Pertanyaan :
Bolehkah menggunakan aplikasi G*jek yang G*food dan G*mart, dimana pengemudi G*jek “membayarkan terlebih dahulu” barang-barang yang ingin dibeli, baru kemudian pemesan akan membayarkan nilai barang itu dirumah + jasa pengantaran ?
Jawaban :
Dalam kasus G*food, G*mart, berarti seseorang “berhutang terlebih dahulu” kepada pengemudi G*jek tersebut dan disini bisa saja terjadi beberapa kemudharatan :
(1). Ada kemungkinan terjadinya kezholiman, yaitu bisa jadi pengemudi G*jek itu ditipu, dimana pemesan sengaja menghilang atau tidak mau membayar nilai barang yang telah dibeli + jasanya.
(2). Jika pengemudi G*jek membayarkan terlebih dahulu barang-barang yang ingin dibeli, baru kemudian pemesan membayarkannya di rumah, berarti pemesan telah “berhutang” kepada pengemudi G*jek.
“Seandainya” total barang yang harus dibayar pemesan lebih dari nota pembayaran yang seharusnya maka terjadilah transaksi riba, karena pengemudi G*jek telah mengambil keuntungan dari pinjaman atau hutang.
Bukankah keuntungan dari pinjaman adalah riba ?
“Setiap pinjaman yang menghasilkan keuntungan atau adanya tambahan uang sekian persen dari pinjaman uang awal maka itu adalah RIBA. Ini adalah ucapan sahabat-sahabat Nabi seperti Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Salam, Anas bin Malik, Fudhalah bin ‘Ubaid” (lihat Majmu’ Fataawaa oleh Ibnu Taimiyyah 29/334).
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :
وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ
“Setiap hutang yang dipersyaratkan adanya tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama” (lihat al-Mughni VI/436)
(3). Terdapat penggabungan 2 (dua) aqad dalam 1 transaksi.
Dimana di satu sisi pengemudi G*jek telah memberikan hutang kepada pemesan dan di sisi yang lain ia pun telah mendapatkan jasa dari pengantaran barangnya.
Maka disini terdapat penggabungan antara aqad hutang dan jasa secara bersamaan, dan hal ini terlarang dalam syariat dan dapat membuka celah terjadinya riba.
Rasulullah shallallau ‘alayhi wasallam bersabda :
“Tidak halal menggabungkan antara piutang dan aqad jual beli (jasa)…” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, an-Nasaa’i dan al-Hakim, lihat Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir no. 7644, hadits dari Ibnu ‘Amr).
Dan hal ini juga yang menjadi alasan, kenapa pegadaian syariah dikatakan tidak sesuai syariah dan terlarang, yaitu adanya penggabungan 2 aqad dalam 1 transaksi :
(A). AKAD HUTANG (qardh) oleh nasabah kepada pegadaian syariah.
(B). AKAD IJARAH, yaitu akad jasa di mana pegadaian syariah menyewakan tempat dan memberikan jasa penyimpanan kepada nasabah atas barang jaminannya.
Agar transaksi ini dibolehkan oleh syariat, maka :
(1). Hendaknya dibuat aqad pada saat pemesanan, yaitu aqad janji untuk menjual dari pengemudi G*jek dan janji untuk membeli dari pihak pemesan dengan syarat janji itu tidak mengikat.
Sehingga yang terjadi adalah 1 aqad, yaitu aqad jual beli, dimana terjadi kesepakatan harga dan keridhaan antara pengemudi G*jek yang berhak mendapatkan keuntungan dan pemesan.
(2). Pemesan bisa langsung menghubungi tempat pembelian barang dan membayarnya dengan transfer m-banking dll. Lalu pengemudi G*jek akan mengambil barang itu dan mengantarkannya ke rumah dan ia berhak mendapatkan jasa ketika telah mengantarkan barang tersebut.
Najmi Umar Bakkar, حفظه الله تعالى