haji fardhu. Sehingga bila sudah baligh dan mampu, maka dia wajib menunaikan haji lagi. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama dari mazhab yang empat. Bahkan ada yang mengatakan sudah ijma’.

Hukum tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam,

“أيُّمَا صَبِيِّ حَجَّ ثُمَّ بَلَغَ فَعَلَيْهِ حَجَّةً أُخْرَى”

Siapa saja anak kecil yang melakukan haji, kemudian dia baligh, maka wajib baginya untuk menunaikan haji lagi”. HR. Ibn Abi Syaibah dari Ibn ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, dan dinilai sahih oleh Ibn Hajar juga al-Albany.

Jadi, umrah dan haji yang dilakukan anak yang belum baligh, dianggap ibadah sunah. Tidak dinilai sebagai haji atau umrah wajib baginya. Wallahu ta’ala a’lam. [1]

************

* Disadur oleh Abdullah Zaen, Lc., MA dari Mencetak Generasi Rabbani karya Ummu Ihsan Choiriyah dan Abu Ihsan al-Atsary (hal. 88-89) dengan banyak tambahan.

[1] http://islamqa.info/id/36862

Ref:

http://tunasilmu.com/

View

Mengajarkan Anak Tentang Zakat

Oleh Ust. Abdullah Zaen, M.A, حفظه الله تعالى

Zakat adalah satu satu kewajiban dalam agama Islam yang berdimensi sosial. Bila kewajiban ini diterapkan dengan baik, niscaya akan membawa kebaikan untuk masyarakat, sekaligus mengkikis banyak tindak kejahatan dan kriminalitas.

Oleh karena itu, sejak dini rangsanglah empati anak untuk merasakan kesusahan orang lain! Latih dan dorong anak untuk bersedekah dan membantu orang tua mengantarkan zakat kepada yang berhak. Ini salah satu cara untuk melatih kepekaan anak terhadap sesama. Sifat dermawan atau sebaliknya sifat bakhil tidak muncul dengan serta merta. Tapi dipahat sedikit demi sedikit. Biasakanlah anak untuk menyerahkan sendiri sedekahnya. Pujilah ketika ia mau melakukannya secara sukarela.

Jelaskan padanya keutamaan infak di jalan Allah, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), Orang-orang yang mendermakan hartanya di jalan Allah adalah laksana orang yang menanam sebuah biji yang menumbuhkan tujuh tangkai. Pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan pahala-Nya kepada siapa yang dikehendaki. Allah Mahaluas rahmat-Nya dan Maha Mengetahui”. QS. Al-Baqarah (2): 261.

Ajarkan padanya untuk berbagi walaupun dengan sesuatu yang tak seberapa. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,

“اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ “.

Lindungilah diri kalian dari neraka, walaupun dengan (bersedekah) sebutir kurma”. HR. Bukhari dan Muslim.

Beritahukan kepadanya bahwa setiap hari ada malaikat yang mendoakan orang yang bersedekah. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا وَيَقُولُ الْآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا”.

Setiap hari selalu turun dua malaikat. Salah satunya berkata, “Ya Allah berilah ganti bagi orang yang berinfak”. Dan yang lain berkata, “Ya Allah musnahkanlah harta orang yang enggan (berinfak)”. HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

Selain itu beritahukan pula pada anak resiko di akhirat bagi orang yang tidak membayar zakat. Antara lain yang Allah sebutkan dalam al-Qur’an: Orang-orang yang menyimpan emas dan perak lalu tidak menginfaqkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang amat pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannan, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. QS. At-Taubah (9): 34-35

www.tunasilmu.com

View