Category Archives: Zainal Abidin

Musibah Terasa Nikmat Asal Dihadapi Dengan Lima Langkah Berikut Ini…

1. Ketahuilah semua peristiwa dan kejadian terjadi karena takdir Allah.

2. Pahamilah bahwa sikap gundah gulana tidak bisa merubah takdir.

3. Sadarlah bahwa kenikmatan yang tersisa pada Anda masih lebih melimpah daripada nikmat yang lepas darimu.

4. Renungkanlah bahwa setiap musibah tidak sepi dari hikmah baik berupa pahala, pengampunan, penebusan, peningkatan derajat dan ujian mental agar makin tangguh.

5. Camkanlah bahwa musibah yang diderita orang lain lebih berat dari yang Anda alami. Bahkan bisa jadi Anda termasuk orang yang paling beruntung di antara mereka.

Zainal Abidin Syamsuddin,  حفظه الله تعالى 

Nasihat Dari DR. MUHAMMAD MUSA ALU NASHR Untuk Peserta Group WA…

1. Hidupkan dengan sering menuturkan kebenaran
2. Tinggalkan segala yang bercorak kebatilan
3. Jauhilah untuk tidak menyebarkan gambar-gambar haram
4. Hindarilah debat yang tidak bermanfaat
5. Hindarilah seluruh bentuk postingan yang merendahkan agama, sosok atau suku bangsa
6. Jangan menjadi BIANG penyebar berita atau tulisan dusta atau hoax dan hendaklah dipasikan kebenaran hadits, kisah dan berita
7. Hendaknya tulisan yang antum posting menguntungkanmu tidak merugikanmu
8. Tuisan apapun bentuknya anda adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap isinya
9. Janganlah kamu mengirimkan video yang ada musiknya atau wanita yang membuka aurat karena takut anda yang akan menanggung dosa tiap orang yang menyaksikan atau mendengarnya hingga hari Kiamat

Zainal Abidin Syamsuddin, حفظه الله تعالى
(Penterjemah)

Beribu Alasan Menghidupkan Bid’ah…

Mereka sangat pandai membuat alasan untuk menghidupkan bid’ah tapi kurang semangat untuk menghidupkan Sunnah, mereka sangat antusias berbuat maksiat tapi amat pasif dalam beribadah, memang benar, kebanyakan kaum muslimin lemah dalam mencari kebenaran, justru lebih hebat membenarkan kelemahan dengan dalil.

Perhatikanlah, mereka semangat merayakan tahun baru dengan dalih tutup tahun.
Mereka gemar merayakan Maulid Nabi dengan alasan cinta Rasul.
Mereka antusias merayakan Valentina dengan alasan untuk menyuburkan rasa cinta antara sesama.
Mereka rajin merayakan hari ibu dengan alasan untuk menumbuhkan suasana harmonis pada orang tua.

Akan tetapi, bila mereka ditawarkan untuk mengamalkan Sunnah, mereka abaikan dengan alasan itu kan Sunnah tidak wajib.

{فَمَالِ هَٰؤُلَاءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا}

Kenapa mereka menjadi aneh dan pincang dalam memahami hakikat permasalahan.

Zainal Abidin Syamsuddin, حفظه الله تعالى

Koreksi Pemahaman Terhadap Hadits Tentang Umur Umat Islam…

Dalam Shahih–nya, Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu. Terjemahan bebas hadits ini ialah: “Perumpamaan eksistensi kalian (umat Islam) dibanding umat-umat sebelum kalian ialah seperti waktu antara salat asar hingga tenggelam matahari. Ahli Taurat (Yahudi) diberi kitab Taurat, lalu beramal sehingga tatkala mencapai tengah hari (zuhur) mereka tak sanggup lagi beramal, lalu diberi pahala seqirat-seqirat. Kemudian ahli Injil (Nasrani) diberi Injil, lalu beramal hingga masuk waktu salat asar, lalu tidak sanggup melanjutkan, lalu diberi pahala seqirat-seqirat. Kemudian kita diberi Al–Qur’an, dan kita beramal (dari asar) hingga tenggelam matahari, dan kita diberi pahala dua qirat-dua qirat. Maka, kedua ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) bertanya, ‘Wahai Rabb kami, (mengapa) Engkau beri mereka (muslimin) pahala dua qirat, dan kami (hanya) satu qirat, padahal kami lebih banyak amalnya?’ ‘Apakah Aku mengurangi pahala (yang kujanjikan) bagi kalian?’ tanya Allah. ‘Tidak,’ jawab mereka. ‘Itulah keutamaan yang kuberikan kepada siapa yang kukehendaki,’ jawab Allah”.

Dalam hadits lainnya, Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa Al–Asy’ari, bahwa Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Perumpamaan kaum muslimin, Yahudi, dan Nasrani ialah seperti seseorang yang menyewa suatu kaum agar bekerja hingga malam. Maka kaum tersebut bekerja hingga tengah hari dan mengatakan, ‘Kami tak butuh kepada upahmu.’ Lalu, orang tersebut mengupah kaum lainnya dan berkata, ‘Lanjutkanlah waktu yang tersisa dari hari ini dan kalian akan mendapat upah yang kusyaratkan.’ Maka, mereka pun bekerja hingga tiba waktu salat asar dan berkata, ‘Jerih payah kami untukmu (tidak minta upah).’ Kemudian, orang tersebut menyewa kaum lainnya dan kaum tersebut bekerja mengisi sisa waktu hari itu hingga tenggelam matahari dan mereka mendapat upah sebanyak upah kedua kaum sebelumnya.”
(Artinya, walau tempo kerja mereka paling singkat, namun upahnya setara dengan upah yang disyaratkan bagi kedua kaum sebelum mereka, yang bekerja dari pagi hingga sore.)

Dalam syarahnya yang berjudul Fathul Baari (jilid 4 hal 566 cet. Daarul Kutub Al–Ilmiyyah), Ibnu Hajar mengatakan sebagai berikut yang artinya: “Hadits ini dijadikan dalil bahwa eksistensi umat ini mencapai lebih dari seribu tahun, sebab konsekuensi dari hadits ini ialah bahwa eksistensi Yahudi setara dengan gabungan eksistensi (umur) Nasrani dan muslimin. Sedangkan ahli sejarah telah sepakat bahwa tenggang waktu yang dilalui umat Yahudi hingga diutusnya Nabi adalah lebih dari 2000 tahun, sedangkan tempo yang dilalui Nasrani hingga diutusnya Nabi adalah 600 tahun, dan ada pula yang mengatakan kurang dari itu, sehingga tempo yang akan dilalui kaum muslimin pasti lebih dari seribu tahun.”
(Ini berarti bahwa Ibn Hajar sekadar menukil pendapat sebagian kalangan dalam menafsirkan hadits tersebut tanpa menyebut siapa orang yang berpendapat. Dengan kata lain, ini pendapat yang bersumber dari orang misterius yang agaknya bukan tergolong ulama panutan. Andai saja orangnya tergolong ulama panutan, pastilah namanya layak untuk disebutkan. Jadi, Ibnu Hajar sendiri sama sekali tidak bisa dianggap menyetujui pendapat tersebut karena beliau sendiri menukilnya dengan shighat mabni lil majhul, yang identik dengan shighat tamridh, dan shighat tamridh mengesankan lemahnya pendapat yang dinukil.)

Ibnu Hajar juga mengatakan sebelumnya sebagai berikut: “Hadits ini juga mengandung isyarat akan singkatnya umur dunia yang tersisa. Jadi, kalkulasi umur umat Islam sama dengan umur Yahudi dikurangi umur Nasrani, alias 2000 lebih sedikit dikurangi 600 tahun, yakni 1400 tahun lebih sedikit.”

Sementara itu, As–Suyuti dalam kitab (الكشف عن مجاوزة هذه الأمة الألف) mengatakan:  “Berdasarkan sejumlah riwayat (atsar), umur umat ini (islam) adalah lebih dari seribu tahun, namun lebihnya tidak mungkin lebih dari 500 tahun (al Kasyf hal 206). Artinya, maksimal umur umat ini adalah 1500 tahun.”

Dari kedua pendapat inilah lantas disimpulkan bahwa umur umat Islam berkisar antara 1400-1500 tahun, sedangkan kita saat ini berada pada tahun 1437 H.

Sebagaimana dimaklumi, bila ditambahkan 13 tahun (periode prahijrah sejak masa kenabian Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam), berarti umur umat Islam saat ini adalah 1450 tahun. Artinya, tempo yang tersisa sehingga umat ini punah ialah 50 tahun saja. Dan bila kita tinjau dari hadits shahih tentang turunnya Isa Al-Masih di akhir zaman menjelang kiamat, kita dapatkan bahwa Isa Al-Masih akan hidup selama 40 tahun di bumi sebelum akhirnya wafat dan disalatkan oleh kaum Muslimin (berdasarkan H.R. Abu Dawud, disahihkan oleh Al-Albani). “Artinya, turunnya Isa Al-Masih tinggal kurang dari 10 tahun lagi dari sekarang! Dan turunnya Isa Al-Masih merupakan salah satu tanda besar hari kiamat!” demikianlah menurut pendapat yang meyakini kalkulasi tersebut.

Koreksi Atas Kalkulasi Di Atas
Perlu diketahui, bahwa kedua hadits dalam Shahih Bukhari di atas, bukanlah dalam konteks menjelaskan umur umat Islam, melainkan sekadar membuat perumpamaan.

Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali (wafat 795 H): “Hadits ini disampaikan oleh Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam sekedar sebagai perumpamaan, dan perumpamaan itu cenderung bersifat longgar.” (Fathul Baari 4/341)

Sementara itu, Imamul Haramain (wafat 478 H) mengatakan: “Hukum-hukum agama tidak boleh diambil dari hadits-hadits yang disampaikan dalam bentuk perumpamaan.” (Fathul Baari 2/50).

Jadi, sabda Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bahwa, “Perumpamaan eksistensi kalian (umat Islam) dibanding umat-umat sebelum kalian…” jelas dalam rangka membuat perumpamaan karena menggunakan harf tasybih (“kaaf”). Ini bisa dilihat kembali dalam lanjutan hadits tersebut (كما بين صلاة العصر إلى غروب الشمس) yang diterjemahkan sebagai “seperti waktu antara salat asar hingga tenggelam matahari”.

Perhatikan satu contoh, ketika dikatakan (كاألسد زيد) “Zaid seperti singa”, artinya bukan berarti sama persis seperti singa, melainkan ada salah satu sifat khas singa yang dimiliki Zaid, yaitu pemberani. Dan berdasar kaidah dalam metode penyerupaan, yang diserupakan tidak harus sama dengan contohnya, kata benda yang terletak sebelum kata “seperti” tidak harus sama persis dengan yang terletak setelahnya. Ibnu Hajar mengatakan, “Penyerupaan dan permisalan tidak harus berarti menyamakan dari semua sisi” (Fathul Baari, 2/50).

Dengan demikian, ketika Nabi menyerupakan eksistensi kita dibanding umat-umat sebelumnya ialah seperti tempo antara masuknya waktu asar hingga terbenam matahari, maka ini sekedar permisalan dengan maksud mubaalaghah (majas hiperbola) dalam menjelaskan dekatnya terjadinya hari kiamat. Dan hal ini bukan berarti bahwa eksistensi umat akan sesingkat itu. Dari sini, jelaslah bahwa Nabi tidak sedang menjelaskan umur umat Islam dalam hadits tersebut, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian kalangan.

Dan sanggahan pertama atas syubhat ini ialah bahwa yang disebutkan dalam hadits itu sekadar perumpamaan yang bersifat longgar dan tidak bisa menjadi sumber hukum (hujjah) dalam masalah fikih. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh sejumlah ulama seperti Imamul Haramain, Ibnu Rajab dan Ibnu Hajar.

Oleh karenanya, dalam syarahnya Ibnu Hajar mengatakan, “Mereka yang lebih banyak amalnya (Yahudi dan Nasrani) tidak harus berarti lebih lama eksistensinya karena ada kemungkinan bahwa beramal di masa mereka lebih berat sehingga pahalanya otomatis lebih besar. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah yang artinya, ‘Wahai Rabb kami, janganlah Kaubebankan kepada kami beban yang berat, sebagaimana yang telah Kau bebankan kepada orang-orang sebelum kami’.”

Alasan lain yang menguatkan bahwa yang dimaksud oleh hadits ini ialah sebatas banyak sedikitnya amal tanpa dikaitkan dengan panjang pendeknya tempo masing-masing umat adalah bahwa mayoritas ahli sejarah menyebutkan selang waktu antara Nabi Isa ‘alaihissalaam dengan Nabi kita shallallaahu’alaihi wa sallam adalah 600 tahun, dan ini merupakan pendapat Salman Al Farisi yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari.

Meski demikian, ada pula yang berpendapat bahwa temponya kurang dari itu, sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa selang waktunya hanya 125 tahun!

Padahal, kita menyaksikan bahwa selang waktu yang telah dilalui oleh umat Islam sejauh ini adalah lebih dari 600 tahun (Dengan mengingat bahwa Ibnu Hajar hidup antara tahun 773-852 H, yang berarti bahwa ketika beliau menuliskan kata-kata tersebut, umat Islam telah berumur lebih dari 800 tahun sejak diutusnya Rasulullah shallallaahu‘alaihi wa sallam.).

Dengan demikain, bila kita berpegang pada pendapat bahwa yang dimaksud adalah perumpamaan panjang pendeknya tempo masing-masing umat (alias bukan banyak sedikitnya amal mereka), maka konsekuensinya waktu asar harus lebih panjang daripada waktu zuhur, padahal tidak ada seorang alim pun yang berpendapat demikian. Ini berarti bahwa yang dimaksud lewat perumpamaan tersebut sebenarnya ialah banyak-sedikitnya amalan. Wallaahu Ta’ala a’lam. (Fathul Baari, Ibnu Hajar, 2/50-51, cet. Daarul Kutub Al-Ilmiyyah).

Ibnu Rojab mengatakan, “Menentukan sisa waktu (umur) dunia dengan bersandar kepada hadits-hadits seperti ini adalah sesuatu yang tidak dibenarkan karena hanya Allah-lah yang mengetahui kapan terjadinya kiamat, dan tidak seorang pun yang diberitahu tentang waktunya. Oleh karenanya, Nabi ketika ditanya tentang kapan terjadinya kiamat telah menjawab, ‘Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya’.” Jadi, maksud dari perumpamaan Nabi dalam hadits ini ialah sekedar mendekatkan waktu terjadinya hari kiamat, tanpa menentukan waktunya.” (Fathul Baari, Ibnu Rajab, 4/338).

Selain itu, bila kita perhatikan dalam hadits-hadits di atas, Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam menyebutkan dua hal,

Pertama: perumpamaan antara ajal (umur) umat Islam dibanding ajal umat-umat sebelum kita. Dan ini berarti meliputi seluruh manusia sejak zaman Adam ‘alaihissalam hingga diutusnya Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam, alias tidak terbatas pada kaum Yahudi dan Nasrani saja.

Kedua: perumpamaan antara balasan amal umat islam dengan balasan amal dua umat besar sebelum kita, yaitu Yahudi dan Nasrani. Kesimpulannya, menghitung umur umat Islam dengan cara yang telah disebutkan (umur Yahudi minus umur Nasrani) adalah keliru karena mestinya yang jadi acuan adalah umur semua umat, yang dibandingkan dengan umat Islam. Dan umur semua umat zahirnya seperti panjangnya waktu antara terbit fajar hingga waktu asar, sedangkan umur umat islam sesingkat waktu antara asar hingga magrib. Berhubung kita tidak tahu berapa lama usia umat-umat terdahulu, maka mustahil kita bisa memprediksi umur umat Islam

Jadi, perbandingan antara umat Islam dengan ahli kitab, bukan dalam hal panjang-pendeknya umur masing-masing, melainkan dalam hal banyak sedikitnya pahala yang didapat oleh masing-masing lewat amalnya. Ini dikarenakan saat berbicara tentang umat Islam dengan ahli kitab, Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam tidak menyebutkan “ajal” atau “eksistensi”, tetapi menggunakan istilah “orang yang diberi kitab lalu mengamalkannya hingga waktu tertentu”, atau dengan istilah “orang yang mempekerjakan suatu kaum”, dan sejenisnya, sehingga tidak bisa menjadi acuan untuk menghitung umur masing-masing umat.

Dari sini, ketika disebut dalam hadits bahwa orang-orang Yahudi beramal hingga tengah hari, tidak berarti mereka beramal sejak terbit fajar karena sebelum mereka ada sejumlah umat yang berumur ribuan tahun telah mendahului mereka dalam amal, dan Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam tidak menyebutkan sejak kapan Yahudi mulai beramal. Namun, hanya dijelaskan bahwa mereka beramal hingga masuk waktu zuhur. Oleh karenanya, tidak bisa dijadikan acuan untuk menghitung berapa umur nisbah umur mereka dibanding umur Nasrani dan umat Islam.

Di samping itu, hadits perbandingan umur kita dengan umur-umur umat sebelum kita, bisa dipahami dari sisi lain, yaitu bahwa umur rata-rata individu umat Islam adalah jauh lebih singkat dibanding umur rata-rata individu umat-umat sebelumnya. Sebagaimana singkatnya waktu asar dibanding waktu siang secara keseluruhan. Jika kita anggap waktu asar sekitar 3 jam, sedangkan waktu siang adalah 12 jam, berarti rata-rata umur individu umat Islam adalah seperempat umur individu umat sebelumnya, namun umat Islam diberi pahala yang lebih besar. Pemahaman ini justru lebih sesuai dengan maksud hadits yang ingin menonjolkan besarnya karunia Allah atas umat Muhammad, yakni walau usianya lebih pendek dan amalnya relatif lebih sedikit, tetapi pahala yang diterimanya lebih banyak.

Dalam tulisan diatas telah dijelaskan beberapa poin sanggahan atas pendapat yang mengatakan bahwa umur umat Islam adalah 1400-1500 tahun, dan masih tersisa satu pendapat lagi yang belum disanggah, yaitu pendapat As-Suyuti rahimahullah.
Setelah merujuk ke kitab As Suyuti, ternyata atsar-atsar yang menjadi pijakan As-Suyuti hingga mengatakan bahwa Allah menangguhkan umat Islam sampai lebih dari 1000 tahun, dan lebihnya tidak akan lebih dari 500 tahun (alias maksimal umur umat ini adalah 1500 tahun), semuanya adalah atsar-atsar yang tergolong dha’if. Sementara atsar sahabat yang sahih dalam bab ini, menurut para ulama sumbernya adalah dari ahli kitab. Kesimpulannya, semua atsar ini tidak bisa jadi pijakan dalam masalah yang sangat vital seperti ini.

Oleh karenanya, pendapat As-Suyuti tersebut dibantah oleh As-Shan’ani dalam risalahnya yang berjudul كم الباقي من عمر الدنيا؟ (Berapa Sisa Umur Dunia?). As-Shan’ani menyebutkan atsar-atsar yang menjadi pijakan As-Suyuti, yaitu:

1. Atsar Abdullah bin Amru bin Ash yang berbunyi:
يبقى الناس بعد طلوع الشمس من مغرهبا مائة وعشرين سنة
“Setelah matahari terbit dari Barat, manusia akan tetap eksis selama 120 tahun“.
2. Bahwasanya Isa Al-Masih akan tetap hidup selama 40 tahun setelah membunuh Dajjal.
3. Kemudian setelah itu Isa akan menggantikan kepemimpinan seorang lelaki dari Bani Tamim selama 3 tahun.
4. Dan bahwasanya manusia akan tetap hidup 100 tahun setelah Allah mengirim angin baik yang mencabut ruh setiap mukmin, akan tetapi mereka yang masih hidup tersebut tidak mengenal agama apa pun.

Setelah menyebutkan atsar-atsar tadi, As-Shan’ani lantas berkata:

فهذه مئتان وثلاث وستون سنة، ونحن الآن في قرن الثاني عشر، ويضاف إليه مئتان وثلاث وستون سنة، فيكون الجميع أربعة عشر مئاة وثلاث وستون، وعلى قوله إنه لا يبلغ خمسمئة سنة بعد الألف، يكون منتهى بقاء الأمة بعد الألف: أربعمئة وثلاث وستين سنة، يتخرج منه أن خروج الدجال –أعاذنا الله من فتنته– قبل انخرام هذه المئة التي نحن فيها!

“Berarti, total temponya ialah 263 tahun, sedangkan kita saat ini berada pada abad ke-12 hijriyah, yang bila ditambah 263 tahun, berarti totalnya 1463 tahun. Dan menurut pendapat As-Suyuti yang mengatakan, ‘Bahwa penangguhan umur umat islam tidak lebih dari 500 tahun setelah berlalu seribu tahun,’ berarti batas akhir eksistensi umat Islam setelah melalui 1000 tahun, adalah 463 tahun. Kesimpulannya, keluarnya Dajjal –semoga Allah melindungi kita darinya– adalah sebelum abad ke-12 H ini berakhir!” (Risalah (كم الباقي من عمر الدنيا) hal 40.)

Jadi, ternyata atsar-atsar yang dijadikan pijakan oleh As-Suyuti untuk menentukan batas umur umat Islam maksimal adalah 1500 tahun itu memiliki kalkulasi yang berbeda. Sebabnya, 1500 tahun itu masih dikurangi peristiwa-peristiwa berikut:
1. Tempo 120 tahun setelah matahari terbit dari barat.
2. Tempo 40 tahun dari keberadaan Isa Al-Masih setelah terbunuhnya Dajjal.
3. Tempo 3 tahun ketika Isa menggantikan kepemimpinan seorang lelaki Bani Tamim.
4. Tempo 100 tahun setelah semua orang beriman diwafatkan melalui berhembusnya angin baik.
Totalnya dari data di atas ialah 120 + 40 + 3 + 100 = 263 tahun. Kesimpulannya, umur umat Islam harus berakhir setelah melalui (1500 – 263 =) 1237 tahun. Dengan kata lain, semua peristiwa besar tadi mestinya telah muncul pada tahun 1237 H menurut kalkulasi As-Suyuti (yang ternyata tidak terjadi)!

Dari sini saja terbukti betapa rancunya pendapat tersebut, apalagi jika dilihat dari banyaknya tanda-tanda hari kiamat yang belum muncul, seperti jazirah Arab kembali menghijau dan dialiri sungai-sungai. Ini pun bukan sesuatu yang bersifat temporer, melainkan menjadi ciri dominan bagi jazirah Arab. Dan kita lihat sampai sekarang hal itu belum terwujud.

Demikian pula tentang kaya rayanya umat Islam sehingga seseorang tidak lagi mendapati orang yang mau menerima sedekahnya.

Demikian pula tentang kembalinya paganisme di jazirah Arab, penyembahan terhadap berhala-berhala Latta dan ‘Uzza dan semisalnya yang dahulu pernah disembah.

Demikian pula perang besar antara kaum muslimin dengan Yahudi hingga orang-orang Yahudi bersembunyi di balik batu dan pohon, lalu batu dan pohon tersebut memanggil kaum muslimin, “Yaa Muslim (hai orang islam)… Yaa ‘Abdallaah (hai hamba Allah), ini ada orang Yahudi bersembunyi di belakangku, kemari dan bunuhlah dia!” Dan panggilan ini (Yaa Muslim ataupun Yaa ‘Abdallah) menunjukkan betapa Islam telah mewarnai kaum muslimin, serta peribadatan kepada Allah semata (tauhid) juga telah mendominasi kaum muslimin. Sebabnya, hakikat Islam adalah tauhid dan panggilan tersebut adalah pengakuan atas keislaman kaum muslimin hari itu .

.(penjelasan Asy Syaikh Al ‘Allaamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin ketika ditanya tentang bagaimana kaum muslimin dapat merebut kembali Palestina dari tangan yahudi, dapat dilihat di: (كتب ورسائل الشيخ ابن عثيمين 8/117).

Kalau kita lihat hari ini semua hal tersebut masih jauh dari kenyataan mengingat syirik masih mendominasi umat yang mengaku muslim hari ini. Entah perlu berapa lama lagi untuk mewujudkan Islam dan tauhid yang sebenarnya di tengah-tengah umat. Wallaahu a’lam.

Penulis: DR. Sufyan bin Fuad Baswedan, MA, حفظه الله تعالى
Doktor Ilmu Hadits dari Universitas Islam Madinah, KSA.
Solo, 29 Jumada Tsaniyah 1437 H, bertepatan dengan 7 Maret 2016 M.

Referensi:
• Shahih Bukhari.
• Kitab (الإفحام لمن زعم انقضاء عمر أمة الإسلام), Abdul Hamid Hindawi.
• Risalah (كم الباقي من عمر الدنيا؟) Ash Shan’ani.
• Fathul Baari, Ibnu Rojab Al Hambaly.
• Fathul Baari, Ibnu Hajar Al Asqalani.
• (كتب ورسائل الشيخ ابن عثيمين 8/117) Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

posted by:

Zainal Abidin bin Syamsuddin, حفظه الله تعالى

Peninggalan Rasulullah Mulai Punah…

السنّةَُ التي تُوفي عنها رَسُولُ اللَّهِ* :-
# للإمــام أحمد بــن حنبل – رحِـمُه اللّٰه تعالى –
# عن الحَسَنِ بْنِ إِسْمَاعِيلَ الّربْعي، قَالَ: قَالَ لي أَحْمَدُ بنُ حَنبل – إمامُ أهلِ السُّنةِ والصابرُ تحت المِحنةِ :-

Dari Hasan bin Ismail Ar-Rib’i berkata bahwa Ahmad bin Hambal, seorang Imam ahli Sunnah yang telah teruji kesabarannya berkata kepadaku.

#أَجْمعَ تسعون رجلاً من التابعين
?وأَئمةِ المسلمين،
?وأَئمةِ السلف،
?وفُقهاءِ الأمصارِ

Telah berijma sembilan puluh ulama dari kalangan tabi’in, mereka Imam kaum muslimin, Imam generasi salaf dan Imam ahli fikih.

# عَلَى أنّ السُّنةَ التي تُوفي عنها
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ :-

Bahwa ajaran yang diwariskan Rasulullah antara lain,

1⃣

أولها: الرِّضا بقضاء اللَّه عَزَّ وَجَلَّ، والتسليم لأمره، والصبر عَلَى حكمه، والأخذ بما أمر اللَّه به، والإنتهاء عما نهي اللَّه عنه .

Menerima putusan takdir Allah, pasrah terhadap ketetapan-Nya, bersabar dalam menjalankan hukum-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.

2⃣

والإيمان بالقدر خيره وشره .

Beriman kepada takdir, yang baik dan yang buruk.

3⃣

وترك المراء والجدال فِي الدين .

Tidak adu mulut dan debat dalam perkara agama.

4⃣

والمسح عَلَى الخفين .

Mengusap Khuof (sepatu Bot).

5⃣

والجهاد مع كل خليفة، بَر وفاجر .

Berjihad bersama pemimpin baik yang adil maupun jahat.

6⃣

والصلاة عَلَى من مات من أهل القبلة .

Menyalatkan jenazah ahli kiblat.

7⃣

والإيمان:
✅ قول، وعمل،
⬆ يَزِيد بالطاعة،
⬇ وينقص بالمعصية .

Iman terdiri dari ucapan dan perbuatan, yang bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.

8⃣

والقرآن:
▫كلام اللَّه،
▫منزل عَلَى قلب نبيه مُحَمَّد ﷺ.
▫غير مخلوق من حيثما تلى.

Al-Quran adalah Kalamullah, yang diturunkan ke dalam hati Nabi Muhammad, bukan makhluk dan terbaca.

9⃣

والصبر تحت لواء السلطان عَلَى ما كان فيه من عدل، أو جور .

Bersabar dibawah kekuasaan pemimpin muslim dalam keadaan apapun baik adil maupun jahat.

?

وأن لا نخرج عَلَى الأمراء بالسيف،
وإن جاروا .

Tidak boleh berontak terhadap pemimpin dengan senjata meskipun mereka jahat.

1⃣1⃣

وأن لا نكفر أحداً من أهل التوحيد، وإن عملوا الكبائر .

Tidak boleh mengkafirkan ahli tauhid meskipun mereka melakukan dosa besar.

1⃣2⃣

والكف عما شجر بين أصحاب رَسُول اللَّهِ ﷺ .

Harus menahan diri dari memperbincangkan perselisihan yang terjadi di antara shahabat Rasulullah.

1⃣3⃣

وأفضل الناس، بعد رَسُول اللَّهِ ﷺ:
? أبو بكر،
? وعمر،
? وعثمان،
? وعلي ابن عم رَسُول اللَّهِ ﷺ .

Manusia paling utama setelah Rasulullah adalah,
– Abu Bakar
– Umar
– Utsman
– Ali anak paman Rasulullah.

1⃣4⃣

والترحم عَلَى:
↙ جميع أصحاب رَسُول اللَّهِ ﷺ،
↙ وعلى أولاده،
↙ وأزواجه،
↙ وأصهاره،
رضوان اللَّه عليهم أجمعين.

Harus mendoakan rahmat kepada,
– Seluruh shahabat Rasulullah.
– Putra-putri Rasulullah.
– Istri-istri Rasulullah.
– Dan mertua-mertua Rasulullah.

↑↑← فهذه السُّن

Semua perkara diatas adalah Sunnah-sunnah Rasulullah.

# الزموها تَسلموا،
✅ أَخْذُها هُدى،
⛔ وتَرْكُها ضَلالة.

Berpeganglah dan terimalah dengan lapang dada karena menerapkannya sebuah petunjuk dan meninggalkannya sebuah kesesatan.

# المصدر : طبقات الحنابلة؛ ج: (١). ص: (١٣٠ – ١٣١) .
والله تعالى أعلم .

Sumber: Thaqatul Hanabilah, juz 1 hal. 130-131

Wallahualam.

Zainal Abidin bin Syamsuddin, حفظه الله تعالى

Rahasia Besar Seorang Ayah Yang Tidak Diketahui Seorang Anak

Mungkin ibuku lebih kerap menelpon untuk menanyakan keadaanku setiap hari, tapi apakah aku tahu, bahwa sebenarnya ayahlah yang mengingatkan ibu untuk meneleponku..?!

Semasa kecil, ibuku lah yang lebih sering menggendongku. Tapi apakah aku tau bahwa ketika ayah pulang bekerja dengan wajah yang letih, ayahlah yang selalu menanyakan apa yang aku lakukan seharian, walau beliau tak bertanya langsung kepadaku karena letihnya mencari nafkah dan melihatku terlelap dalam tidur nyenyakku.

Saat aku sakit demam, ayah membentakku “Sudah diberitahu, Jangan minum es..!”

Lantas aku merengut menjauhi ayahku dan menangis di depan ibu.

Tapi apakah aku tahu bahwa ayahlah yang risau dengan keadaanku, sampai beliau hanya bisa menggigit bibir menahan kesakitanku.

Ketika aku remaja, aku meminta izin untuk keluar malam. Ayah dengan tegas berkata “Tidak boleh..!”

Sadarkah aku, bahwa ayahku hanya ingin menjaga aku, karena beliau lebih tahu dunia luar, dibandingkan aku bahkan ibuku..?!

Karena bagi ayah, aku adalah sesuatu yang sangat berharga. Saat aku sudah dipercayai olehnya, ayah pun melonggarkan peraturannya.

Maka kadang aku melanggar kepercayaannya. Ayah lah yang setia menunggu aku diruang tamu dengan rasa sangat risau, bahkan sampai menyuruh ibu untuk mengontak beberapa temannya untuk menanyakan keadaanku, Dimana, dan sedang apa diluar sana..?”

Setelah aku dewasa, walau ibu yang mengantar aku ke sekolah untuk belajar, tapi tahukah aku, bahwa ayah lah yang berkata: “Ibu, temanilah anakmu, aku pergi mencari nafkah dulu buat kita bersama..”

Disaat aku merengek memerlukan ini – itu, untuk keperluan kuliahku, ayah hanya mengerutkan dahi, tanpa menolak, beliau memenuhinya, dan cuma berpikir, ‘kemana aku harus mencari uang tambahan, padahal gajiku pas-pasan dan sudah tidak ada lagi tempat untuk meminjam..’

Saat aku berjaya. Ayah adalah orang pertama yang berdiri dan bertepuk tangan untukku. Ayah lah yang mengabari sanak saudara, ”Anakku sekarang sukses. Alhamdulillah..”

Walau kadang aku cuma bisa membelikan baju koko itu pun cuma setahun sekali. Ayah akan tersenyum dengan bangga.

Dalam sujudnya ayah juga tidak kalah dengan do’anya ibu, cuma bedanya ayah simpan do’a itu dalam hatinya.

Sampai ketika nanti aku menemukan jodohku, ayahku akan sangat berhati – hati mengizinkannya.

Dan akhirnya, saat ayah melihatku duduk diatas pelaminan bersama pasanganku, ayahpun tersenyum bahagia.

Lantas pernahkah aku memergoki, bahwa ayah sempat pergi ke belakang dan menangis..?

Ayah menangis karena ayah sangat bahagia. Dan beliau pun berdo’a, “Ya Allah Robbi, tugasku telah selesai dengan baik dengan pertolongan-Mu. Kami mohon kepada-Mu, bahagiakan lah putra putri kecilku yang manis bersama pasangannya..”

Pesan ibu ke anak untuk seorang Ayah :
 Anakku.. Memang ayah tidak mengandungmu,tapi darahnya mengalir di darahmu, namanya melekat di namamu..

Memang ayah tak melahirkanmu.. Memang ayah tak menyusuimu.. tapi dari keringatnya lah setiap tetesan yang menjadi air susumu..

Nak.. Ayah memang tak menjagai-mu setiap saat.. tapi tahukah kau dalam do’anya selalu ada namamu disebutnya

Tangisan ayah mungkin tak pernah kau dengar karena dia ingin terlihat kuat agar kau tak ragu untuk berlindung di lengannya dan dadanya ketika kau merasa tak aman..

Pelukan ayahmu mungkin tak sehangat dan seerat bunda.. karena kecintaannya dia takut tak sanggup melepaskanmu..

Dia ingin kau mandiri, agar ketika kami tiada kau sanggup menghadapi semua sendiri..

Bunda hanya ingin kau tahu Nak.. bahwa… Cinta ayah kepadamu sama besarnya dengan cinta bunda..
.
Anakku.. Ketahui lah bahwa pada diri ayahmu lah juga terdapat surga bagimu.. Maka hormati dan sayangi ayahmu..

Ditulis oleh,
Ustadz Zainal Abidin bin Syamsuddin, حفظه الله تعالى

Menasihati Penguasa Dengan Etika Islam…

Islam memiliki etika tersendiri dalam menasihati pemimpin, bahkan mempunyai kaidah-kaidah dasar yang tidak boleh dilecehkan; sebab, pemimpin tidak sama dengan rakyat.

Apabila menasihati kaum muslimin, secara umum memerlukan kaidah dan etika, maka menasihati para pemimpin lebih perlu memperhatikan kaidah dan etikanya.

Dari Ibnu Hakam meriwayatkan, bahwa Nabi bersabda, ”Barangsiapa yang ingin menasihati pemimpin, maka jangan melakukannya secara terang-terangan.

Akan tetapi, nasihatilah dia di tempat yang sepi. Jika menerima nasihat, itu sangat baik. Dan bila tidak menerimanya, maka kamu telah menyampaikan kewajiban nasihat kepadanya.” [HR Imam Ahmad].

Sangat tidak bijaksana mengoreksi dan mengkritik kekeliruan para pemimpin melalui mimbar-mimbar terbuka, tempat-tempat umum ataupun media massa, baik elektronik maupun cetak.

Yang demikian itu menimbulkan banyak fitnah. Bahkan terkadang disertai dengan hujatan dan cacian kepada orang per orang.

Seharusnya, menasihati para pemimpin dengan cara lemah lembut dan di tempat rahasia, sebagaimana yang dilakukan oleh Usamah bin Zaid tatkala menasihati Utsman bin Affan, bukan dengan cara mencaci-maki mereka di tempat umum atau mimbar.

Imam Ibnu Hajar berkata, bahwa Usamah telah menasihati Utsman bin Affan dengan cara yang sangat bijaksana dan beretika tanpa menimbulkan fitnah dan keresahan.

Imam Syafi’i berkata,
”Barangsiapa yang menasihati temannya dengan rahasia, maka ia telah menasihati dan menghiasinya. Dan barangsiapa yang menasihatinya dengan terang-terangan, maka ia telah mempermalukan dan merusaknya.”

Imam Fudhail bin Iyadh berkata,
”Orang mukmin menasihati dengan cara rahasia; dan orang jahat menasihati dengan cara melecehkan dan memaki-maki.”

Syaikh bin Baz berkata,
”Menasihati para pemimpin dengan cara terang-terangan melalui mimbar-mimbar atau tempat-tempat umum, bukan (merupakan) cara atau manhaj Salaf.

Sebab, hal itu akan mengakibatkan keresahan dan menjatuhkan martabat para pemimpin.

Akan tetapi, (cara) manhaj Salaf dalam menasihati pemimpin yaitu dengan mendatanginya, mengirim surat atau menyuruh salah seorang ulama yang dikenal untuk menyampaikan nasihat tersebut.”

Zainal Abidin,  حفظه الله تعالى 
Posted by Badru Salam,  حفظه الله تعالى 

Jama’ah oo Jama’ah Haji…

Banyak kita temukan hal yang lucu dan aneh pada saat pelaksanaan manasik haji..

Aneh, Jedah itu tidak pernah dinyatakan oleh al-Qur’an dan AS-Sunnah serta Ijma ulama sebagai tempat miqat haji dan Umrah tapi banyak jamaah haji rame-rame ambil miqat di Jedah.

Aneh, Mabit di MINA pada tanggal 8 ZULHIJAH disunnahkan namun banyak jamaah haji meninggalkan, malah mereka rame-rame Mabit di Arafah untuk berzikir dan berdoa di sana.

Aneh, Mabit pada malam tanggal 9 ZULHIJAH di Muzdalifah hingga masuk shalat subuh diwajibkan, ternyata banyak sekali jamaah haji yang cuma mampir sesaat dengan alasan Mabit sampai subuh di Muzdalifah itu program haji reguler.

Aneh, Thawaf Sunnah sangat dianjurkan untuk dilakukan berulang kali, ternyata banyak jamaah haji yang menelantarkan malah mereka melakukan Umrah berkali-kali padahal tidak pernah dipraktikkan oleh Kanjeng nabi Muhammad.

Lucu, meskipun mereka Umrah berkali-kali namun rambut mereka masih tetap utuh padahal Rasulullah dan para sahabat Umrah sekali saja semua rambutnya habis.

Aneh, melempar Jumrah pada tanggal 11, 12 dan 13 ZULHIJAH harus dilakukan setelah matahari tergelincir tapi banyak yang melempar sebelum matahari terbit, bahkan ada yang melempar Jumrah untuk tanggal 11 dan 12 dalam satu malam sekaligus, caranya pada tanggal 11 malam ke 12 mereka melempar Jumrah jam 23.30 untuk tanggal 11 kemudian melempar jam 0.100 dini hari untuk tanggal 12 lalu mereka keluar dari MINA karena mengambil NAFAR AWAL.

Lucu banget ada di antara mereka yang Selfi sambil cium HAJAR aswad,
Selfi sambil Thawaf,
Selfi sambi Sa’i,
Selfi sambil melempar Jumrah bahkan Selfi bersama-sama di dalam masjid hingga orang yang sedang shalat diganggu dan diinjak pecinya hanya untuk berselfi.

Lucu, tidak ada jamaah haji yang paling gemar berfoto ria kecuali jamaah haji Indonesia,
ada pesawat parkir di bandara difoto,
ada payung masjid nabawi sedang mengembang atau mengempis difoto,
jam dinding masjid difoto,
monyet Arab sedang lewat difoto hingga ada di antara mereka dengan ikhlas berselfi bersama onta.

Pergi ke Raudhah disunnahkan,
ziarah kubur nabi disunnahkan, ziarah Baqi disunnahkan,
shalat Sunnah mutlak di masjid Mekah berpahala seratus ribu kali dan di masjid Madinah berpahala seribu kali dibanding masjid yang lainnya, ternyata jamaah sibuk merokok, Selfi, bercanda dan berkeliling toko untuk belanja.

Mereka berhaji dengan bayar mahal, capek, sakit, letih dan meninggalkan kerjaan dan keluarga ternyata setelah sampai di Mekah dan Madinah hanya merokok, ngobrol dan tidur-tiduran di hotel atau penginapan.

Aneh, mereka sibuk mengadakan acara tahlilan dan yasianan, mereka bersemangat membaca shalawatan, Ratiban dan manaqib namun AL-Quran dicampakkan dan dzikir pagi dan sore yang dianjurkan Rasul ditinggalkan.

Hampir nyata pada zaman sekarang, orang berangkat haji, yang kaya hanya sekedar jalan-jalan, yang ahli agama jualan menyebarkan bid’ah dan yang miskin minta-minta.

Aneh tapi nyata. Semuanya berawal dari kebodohan mereka terhadap ajaran Islam.

Zainal Abidin Syamsuddin,  حفظه الله تعالى

Rahasia Kekalahan Umat Islam…

Pada zaman sekarang umat Islam mengalami kondisi paling memilukan; kehinaan, kemunduran dan kelemahan menimpa umat Islam dalam seluruh sisi kehidupan baik secara ideologi, politik, ekonomi dan sosial, berbeda dengan zaman salaf, umat Islam kuat, hebat dan dahsyat yang ditakuti dan disegani musuh-musuhnya,……….

KENAPA?

Jawabannya tersingkap dari dialog Raja Romawai, Heraklius saat menyambut kedatangan pasukan Romawi yang kalah perang dengan pasukan kaum muslimin; maka Heraklius berkata:

“Celakalah kalian, coba ceritakan kepada kami tentang mereka yang memerangi kalian, bukankah manusia seperti kalian?
Mereka menjawab, Ya.
Sang Raja bertanya lagi, Apakah jumlah kalian lebih banyak ataukah jumlah kalian?
Mereka menjawab, Bahkan jumlah kita lebih banyak berkali-kali lipat.
Sang Raja pun bertanya penasaran, Kenapa kalian bisa kalah?!

Maka salah seorang PENASEHAT Heraklius berkata, (Mereka menang) semata-mata karena mereka (pasukan Islam) pada malam hari shalat malam, pada siang hari berpuasa, mereka menepati janji, mereka beramar ma’ruf dan nahi mungkar, mereka bersikap adil sesama mereka, sementara kita suka minum Khamer, suka Berzina, senang berbuat yang haram, melanggar janji, gampang emosi, bersikap zalim, suka melanggar dan bahkan melarang suatu yang mendatangkan ridha Allah serta berbuat kerusakan di muka bumi”.

Maka Heraklius menimpalinya, Engkau telah berkata jujur tentang mereka (umat Islam).

Memang benar kata Umar bin Khaththab, “Sesungguhkan kita dimenangkan oleh Allah karena maksiatnya musuh-musuh kita, maka kalau kita bermaksiat seperti mereka maka tidak ada syarat yang kita penuhi untuk dimenangkan Allah”.

Zainal Abidin Syamsuddin,  حفظه الله تعالى 

Pidato Abu Bakar Ketika Diangkat Menjadi Khalifah…

Wahai manusia, aku diangkat menjadi pemimpin kalian meskipun aku bukan orang terbaik di antara kalian, bila aku berbuat baik maka bantulah dan bila aku berbuat buruk luruskanlah.

Jujur adalah amanah, dusta adalah khianat. Orang lemah aku anggap kuat hingga aku bisa mengembalikan haknya, dan orang kuat aku anggap lemah hingga aku mampu mengambil hak orang lain darinya.

Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, melainkan Allah akan menimpakan kepada mereka kehinaan.

Tidaklah kekejian merajalela di suatu kaum melainkan Allah akan meratakan adzab atas mereka.

Dan taatilah aku selagi aku mentaati Allah dan RasulNya, tetapi bila aku bermaksiat kepada Allah dan RasulNya maka tidak ada ketaatan atas kalian kepadaku.

Zainal Abidin Syamsuddin,  حفظه الله تعالى