Category Archives: Najmi Umar Bakkar

Agar Tansaksi Belanja Via “Ojek Online” Dibolehkan Oleh Syariat…

Pertanyaan :

Bolehkah menggunakan aplikasi G*jek yang G*food dan G*mart, dimana pengemudi G*jek “membayarkan terlebih dahulu” barang-barang yang ingin dibeli, baru kemudian pemesan akan membayarkan nilai barang itu dirumah + jasa pengantaran ?

Jawaban :

Dalam kasus G*food, G*mart, berarti seseorang “berhutang terlebih dahulu” kepada pengemudi G*jek tersebut dan disini bisa saja terjadi beberapa kemudharatan :

(1). Ada kemungkinan terjadinya kezholiman, yaitu bisa jadi pengemudi G*jek itu ditipu, dimana pemesan sengaja menghilang atau tidak mau membayar nilai barang yang telah dibeli + jasanya.

(2). Jika pengemudi G*jek membayarkan terlebih dahulu barang-barang yang ingin dibeli, baru kemudian pemesan membayarkannya di rumah, berarti pemesan telah “berhutang” kepada pengemudi G*jek.

“Seandainya” total barang yang harus dibayar pemesan lebih dari nota pembayaran yang seharusnya maka terjadilah transaksi riba, karena pengemudi G*jek telah mengambil keuntungan dari pinjaman atau hutang.

Bukankah keuntungan dari pinjaman adalah riba ?

“Setiap pinjaman yang menghasilkan keuntungan atau adanya tambahan uang sekian persen dari pinjaman uang awal maka itu adalah RIBA. Ini adalah ucapan sahabat-sahabat Nabi seperti Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Salam, Anas bin Malik, Fudhalah bin ‘Ubaid” (lihat Majmu’ Fataawaa oleh Ibnu Taimiyyah 29/334).

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ

“Setiap hutang yang dipersyaratkan adanya tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama” (lihat al-Mughni VI/436)

(3). Terdapat penggabungan 2 (dua) aqad dalam 1 transaksi.

Dimana di satu sisi pengemudi G*jek telah memberikan hutang kepada pemesan dan di sisi yang lain ia pun telah mendapatkan jasa dari pengantaran barangnya.

Maka disini terdapat penggabungan antara aqad hutang dan jasa secara bersamaan, dan hal ini terlarang dalam syariat dan dapat membuka celah terjadinya riba.

Rasulullah shallallau ‘alayhi wasallam bersabda :

“Tidak halal menggabungkan antara piutang dan aqad jual beli (jasa)…” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, an-Nasaa’i dan al-Hakim, lihat Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir no. 7644, hadits dari Ibnu ‘Amr).

Dan hal ini juga yang menjadi alasan, kenapa pegadaian syariah dikatakan tidak sesuai syariah dan terlarang, yaitu adanya penggabungan 2 aqad dalam 1 transaksi :

(A). AKAD HUTANG (qardh) oleh nasabah kepada pegadaian syariah.

(B). AKAD IJARAH, yaitu akad jasa di mana pegadaian syariah menyewakan tempat dan memberikan jasa penyimpanan kepada nasabah atas barang jaminannya.

Agar transaksi ini dibolehkan oleh syariat, maka :

(1). Hendaknya dibuat aqad pada saat pemesanan, yaitu aqad janji untuk menjual dari pengemudi G*jek dan janji untuk membeli dari pihak pemesan dengan syarat janji itu tidak mengikat.

Sehingga yang terjadi adalah 1 aqad, yaitu aqad jual beli, dimana terjadi kesepakatan harga dan keridhaan antara pengemudi G*jek yang berhak mendapatkan keuntungan dan pemesan.

(2). Pemesan bisa langsung menghubungi tempat pembelian barang dan membayarnya dengan transfer m-banking dll. Lalu pengemudi G*jek akan mengambil barang itu dan mengantarkannya ke rumah dan ia berhak mendapatkan jasa ketika telah mengantarkan barang tersebut.

Najmi Umar Bakkar, حفظه الله تعالى

 

Ber-Qurban Dengan Uang Dari Anak…

Pertanyaan :

Ustadz anak saya 3 semua belum berkeluarga, yang satu kerja di luar negeri dan dia ngirim uang untuk qurban. Sabaiknya hewan qurban tersebut atas nama siapa ustadz ? (an saya dan keluarga atau dia?). Syukron

Jawaban :

(Hewan qurban) atas nama Bapak dan keluarga.

Allahu a’lam

Najmi Umar Bakkar,  حفظه الله تعالى

Ber-Qurban Dengan Uang Istri… Bolehkah..?

Pertanyaan :

Ustadz, ana sampai saat ini belum mendapatkan pekerjaan setelah keluar untuk menghindari harta riba tentang Qurban.

1. Apakah berqurban menggunakan uang istri itu sudah afdol dalam arti memenuhi syariat qurban?

2. Bila berqurban dengan menggunakan uang istri apakah juga harus mengikuti ketentuan sperti tidak boleh memotong kuku dan bulu sebagai kepala keluarga ?

3. Apakah berqurban menggunakan uang istri pahalanya hanya untuk istri saja atau bisa mencakup 1 keluarga ?

Mohon pencerahannya Ustadz..Syukron.

Jawaban:

Istri memberikan uangnya kepada suami dan nanti suami yang berniat atas namanya dan keluarganya.

Istri akan mendapatkan 2 pahala, yaitu dia telah menghadiahkan uangnya kepada suami, dan juga mendapatkan pahala dari qurbannya suami.

Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak.

Abu Ayyub radhiyallahu ’anhu yang mengatakan : “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya” (HR. At-Tirmidzi)

Maka suami yang tidak memotong rambut dll.

Allahu a’lam

Najmi Umar Bakkar,  حفظه الله تعالى

Siapakah Ustadz Dalam Menuntut Ilmu..?

Saudaraku, hendaknya penilaian itu bukan hanya karena mereka memulai kajian dengan menyebut innal hamda lillah, adanya jenggot, tidak isbal, adanya gelar lc dll, bicara tentang sunnah dan bid’ah, atau mereka sendiri mengaku telah mengikuti manhaj Salaf, atau merasa pernah duduk di kajiannya 1 atau 2 kali, lalu dengan mudahnya engkau berkata bahwa ia telah mengikuti Sunnah dan manhaj Salaf…?

Saudaraku, para jamaah umumnya awam, hanya sekedar berkata bagus cara penyampaiannya, lembut atau lucu, atau ceramahnya banyak di YouTube, atau banyak yang hadir di kajiannya, atau ustadz itu juga memakai dalil dari al-Qur’an dan al-Hadits dst…

Saudaraku, yang jadi masalah bukan hanya sekedar itu, tetapi ketahuilah BAGAIMANA IA MEMAHAMI DALIL ?, dan itu harus dikembalikan kepada bagaimana Rasulullah, para Sahabat, Tabi’in dan para ulama setelahnya dalam memahami dan mengamalkannya…

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

(1). Sesungguhnya di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah seseorang menimba ilmu dari al-Ashaaghir (orang-orang bodoh dan pelaku bid’ah)” (HR. Abdullah bin Mubarak dalam Kitab Zuhudnya no. 61 dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir 22/361-362, lihat Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir no. 2207)

(2). Wahai Ibnu Umar, agamamu ! agamamu ! Ia adalah darah dan dagingmu. Maka lihatlah dari siapa engkau mengambilnya. Ambillah dari orang-orang yang istiqamah (terhadap sunnah), dan jangan engkau mengambil dari orang-orang yang melenceng (dari sunnah)” (Al-Kifaayah fii ’Ilmir Riwayah hal 81, oleh al-Khathib al-Baghdadi)

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata :

Lihatlah dari siapa kalian mengambil ilmu ini, karena ia adalah agama (Al-Kifaayah fii ’Ilmir Riwayah hal 121, oleh al-Khathib al-Baghdadi)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata :

Senantiasa umat manusia dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari para Akaabir (yaitu ahli ilmu/ulama) mereka. Jika mereka mengambil ilmu dari Ashaaghir (orang-orang bodoh dan pelaku bid’ah) dan orang-orang jelek di antara mereka, niscaya mereka akan binasa (Jaami’ Baayanil ’Ilmi wa Fadhlihi hal 112, oleh Ibnu Abdil Barr)

Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i rahimahullah berkata :

Dulu para ulama Salaf ketika datang kepada seorang (guru) untuk menimba ilmu agama, maka mereka meneliti (terlebih dahulu) bagaimana shalatnya, (pengamalannya terhadap) sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan penampilannya, kemudian barulah mereka mengambil ilmu darinya (As-Sunan 1/124 oleh Imam ad-Darimi)

Abdur Rahman bin Yazid rahimahullah berkata :

Tidak boleh mengambil ilmu kecuali kepada orang yang dipersaksikan (pernah) menuntut ilmu (Sunnah)” (Al-Jarhu wat Ta’diil II/28 oleh Imam Ibnu Abi Hatim)

Al-Khathib al-Bagdadi rahimahullah berkata :

Sepantasnya bagi penuntut ilmu untuk memilih guru yang dikenal pernah mempelajari hadits (Sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta diakui ketelitian dan kedalaman ilmunya (Al-Jaami’u li-Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami’ 1/189)

Imam al-Munawi rahimahullah berkata :

Janganlah kamu mengambil ilmu agama dari sembarang orang, kecuali orang yang telah kamu yakini keahlian dan kepantasannya untuk menjadi tempat mengambil ilmu (Faidhul Qadiir II/545)

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata :

Ilmu agama tidaklah diambil dari 4 jenis manusia, dan diperbolehkan diambil dari selainnya, yaitu :

(1). Ahli bid’ah yang mengajak manusia untuk mengikutinya dalam bid’ah tersebut.

(2). Orang yang bodoh yang tampak jelas kebodohannya, meskipun ia banyak meriwayatkan (hadits) dari manusia.

(3). Orang yang dalam kesehariannya suka berbohong, meski engkau tidak pernah mencurigainya membuat hadits palsu atas nama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.

(4). Orang yang mempunyai keutamaan, shalih dan ahli ibadah, namun ia tidak paham apa yang dia sampaikan (yaitu tidak berilmu) (Al-Muhaddits al-Faashil 403)

Saudaraku, sudahkah engkau mengamalkannya ?

Ustadz Najmi Umar Bakkar,  حفظه الله تعالى

Sikap Menghadapi Orang Yang Marah Dihadapan Kita Atau Telah Memfitnah Dibelakang Kita…

Demikianlah, setiap manusia akan menghadapi ujian dan cobaan selama hidup di dunia ini…

Lalu apa yang akan kita lakukan ?

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

“Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada, apakah kamu tidak ingin diampuni Allah ? (QS. An-Nuur [24]: 22)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Janganlah marah dan bagimu Surga” (HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath no.2374, hadits dari Abu Darda’, lihat Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir no.7374 dan Shahiihut Targhiib wat Tarhiib no.2749).

Seorang muslim bukan hanya baik dalam masalah aqidah, ibadah dan manhaj saja, tapi ia juga baik dalam masalah akhlak, sekali lagi ia juga harus baik dalam masalah akhlak. DAN INI YANG PALING BANYAK DITINGGALKAN.

Bacalah potret kaum salaf dibawah ini yang harus kita jadikan teladan :

▶ Saat ditanya tanggapannya tentang orang yang menjelek-jelekkan dirinya, Fudhail bin ‘Iyadh رحمه الله berkata : “Demi Allah, aku benar-benar marah kepada yang menyuruhnya (yakni Iblis)”. Lalu dia berkata : “Ya Allah jika ia jujur, ampunilah aku, dan jika ia berdusta ampunilah ia”

▶ Salman al-Farisi رضي الله عنه pernah dicaci maki oleh seseorang, lalu dia menjawab : “Jikalau timbangan amalku ringan, berarti aku lebih buruk dari apa yang kau katakan. Dan jikalau timbangan amalku berat, berarti apa yang kau katakan itu tidak berbahaya bagiku”

▶ Ahnaf bin Qois رحمه الله pernah dicaci maki oleh seseorang, tetapi Ahnaf tetap diam saja. Orang itu mengulangi lagi makiannya, tetapi Ahnaf tetap diam saja. Lalu orang itu berkata : “Sialan ! Tiada yang menghalanginya untuk menjawab makianku selain kehinaanku di matanya”

▶ Ibnu Abbas رضي الله عنه pernah dicaci maki oleh seseorang. Setelah selesai Ibnu Abbas berkata : “Wahai Ikrimah ! Apakah orang ini membutuhkan sesuatu yang bisa kau penuhi ?” Orang itu langsung menundukkan kepalanya dan malu”

▶ Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه pernah dicaci-maki oleh seseorang. Kemudian Ali memberikan baju yang dia kenakan bergaris-garis kepada orang itu. Dan dia juga menyuruh seseorang memberikan uang 1000 dirham kepada orang itu” (lihat Sholahul Ummah fii ‘Uluwwil Himmah V/253-272 oleh Sayyid al-Afani).

▶ Suatu malam Hasan al-Bashri رحمه الله memanjatkan doa seraya berkata : “Ya Allah, ampunilah siapapun yang pernah menzhalimiku”, begitu banyak beliau mengulang-ulang doa itu hingga terdengar oleh seorang pria dan ia bertanya : “Wahai Abu Sa’id, malam ini sungguh aku mendengarmu mendoakan kebaikan (memohonkan ampunan kepada Allah) bagi siapapun yang telah menzhalimimu sehingga aku (sempat) berharap termasuk yang pernah berbuat zhalim kepadamu. Apa yang sesungguhnya mendorong engkau melakukan hal tersebut ?”. Al-Hasan menjawab : “(Yang mendorongku tidak lain adalah) firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Barangsiapa memaafkan dan berbuat kebajikan, maka Allah akan melimpahkan pahala baginya” [QS. Asy-Syuura [26]: 40]. (lihat Syarah Shahih al-Bukhari oleh Ibnu Baththal VI/575)

▶ Suatu hari sebongkah batu yang dilemparkan seseorang tanpa sengaja menimpa ar-Rabi’ bin Haitsam رحمه الله . Lemparan tersebut membuat kepala beliau mengalami luka yang cukup serius. Sambil mengusap darah dari wajahnya dia berdoa : “Ya Allah maafkanlah dia. Dia tidak sengaja melempariku dengan batu” (Shifatush Shafwah II/654)

Saudaraku, sudahkah akhlak kita seperti mereka…?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ

“Barangsiapa yang menahan kemarahannya padahal dia mampu untuk melampiaskannya, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan memanggilnya pada hari Kiamat di hadapan seluruh makhluk, lalu Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari mana yang ia sukai” (HR. Abu Dawud no. 4777, at-Tirmidzi no. 2021 dan Ibnu Majah no. 4286, hadits dari Mu’adz bin Anas al-Juhani)

Najmi Umar Bakkar, حفظه الله تعالى

 

Seandainya Yang Mati Bisa Bicara…

Telah diberikan apa yang mencukupi, masih meminta apa yang bisa membuat melampaui batas…

Tidak pernah merasa puas dengan yang sedikit dan tidak merasa kenyang dengan yang banyak…

Maka sungguh aneh orang yang menyakini adanya tempat kebenaran (akhirat) namun dia berusaha untuk tempat penipuan (dunia)…

Alangkah celakanya diri…

Bagaimana mungkin orang yang syahwatnya tidak pernah puas dan keinginannya tidak pernah berakhir bisa beramal untuk akhirat…?

Bagaimana mungkin ia lalai, sedangkan Allah tidak pernah lalai…?

Bagaimana hidup memberi kenyamanan, sedangkan hari yang berat ada dibelakangnya…?

Bagaimana mungkin takjub dengan sebuah negeri, sedangkan kegembiraan dan keabadian ada di negeri lain…?

Saat ini, kita belum merasakan mati…
Tapi kedatangannya adalah pasti, meskipun tak seorangpun tahu, kapan maut menghampiri…

Saat ini, belum ada yang disesali, namun boleh jadi ia datang esok hari saat penyesalan tak berguna lagi…

Kematian merupakan akhir dari kehidupan dunia, dan alam kubur merupakan tempat kehidupan akhirat yang pertama kali…

Andai orang yang mati dapat berbicara…
Andai bisa mendengar rintihan mereka…

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata :

Demi Allah, seandainya jenazah yang sedang kalian tangisi bisa berbicara sebentar, lalu menceritakan (pengalaman sakaratul mautnya) pada kalian, niscaya kalian akan melupakan jenazah tersebut, dan mulai menangisi diri kalian sendiri”

Wahai saudaraku…

Mengapa engkau tidak menangis atas sisa-sisa umur dari hidup ini…?

Berapa banyak orang yang diakhir hidupnya tergelincir dengan melakukan amalan buruk ketika ajal menjemputnya…?

Allah Ta’ala berfirman :

“Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka)” (QS. Al-Hijr [15] : 3).

Sampai kapankah kebaikan-kebaikan terus menghilang dan maksiat-maksiat terus diperbarui…?

Belumkah datang saatnya bagi orang-orang yang tidur untuk bangun…?

Belumkah datang saatnya bagi orang-orang yang lalai untuk sadar…?

Belumkah datang saatnya bagi orang beriman untuk tunduk khusyu’ mengingat Allah…?

Kapan akan waspada terhadap satu hari ketika kulit berbicara dan memberikan kesaksian di dalamnya…?

Tidakkah takut ketika ruh dicabut, sementara berada dalam kemaksiatan…?

Dimanakah rasa kesedihan…?

Apakah engkau musafir ataukah mukim…?

Jika seorang musafir, kemanakah akan pergi, Surga ataukah Neraka…?

Jangan tahan air matamu, hingga melihat keuntungan di akhirat…!

Jangan pula bertaubat lalu merasa gembira, sebelum tahu akibat segala urusan di akhirat…!

Mu’min yang akan meninggal dunia tidak menangis karena dunia yang akan ditinggalkan, tapi mereka akan memasuki akhirat dan merasa belum banyak berbekal diri untuknya…

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَو كانَ في المسجِدِ مائةُ ألفٍ أو يَزيدون ثمَّ تَنَفَّسَ رجُلٌ مِن أهلِ النَّارِ لأَحْرَقَهُمْ

“Seandainya di masjid ada 100 ribu orang atau lebih dan di dalamnya juga ada SEORANG PENGHUNI NERAKA, lalu ia bernafas dan nafasnya mengenai mereka, tentulah NAFAS ITU BISA MEMBAKAR MASJID BESERTA ORANG-ORANG YANG ADA DI DALAMNYA

(HR. Abu Ya’la no.6640, lihat Shahiihut Targhiib wat Tarhiib no.3668 dan Hilyatul Auliyaa’ no.5772)

Ya Allah selamatkanlah kami dari api neraka…
Ya Allah selamatkanlah kami dari api neraka…

Semoga Allah merahmati seorang hamba yang melakukan dosa, lalu sadar, merasa takut, kemudian mau beramal dengan segera…

Najmi Umar Bakkar, حفظه الله تعالى

…Ya Allah, Sungguh Aku Mencintai-Mu, Walaupun Aku Bermaksiat Kepada-Mu…

Allah Ta’ala berfirman :

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ…

“…Dan orang-orang yang beriman amat sangat besar rasa cintanya kepada Allah…” (QS. Al-Baqarah [2]: 165)

Apakah engkau yang dimaksud oleh ayat ini…?

Bagaimana mungkin engkau mengaku mencintai Allah, sedangkan di waktu malam dan siang engkau selalu menantang-Nya…?

Bagaimana mungkin engkau mengaku mencintai Allah, sedangkan berulang-ulang kali engkau mengundang kemurkaan-Nya dan mendurhakai-Nya…?

Bagaimana mungkin engkau mengaku mencintai Allah, sedangkan jalan menuju masjid pun engkau tidak mengetahuinya…?

Bagaimana mungkin engkau mengaku mencintai Allah, sedangkan engkau mencintai musuh-musuh-Nya dan membanggakan mereka…?

Bagaimana mungkin engkau mengaku mencintai Allah, sedangkan engkau berlaku sombong terhadap wali-Nya, bahkan menghinakan dan melecehkan mereka…?

Bagaimana mungkin engkau mengaku mencintai Allah, sedangkan engkau menyelisihi Rasulullah صلي الله عليه وسلم secara zhahir dan bathin…?

Padahal Allah Ta’ala berfirman :

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

“Katakanlah : “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu” (QS. Ali Imran [3]: 31)

Bagaimana mungkin engkau mengaku mencintai Allah, sedangkan surat-surat cinta-Nya tidak pernah engkau baca…?

Bagaimana mungkin engkau mengaku mencintai Allah, sedangkan perintah dan larangan-Nya selalu engkau abaikan…?

Bagaimana mungkin engkau mengaku mencintai Allah, sedangkan kedatangan-Nya di sepertiga malam akhir tidak pernah engkau sambut…?

Bagaimana mungkin engkau mengaku mencintai Allah, sedangkan dosa dan maksiat secara terang-terangan dan sembunyi-sembunyi masih terus engkau lakukan, bahkan berbangga diri saat melakukannya…?

Dimanakah bukti cintamu kepada Allah, wahai diri yang mengaku cinta kepada-Nya…?

Dimanakah bukti ittiba’mu kepada Rasulullah صلي الله عليه وسلم, wahai diri yang mengaku cinta…?

Engkau membangkang kepada-Nya…
Lalu mengaku bahwa engkau cinta…
Inilah pengakuan yang nyata dustanya…

Jika benar engkau mencintai-Nya…
Tentulah engkau mentaati-Nya…
Karena seseorang akan taat kepada kekasihnya…

Berdoalah dengan merintih kepada-Nya…

اللهم اغفرلي مغفرة واقية في الدنيا و الآخرة

Ya Allah, ampuni dosaku dengan ampunan yang dapat melindungiku di dunia dan akhirat…

تَعَاظَمَنِي ذَنْبِي فَلَمَّا قَرَنْتُهُ بِعَفْوِكَ رَبِّي كَانَ عَفْوُكَ أَعْظَمَا

Dosaku terasa sangat besar bagi diriku, akan tetapi tatkala aku bandingkan dengan ampunan-Mu wahai Rabbku, ternyata ampunan-Mu lebih besar…

اللهم ارزقني طاعتك أبدا ما أبقيتني و ارحمني بترك المعاصى أبدا ما أبقيتني

Ya Allah, karuniakanlah kepadaku rezki untuk selalu dapat mentaati-Mu selama engkau hidupkan aku, dan rahmatilah aku sehingga selalu dapat meninggalkan berbagai maksiat selama Engkau hidupkan aku…

اللهم اني احبك و ان كنت اعصيك

Ya Allah, sungguh aku mencintai-Mu, walaupun aku bermaksiat kepada-Mu…

اللهم اجعل حبك احب الاشياء الي و خشيتك اخوف الاشياء عندي

Ya Allah, jadikanlah cintaku kepada-Mu sesuatu yang paling aku cintai, dan jadikanlah rasa takutku kepada-Mu adalah sesuatu yang paling aku takuti…

و اقطع عني حاجات الدنيا بالشوق الى لقائك

Serta putuskanlah keinginanku atas dunia dengan perasaan rindu untuk berjumpa dengan-Mu…

و إذا اقررت أعين أهل الدنيا من دنياهم فأقر عيني من عبادتك

Dan jika penduduk dunia mata mereka lebih sejuk dengan dunia, maka sejukkanlah pandanganku dengan ibadah kepada-Mu…

Aamiin…

Najmi Umar Bakkar, حفظه الله تعالى

Kenapa Amal Tidak Menembus Hati…?

Wahai Saudaraku…

Jika amalan tidak menemukan jalan penghubung menuju hati, maka amalan itu tidak akan sampai pada hati, sehingga jiwalah yang akan menguasainya…

Meskipun ia terlihat beramal shalih, akan tetapi amalannya tidak sampai pada hatinya…

Terlihat pemilik jiwa itu menjadi orang yang paling zuhud, paling rajin beribadah, paling serius atau bersungguh-sungguh, namun pada hakikatnya ia menjadi orang yang paling jauh dari Allah ‘Azza wa Jalla…

Malamnya shalat tahajjud, bahkan pada bulan Ramadhan tapi tetap saja ia membuka auratnya atau melihat aurat orang lain di pagi hari…

Siang harinya berpuasa, bahkan di bulan Ramadhan tapi tetap saja ia mengghibah di malam hari…

Dia membaca al-Qur’an, bahkan bisa khatam di bulan Ramadhan namun tetap saja ia tidak bisa meninggalkan perbuatan buruknya dengan merokok…

Dia selalu berdzikir kepada Allah, namun tetap saja bermaksiat kepada-Nya…

Dia shalat tapi tetap saja tidak dapat mencegah dirinya dari perbuatan keji dan mungkar…

Dia berdzikir tapi tetap saja tidak ada pengaruh dzikir yang seharusnya bisa mengusir syaithan…

Dia mendengarkan nasihat di majelis-mejelis ilmu atau membaca nasihat melalui hp dengan WA dll, dan matanya pun hampir meneteskan air mata, tapi ketika keluar dari rumah dan masjid, maka pertama kali yang dia lakukan adalah memandang para wanita yang memamerkan auratnya…

Kenapa ini bisa terjadi…! Lalu apa penyebabnya…!

Jawabannya adalah :

Sesungguhnya pada saat dia mengamalkan suatu amalan, maka amalannya tidak sampai menembus pada hatinya…

Perkataan yang dia dengar dan yang dia baca hanya berlalu di bagian luar hatinya saja…

Sehingga ketika hawa nafsu menyerangnya, kembalilah dia kepada maksiatnya. Saat itulah dia lupa akan segala sesuatu yang telah diketahuinya…

Inilah zaman ketika seseorang lebih sibuk dengan hawa nafsunya tetapi dibungkus dengan “Bungkusan Ilmu”, seakan-akan sedang membela ilmu padahal sebenarnya ia sedang membela hawa nafsunya…

Jika amalan telah merasuk ke dalam hati niscaya dia akan menetap di dalamnya, lalu akan sampai kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala…

Maka Allah ridho terhadapnya, lalu Dia pun mengambil ubun-ubun dan hatinya kepada-Nya…

Sehingga dengan itu ia pun akhirnya
mampu untuk bertaqwa…
mampu untuk istiqomah…
mampu untuk bersabar…
mampu senantiasa ikhlas…
mampu untuk bersungguh-sungguh…
mampu menjauhi dosa dan maksiat…
mampu menjadikan akhirat selalu berada di hatinya dan dunia selalu berada di tangannya…
selalu mendahulukan Allah dan Rasul-Nya…
selalu mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah…

Wahai Saudaraku…

Derajat yang tinggi di sisi Allah tidak akan diraih kecuali setelah bersungguh-sungguh…

Sungguh-sungguh tidak akan ada kecuali setelah adanya rasa takut…

Rasa takut tidak akan ada kecuali setelah adanya keyakinan…

Keyakinan tidak akan ada kecuali setelah adanya ilmu…

Ilmu tidak akan ada kecuali setelah belajar…

Belajar sulit dilakukan jika tanpa adanya niat yang lurus, tekad yang kuat dan semangat yang tinggi…

Sungguh mengherankan sekali…

Bulan Ramadhan sedang dilewati…
tapi tetap saja tidak terbukanya hati untuk kembali takut dan harap serta bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla…!

Wahai Saudaraku…

Janganlah engkau yakin, bahwa diri-diri ini sudah menjadi shalih…

Adakah engkau tahu bahwa shalat, puasa, shadaqah dll amal ibadah itu sudah diterima…?

Adakah engkau tahu bahwa maksiat yang pernah engkau lakukan itu sudah mendapatkan ampunan dari Allah…?

Adakah engkau tahu bahwa taubat yang engkau laksanakan sudah diterima oleh Allah…?

Orang-orang menangisi seseorang yang tubuhnya mati, tetapi tidak menangisi orang yang hatinya telah mati. Padahal kematian hati sejatinya lebih berat dan musibah yang lebih dahsyat…

Tetapi memang, “Tidaklah Luka Menyakiti Orang Yang Sudah Mati…”

Allah Ta’ala berfirman :

“…Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada” (QS. Al-Hajj [22]: 46)

Najmi Umar Bakkar, حفظه الله تعالى

Sungguh Betapa Mengherankan…

Berapa kali aku mencela orang-orang yang dijauhi oleh Allah, tapi celaan itu ternyata tidak bermanfaat…

Betapa sering aku menyeru kepada orang-orang yang tuli dan lalai, tapi ternyata seruan itu tidak terdengar…

Betapa seringnya aku berbicara pada hatimu dan aku sangat ingin engkau mendengarkannya…

Wahai orang yang beku air matanya yang tidak pernah bisa menangis karena takut kepada Allah…

Kenapa hatimu dan jasadmu telah engkau gunakan untuk mencintai dunia yang fana…

Kenapa engkau pun selalu saja menampakkan maksiatmu kepada Allah dan kepada makhluk-Nya…

Kenapa engkau selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh-Nya…

Ketahuilah, salah satu tanda dari kesesatan itu ialah hati yang tidak mau tunduk kepada Allah…

Wahai orang yang lalai…

Hitunglah kerugianmu selama ini dengan mengumpulkan yang haram-haram…

Segeralah tinggalkan itu semua…

Jangan sampai engkau masih berada di kebun kelalaian ketika datang panggilan kematian dari-Nya secara tiba-tiba…

Hingga engkau pun berangkat dalam memenuhi panggilan itu dengan cara yang mengenaskan…

Siapa saja yang memperbanyak dosanya, berarti sungguh ia telah memperbanyak penyesalan…

Abu Al-Fadhl Jabrail bin Manshur berkata :

“Sampai kapan engkau larut dalam kelalaian ?
Sepertinya engkau menganggap remeh akibat penundaan siksa. Masa santai dan muda telah berlalu, sementara engkau tidak meraih keridhoan dari Tuhanmu ? Sekarang, yang tersisa adalah masa-masa hina dan malas serta engkau tidak mendapatkan manfaat apa-apa…!” (Al-Bidayah wan Nihayah XIII hal 126).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :

“Sungguh sangat mengherankan sekali keadaan kebanyakan manusia, waktu terus berlalu dan umurpun habis, namun hatinya masih tetap tertutup dari Allah dan kehidupan akhirat. Dia keluar dari dunia sebagaimana dia memasukinya, dia tidak mencicipi sesuatu yang paling nikmat darinya. Dia hidup seperti hidupnya hewan, dan dia berpindah seperti pindahnya orang-orang yang pailit. Sehingga dia menjadi orang yang hidupnya lemah, matinya menyedihkan, dan kembalinya (ke akhirat) adalah kerugian dan penyesalan” (Thoriqul Hijrotain hal 385)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Tidak akan masuk Neraka seseorang yang menangis karena merasa TAKUT KEPADA ALLAH……” (HR. At-Tirmidzi no.1633)

Mengapa seseorang malu untuk menangis karena takut kepada Allah Ta’ala…

Apakah karena keras dan hitamnya hati dari maksiat yang begitu sering dilakukan…

Apakah hatinya telah terkunci…?

Apakah hatinya sudah lebih keras dari pada batu…?

Hendaklah seseorang itu menangis karena ia tidak dapat menangis…

Ia takut akan dosa-dosanya yang tidak terhitung banyaknya…

Ia takut akan su’ul khatimah…

Ia takut akan adzab kubur…

Ia takut Allah akan menolak amal-amal yang telah ia lakukan…

Ia takut tidak dikumpulkan bersama dengan orang-orang yang ia cintai di akhirat kelak…

Ia takut nantinya ia dan keluarganya akan dimasukkan ke dalam Neraka Jahannam…

Ia takut tidak mendapat rahmat dan pertolongan Allah…

Ia takut tidak mendapatkan keselamatan dan ampunan Allah…

Ia takut…! Ia takut…! Ia takut…!

Oh…betapa keringnya mata dari air mata yang mengalir…

Oh…betapa jauhnya hati dari rasa takut kepada Allah…

Oh…betapa malunya diri yang selalu dipandang oleh Allah sedang bermaksiat kepada-Nya…

Oh…betapa sedikitnya ibadah dan doa yang dipersembahkan kepada Allah dalam keadaan ikhlas…

Ya Allah, jadikanlah rasa takut kepada-Mu merupakan sesuatu yang paling kami takuti…

Ya Allah, lindungilah kami dari kedua mata kami yang tidak pernah menangis karena takut kepada-Mu…

Wahai Rabb, lindungilah kami dari kedua mata kami yang tidak pernah menangis karena mengharap ampunan dan rahmat-Mu…

Ya Allah, lindungilah kedua mata kami yang tidak pernah menangis karena bertaubat kepada-Mu…

Ya Allah, gantikan air mata kami yang menetes karena-Mu dengan air penyejuk yang akan menyejukkan kami dari panasnya api Neraka…

Ustadz Najmi Umar Bakkar,  حفظه الله تعالى