Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
الٓمٓ ١ أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ ٢ وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٣
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan untuk mengatakan, ‘Kami telah beriman’ sedang mereka tidak diuji lagi..?! Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta..” (al-Ankabut: 1—3)
Saad bin Abi Waqqash rodhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rosulullah shollallahu ‘alayhi wasallam,
يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً؟
“Wahai Rosulullah, siapakah orang yang paling berat ujiannya..?”
قَالَ: اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى اْلأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
Beliau menjawab, “Orang yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian yang semisalnya dan yang semisalnya.
Seseorang diuji sesuai dengan kadar keimanannya, kalau kuat imannya maka semakin keras ujiannya, kalau lemah imannya maka diuji sesuai dengan kadar imannya.
Maka senantiasa seorang hamba diuji oleh Allah sehingga dia dibiarkan berjalan di atas permukaan bumi tanpa memiliki dosa..”
(HR. at-Tirmidzi no. 2398, dinilai shohih oleh al-Albani dalam ash-Shohihah no. 143)