Seharusnya Ulama’ Beri Solusinya, Dong!…

Ustadz Muhammad Arifin Badri, حفظه الله تعالى

Demikian celotehan sebagian orang di saat mendengar fatwa ulama bahwa “bunga bank” riba, ” BPJS tidak sesuai syariat Islam” dan fatwa fatwa serupa lainnya.

Sekilas celotehan ini nampak manusiawi dan logis, kalau ini dan itu haram maka masyarakat pasti bingung dan ingin mengetahui apa solusi atau alternatifnya?

Namun kalau dipikir ulang, menuntut agar ulama selalu memberi solusi setiap kali memfatwakan “haram” sesuatu sama halnya “MENUHANKAN” alias menganggap para ulama’ seakan tuhan. Orang orang yang berceloteh demikian ini, seakan beranggapan bahwa ulama’ berwenang, mengetahui dan memiliki segala sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Seakan mereka belum mengetahui bahwa urusan dunia ini melibatkan banyak pihak, dari rakyat jelata, penguasa,, ilmuwan, pengusaha, konsumen, produsen, politikus dan lainnya.

Sehingga idealnya fatwa ulama’ haruslah didukung oleh seluruh elemen masyarakat, bukan malah semuanya dibebankan kepada ulama’, dan semua elemen masyarakat menghujat para ulama’ yang berfatwa, seakan fatwa ulama’ adalah biang masalah dan carut marutnya urusan masyarakat.

Hasbunallahu wa ni’mal wakiil.

Antara Anak singa Dan Srigala…

Ustadz Muhammad Arifin Badri, حفظه الله تعالى

Sobat, semua orang pasti mengetahui bahwa singa pastilah lebih kuat dibanding srigala. Namun demikian semasa singa baru saja terlahir dari induknya pastilah tidak berdaya bila harus menghadapi srigala dewasa. Enam anak singa yang masih lemah tidak akan berdaya menghadapi seekor srigala dewasa yang buas nan kelaparan. Karena itu tidak bijak bila anak singa mengandalkan NAMA BESARNYA sebagai SINGA, sehingga BONEK (bondo nekad) ingin memangsa srigala dewasa yang sedang kelaparan, apalagi srigala berjumlah 2 atau lebih.

Dalam kondisi seperti ini, anak singa harus bersabar dan bersembunyi SESAAT dari penglihatan srigala, agar esok hari setelah dewasa dapat keluar dan dengan mudah memangsa srigala.

Anak singa yang hidup di hutan belantara secara naluri dapat menghitung kekuatan diri dan musuhnya, sehingga ia dapat mempertahankan hidupnya. Namun demikian, betapa mengherankan bila banyak dari manusia walau memiliki akal pikiran sering kali kurang mampu meni bang kekuatan diri dan lawannya. Banyak manusia yang hanya mengedepankan rasa lapar dan emosinya.

Betapa indahnya petuah imam Syafii rahimahullah:

من اراد الدنيا فعليه بالعلم ومن اراد الاخرة فعليه بالعلم

Barang siapa yang mengehendaki sukses dalam kehidupan dunia maka hendaknya ia berbekalkan dengan ilmu dan barang siapa menghendaki sukses dalam kehidupan akhirat maka hendaknya ia juga berbekalkan dengan ilmu.

Bakdo Kupat : Lebaran Ketupat Dalam Timbangan Islam…

Ustadz Abu Riyadl, حفظه الله تعالى

Setelah orang-orang menyelesaikan puasa bulan Ramadhan dan mereka berbuka pada hari pertama bulan Syawwal -yaitu hari raya (iedul) fitri- mereka mulai berpuasa enam hari pertama dari bulan Syawwal dan pada hari kedelapan mereka membuat hari raya yang mereka namakan iedul abrar (biasanya dikenal dengan hari raya Ketupat)

Ini dia antara perkara yang diada-adakan (bid’ah) pada bulan Syawwal adalah bid’ah hari raya Al Abrar (orang-orang baik) (atau dikenal dengan hari raya Ketupat.pent.), yaitu hari kedelapan Syawwal.

Syaikhul Islam lbnu Taimiyah –Rahimahullah- berkata: “adapun membuat musim tertentu selain musim yang disyariatkan seperti sebagian malam bulan Rabi’ul Awwal yang disebut malam maulid, atau sebagian malam bulan Rajab, tanggal 18 Dzulhijjah, Jum’at pertama bulan Rajab, atau tanggal 8 Syawwal yang orang-orang jahil menamakannya dengan hari raya Al Abrar ( hari raya Ketupat) ; maka itu semua adalah bid’ah yang tidak disunnahkan dan tidak dilakukan oleh para salaf. Wallahu Subhanahu wata’ala a’1am.

Peringatan hari raya ini terkadang dilakukan di salah satu masjid yang terkenal, para wanitapun berikhtilat (bercampur) dengan laki-laki, mereka bersalam-salaman dan mengucapkan lafadz-lafadz jahiliyyah tatkala berjabatan tangan, kemudian mereka pergi ke tempat dibuatnya sebagian makanan khusus untuk perayaan itu. (lihat : As Sunan wal mubtadi’at al muta’alliqah bil adzkar wassholawat karya Muhammad bin Abdis Salam As Syaqiriy hal. 166)

Adapun dinegara kita biasa membuat ketupat.. dan kadang diiringi saling berkunjumg ke karib kerabat yang ketika hari raya tidak sempat berkunjung.

Sesungguhnya penamaan hari raya abror (yaitu iedul abrar) mengandung konskwensi bahwa orang yang tidak puasa enam hari dari syawwal maka bukan termasuk orang baik, demikian ini adalah keliru. Karena orang yang telah menunaikan kewajibannya maka dia, tanpa diragukan adalah orang yang baik walaupun tentunya sebagian orang kebaikannya ada yang lebih sempurna dari yang lain.

(Syarhul Mumti’ Karya As Syaikh Ibnu Utsaimin jilid 6 bab shaum Tathawwu’)

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا

“Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ummul Mukminin Aisyah  radhiyallahu’anha]

Sahabat yang Mulia Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ

“Ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mendatangi kota Madinah, para sahabat memiliki dua hari raya yang padanya mereka bersenang-senang. Maka beliau bersabda: Dua hari apa ini? Mereka menjawab: Dua hari yang sudah biasa kami bersenang-senang padanya di masa Jahiliyah. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah telah mengganti kedua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu idul adha dan idul fitri.” [HR. Abu Daud, Shahih Abi Daud

Dua hadits di atas menununjukkan bahwa penentuan hari raya harus berdasarkan dalil, hari raya apa pun yang tidak berdasarkan dalil maka termasuk bid’ah, mengada-ada dalam agama. Dan diantara hari raya bid’ah tersebut adalah hari raya orang-orang baik (Al-Abror), yang dikenal di negeri kita dengan istilah “Hari Raya Ketupat”.

Hari raya ini awalnya dikhususkan bagi mereka yang berpuasa sunnah 6 hari di bulan Syawwal, walau di hari-hari ini, puasa sunnah tersebut sudah hampir dilupakan dan tidak diamalkan, namun hari raya bid’ahnya tetap dirayakan, bahkan disertai dengan berbagai kemungkaran, seperti nyanyian dan musik, bercampur baur dan bersalam-salaman antara laki-laki dan wanita, dan lain-lain. Demikianlah, apabila bid’ah diada-adakan, maka sunnah akan hilang.

Al-Imam Hasan bin ‘Athiyyah rahimahullah berkata,

ما ابتدع قوم بدعة في دينهم إلا نزع الله عنهم من سنتهم مثلها ثم لا يعيدها إليهم إلى يوم القيامة

“Tidaklah suatu kaum berbuat bid’ah dalam agama, kecuali Allah akan mengangkat sunnah yang semisalnya dari mereka, dan tidak mengembalikannya sampai hari kiamat.”[Al-Hilyah, 6/73]

Kesimpulan…
Hari raya ketupat atau hari raya abror mrupakan hari raya yg tidak diridhoi oleh nabi kita shalallahu alaihi wasalam…

Penemuan Terkini Sebagai Peringatan Untuk Kita Semua…

Kajian

The University of Birmingham adalah salah satu universitas tertua di Inggris, didirikan di tahun 1900 M.

Belum lama ini University of Birmingham menemukan manuskrip tua yang berisikan ayat-ayat Al Qur’an di dalam gudang arsip mereka. Setelah dilakukan tes laboratorium (radiocarbon analysis), hasilnya mengejutkan banyak pihak. Manuskrip tersebut berasal dari periode tahun 568 – 645 (abad 6-7) Masehi, yaitu periode akhir kepemimpinan Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam dan awal kepemimpinan para sahaabat (Khulafaa-ur-Rasyidiin).

http://www.birmingham.ac.uk/news/latest/2015/07/quran-manuscript-22-07-15.aspx?utm_source=homapage&utm_medium=banner&utm_campaign=quran

Professor David Thomas (Professor of Christianity and Islam, the University of Birmingham, UK) mengatakan :

“…Islam is associated of course with the Prophet Muhammad (peace be upon him-red). He lived in the late 6th and early 7th century. These manuscripts could well have been written just after he died.

The parts of the Qur’an that are contained in those fragments ARE VERY SIMILAR INDEED to the Qur’an as we have it today, and so it tends to support the view that the Qur’an that we now have is more or less very close indeed to the Qur’an as it was brought together in the early years of Islam…”

Artinya:

“…Islam tentu saja terkait dengan Nabi Muhammad (shollallahu ‘alayhi wasallam). Beliau hidup di akhir abad 6 dan awal abad 7 masehi. Manuskrip ini bisa jadi ditulis tidak lama setelah beliau wafat.

Isi dari Al Qur’an yang terdapat dalam manuskrip benar-benar sama dengan isi Al Qur’an yang ada sekarang, dan ini mendukung pendapat bahwa Al Qur’an yang ada saat ini kurang lebih sangat mendekati Al Qur’an yang dikumpulkan di tahun-tahun awal Islam…”

Subhanallah… kini ilmuwan non-Muslim, melalui tes yang mereka lakukan sendiri, mendukung apa yang selama ini diyakini oleh umat Islam bahwa tidak ada perubahan apapun dari isi Al Qur’an sejak zaman Rasulullah shollallahu ’alayhi wasallam dan para sahaabat, sebagaimana yang dijanjikan Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya” (QS al-Hijr : 9)

Tentunya umat Islam tidak membutuhkan pembuktian untuk meyakini apa yang terkandung dalam Al Qur’an. Namun apa yang dilakukan oleh University of Birmingham dan apa yang dikatakan oleh Professor David Thomas menjadi salah satu ’reminder’ bahwa TIDAK ADA ALASAN APAPUN BAGI SEMUA MANUSIA, sejak diutusnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di akhir jaman, untuk berpaling dari kebenaran Islam, ketika Allâh Azza wa Jalla meminta pertanggungjawaban mereka pada hari kiamat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allâh sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS an-Nisâ’ : 165).

Semoga bermanfaat.

Baarakallahu fiikum

Hukum Merapihkan Alis, Bulu Mata dan Wajah…

Ustadz Ammi Nur Baits, حفظه الله تعالى

alis mata

Ketika diusir oleh Allah, Iblis bersumpah di hadapan Rab semesta alam untuk menyesatkan seluruh hamba-Nya.

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ ( ) إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

“Iblis berkata: Aku bersumpah dengan Keagungan-Mu ya Allah, sungguh akan aku sesatkan mereka semua, kecuali para hamba-Mu diantara mereka yang baik imannya.” (QS. Shad: 82 – 83).

Salah satu diantara misi besar iblis untuk menyesatkan manusia adalah memerintahkan mereka untuk mengubah ciptaan Allah,

وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ

“Sungguh aku akan perintahkan mereka untuk mengubah ciptaan Allah.” (QS. An-Nisa: 119)

Namun sebagian besar yang terjebak dalam larangan ini adalah para wanita. Allah jadikan, bagian dari keindahan wanita,  tidak ada bulu di wajah selain alis dan bulu mata. Untuk menjaga dari ulah mereka, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang mencukur bulu alisnya.

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

لَعَنَ اللَّهُ الوَاشِمَاتِ وَالمُوتَشِمَاتِ، وَالمُتَنَمِّصَاتِ وَالمُتَفَلِّجَاتِ، لِلْحُسْنِ المُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ

“Allah melaknat tukang tato, orang yang ditato, al-mutanamishah, dan orang yang merenggangkan gigi, untuk kecantikan, yang mengubah ciptaan Allah.” (HR. Bukhari 4886, Muslim 2125, dan lainnya).

Makna Al-Mutanamishah

Al-Mutanamishah adalah para wanita yang minta dicukur bulu di wajahnya. Sedangkan wanita yang menjadi tukang cukurnya namanya An-Namishah. (Syarh Muslim An-Nawawi, 14/106).

An-Nawawi juga menegaskan, bahwa larangan dalam hadis ini tertuju untuk bulu alis,

وأن النهي إنما هو في الحواجب وما في أطراف الوجه

“Larangan tersebut adalah untuk alis dan ujung-ujung wajah..” (Sharh Shahih Muslim, 14/106).

Ibnul Atsir mengatakan,

النمص: ترقيق الحواجب وتدقيقها طلبا لتحسينها

“An-Namsh adalah menipiskan bulu alis untuk tujuan kecantikan…”

Ibnul Allan mengatakan dalam Syarh Riyadhus Shalihin,

وَالنَّامِصَةُ”: الَّتي تَأخُذُ مِنْ شَعْرِ حَاجِبِ غَيْرِهَا، وتُرَقِّقُهُ لِيَصِيرَ حَسَناً. “وَالمُتَنَمِّصَةُ”: الَّتي تَأمُرُ مَنْ يَفْعَلُ بِهَا ذَلِكَ

“An-Namishah adalah wanita yang mencukur bulu alis wanita lain atau menipiskannya agar kelihatan lebih cantik. Sedangkan Al-Mutanamishah adalah wanita yang menyuruh orang lain untuk mencukur bulu alisnya.” (Dalil al-Falihin, 8:482).

Beberapa ulama yang mengarang kitab kumpulan dosa-dosa besar, seperti Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-Kabair, demikian pula Al-Haitami dalam kitabnya Az-Zawajir ‘an Irtikab Al-Kabair menyebutkan bahwa salah satu diantara dosa yang masuk daftar dosa besar adalah mencukur atau menipiskan bulu alis. Karena terdapat hadis yang menyebutkan bahwa Allah melaknat para wanita yang mencukur bulu asli di wajahnya, seperti bulu alis, meskipun itu untuk tujuan kecantikan.

Allahu a’lam

Ref : http://www.konsultasisyariah.com/hukum-merapikan-alis/

Dzikir Pelepas Lelah

Ustadz Sufyan Basweidan, حفظه الله تعالى

Mengurusi rumah tangga memang cukup melelahkan. Memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan mengasuh anak-anak adalah rutinitas tiap hari ibu rumah tangga. Pantas saja jika akhirnya banyak keluarga yang memilih solusi praktis dengan menyewa pembantu.

Pun begitu, keberadaan seorang wanita yang bukan mahram di tengah-tengah keluarga tentu menimbulkan masalah baru. Apalagi jika si pembantu adalah gadis belia yang masih lugu dan tidak faham agama. Biasanya ia akan berpakaian seadanya di rumah majikan, tanpa peduli bahwa majikan lelaki adalah orang ajnabi(asing) yang bukan mahramnya.

Bila keluarga yang bersangkutan juga minim iman dan takwa, maka keberadaan si pembantu semakin mengundang fitnah. Tidak mustahil bila suatu saat terjadi perselingkuhan antara majikan lelaki dengan pembantunya sendiri.

Namun, tahukah Anda bahwa segala masalah tadi ada solusinya?

Tahukah Anda bahwa solusi ini cukup mudah, murah, dan juga bebas fitnah?

Untuk mengetahui jawabannya, marilah kita simak penuturan Ali bin Abi Thalib tentang beratnya tugas seorang ibu rumah tangga. Tahukah Anda siapa ibu rumah tangga yang dimaksud? Dia adalah wanita mulia puteri lelaki paling mulia. Dialah wanita penghuni surga yang demikian sabar dalam mengurus rumah tangga.

Benar, dialah Fatimah puteri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Sekarang, marilah kita simak kisahnya. Ali menuturkan bahwa Fatimah pernah mengeluh kepadanya. Ia merasa bahwa pekerjaan menggiling gandum dengan batu demikian berat baginya. Suatu ketika, Fatimah mendengar bahwa Rasulullah mendapat seorang budak. Fatimah pun mendatangi rumah ayahnya dalam rangka meminta budak tadi sebagai pembantu baginya. Akan tetapi Rasulullah sedang tidak ada di rumah. Fatimah lantas mendatangi ummul mukminin Aisyah dan menyampaikan hajatnya.

Ketika Rasulullah berada di rumah Aisyah, ia menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah. Rasulullah lantas mendatangi kami (Ali dan Fatimah) saat kami telah berbaring di tempat tidur. Mulanya, kami hendak bangun untuk menghampiri beliau, namun beliau menyuruh kami tetap berada di tempat.

Maukah kutunjukkan kalian kepada sesuatu yang lebih baik dari apa yang kalian minta?” tanya beliau. “Jika kalian berbaring di atas tempat tidur, maka ucapkanlah takbir (Allahu akbar) 34 kali, tahmid (alhamdulillah) 33 kali, dan tasbih (subhanallah) 33 kali. Itulah yang lebih baik bagi kalian daripada pembantu yang kalian minta.” lanjut Nabi (HR. Bukhari dan Muslim).

Semenjak mendengar petuah Rasulullah tadi, Ali tak pernah lalai meninggalkan wirid tadi. Ia selalu membacanya, bahkan di malam perang Shiffin; sebagaimana yang disebutkan dalam salah satu riwayat Imam Bukhari.

Tahukah Anda, apa yang sebenarnya dikeluhkan oleh Fatimah? Beliau mengeluh karena kedua tangannya bengkak akibat terlalu sering memutar batu penggiling gandum yang demikian berat.

Subhanallah, ternyata puteri tercinta Rasulullah demikian berat ujiannya. Pun begitu, beliau tak segera memenuhi keinginan puterinya tadi. Namun beliau mengajarkan sesuatu yang lebih bermanfaat baginya dari seorang pembantu. Sesuatu yang menjadikannya semakin dekat dan bertawakkal kepada Allah. Itulah wirid pelepas lelah.

Mengapa wirid tadi lebih baik dari pembantu? Menurut al-Hafizh Badruddien al-‘Aini, alasannya ialah karena wirid berkaitan dengan akhirat, sedangkan pembantu berkaitan dengan dunia. Dan tentunya, akhirat lebih kekal dan lebih afdhal dari dunia. Atau, boleh jadi maksudnya ialah bahwa dengan merutinkan bacaan wirid tadi, keduanya akan mendapat kekuatan lebih besar untuk melakukan berbagai pekerjaan; melebihi kekuatan seorang pembantu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga berpendapat senada. Menurut beliau, siapa yang rajin membaca wirid tadi di waktu malam, niscaya tidak akan kelelahan. Alasannya karena Fatimah mengeluh kecapaian kepada Rasulullah, lalu Rasulullah mengarahkannya agar membaca wirid tadi. Akan tetapi, menurut al-Hafizh Ibnu Hajar, penafsirannya tidak harus seperti itu. Hadis ini tidak berarti bahwa rasa lelah pasti hilang bila seseorang rutin membacanya. Namun boleh jadi maksudnya ialah bila seseorang rutin mengamalkannya, maka ia tidak akan terkena madharat walaupun banyak bekerja. Pekerjaan itu juga takkan terasa berat walaupun ia merasa lelah karenanya.

Hadis ini juga bisa berarti bahwa orang yang membaca wirid tadi, kelak akan bangun pagi dalam keadaan segar-bugar dan penuh semangat. Tentunya, ini lebih baik daripada menyewa pembantu yang meringankan pekerjaan, namun tidak menjadikan badan segar-bugar. Lagi pula, bila seseorang mampu melakukan pekerjaannya secara mandiri, tentu lebih baik daripada menyuruh orang lain, walaupun yang disuruh pasti menurut. Alasannya karena merasa butuh kepada orang lain adalah sikap yang merendahkan harga diri. Masih ingatkah kita dengan sejumlah orang Anshar yang berbaiat kepada Rasulullah untuk tidak meminta apa-apa kepada manusia? Nah,  demikian pula dalam kasus ini.

Oleh karenanya, marilah kita teladani sunah Nabi yang satu ini. Mari kita amalkan setiap hari, niscaya akan banyak faidah yang kita dapatkan. Cukup satu menit yang kita butuhkan setiap malam dan rasakan pengaruhnya!

Ref : http://www.konsultasisyariah.com/dzikir-pelepas-lelah/

Kapan Batas Waktu Sholat ‘Isya ?

Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, حفظه الله تعالى

Sebagian kalangan berpendapat bahwa akhir shalat Isya’ sampai waktu shubuh. Namun perlu diketahui secara seksama bahwa sebenarnya dalam masalah akhir waktu shalat Isya’ terdapat perselisihan di antara ulama. Tentu saja untuk menguatkan pendapat yang ada kita harus melihat dari berbagai dalil, lantas merojihkannya (mencari manakah pendapat yang terkuat). Ini berarti kita pun nantinya tidak hanya sekedar ikut-ikutan apa kata orang. Berikut pembahasan singkat dari kami tentang akhir waktu shalat Isya’.

Perselisihan Ulama

Pendapat pertama: Waktu akhir shalat Isya’ adalah ketika terbit fajar shodiq (masuknya shalat shubuh) tanpa ada perselisihan antara Imam Abu Hanifah dan pengikut ulama dari ulama Hanafiyah. Pendapat ini juga jadi pegangan ulama Syafi’iyah, namun kurang masyhur di kalangan ulama Malikiyah.

Pendapat kedua: Waktu akhir shalat Isya’ adalah sepertiga malam. Inilah pendapat yang masyhur dari kalangan ulama Malikiyah.

Pendapat ketiga: Waktu akhir shalat Isya’ adalah sepertiga malam, ini waktu ikhtiyari (waktu pilihan). Sedangkan waktu akhir shalat Isya’ yang bersifat darurat adalah hingga terbit fajar. Waktu darurat ini misalnya ketika seseorang sakit lantas sembuh ketika waktu darurat, maka ia masih boleh mengerjakan shalat Isya’ di waktu itu. Begitu pula halnya wanita haidh, wanita nifas ketika mereka suci di waktu tersebut. Inilah pendapat ulama Hanabilah.[1]

Pendapat keempat: Waktu akhir shalat Isya’ adalah pertengahan malam. Yang berpendapat demikian adalah Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Ishaq, Abu Tsaur, Ash-habur ro’yi dan Imam Asy Syafi’i dalam pendapatnya yang terdahulu.[2]

(*) Waktu malam dihitung dari shalat Maghrib hingga waktu Shubuh. Sehingga pertengahan malam, jika Maghrib misalnya jam  6 sore dan Shubuh jam 4 pagi, kira-kira jam 11 malam.

Dalil yang Menjadi Pegangan

Dalil yang menjadi pegangan bahwa waktu akhir shalat Isya’ itu sampai terbit fajar shodiq (masuk waktu shubuh) adalah hadits Abu Qotadah,

أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِى النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاَةَ حَتَّى يَجِىءَ وَقْتُ الصَّلاَةِ الأُخْرَى

Orang yang ketiduran tidaklah dikatakan tafrith (meremehkan). Sesungguhnya yang dinamakan meremehkan adalah orang yang tidak mengerjakan shalat sampai datang waktu shalat berikutnya.” (HR. Muslim no. 681)

Dalil lainnya lagi adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

أَعْتَمَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ لَيْلَةٍ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اللَّيْلِ وَحَتَّى نَامَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى فَقَالَ « إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى »

Suatu malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat ‘atamah (isya`) sampai berlalu malam dan penghuni masjid pun ketiduran, setelah itu beliau datang dan shalat. Beliau bersabda, ‘Sungguh ini adalah waktu shalat isya’ yang tepat, sekiranya aku tidak memberatkan umatku’.” (HR. Muslim no. 638)

Hadits di atas menunjukkan bahwa tidak mengapa mengakhirkan shalat Isya’ hingga pertengahan malam. Jika shalatnya dikerjakan pertengahan malam, berarti shalat Isya’ bisa berakhir setelah pertengahan malam. Ini menunjukkan bahwa boleh jadi waktunya sampai terbit fajar shubuh.[3]

Sedangkan dalil bagi ulama yang menyatakan bahwa waktu akhir shalat Isya’ itu sepertiga malam adalah hadits di mana Jibril menjadi imam bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada hari kedua Jibril mengerjakan shalat tersebut pada sepertiga malam. Dalam hadits disebutkan,

وَصَلَّى الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ

Beliau melaksanakan shalat ‘Isya’ hingga sepertiga malam.” (HR. Abu Daud no. 395. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Adapun dalil bahwa waktu akhir shalat Isya adalah pertengahan malam dapat dilihat pada hadits ‘Abdullah bin ‘Amr,

وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الأَوْسَطِ

Waktu shalat Isya’ adalah hingga pertengahan malam.” (HR. Muslim no. 612)

Juga dapat dilihat dalam hadits Anas,

أَخَّرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – صَلاَةَ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Isya’ hingga pertengahan malam.” (HR. Bukhari no. 572)

Pendapat Lebih Kuat

Di antara dalil-dalil yang dikemukakan di atas yang menunjukkan waktu akhir shalat Isya’ adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr, “Waktu shalat Isya’ adalah hingga pertengahan malam.” (HR. Muslim no. 612).

Adapun berdalil dengan hadits Abu Qotadah dengan menyatakan bahwa waktu akhir shalat Isya’ itu sampai waktu fajar shubuh adalah pendalilan yang kurang tepat. Karena dalam hadits itu sendiri tidak diterangkan mengenai waktu shalat. Konteks pembicaraannya tidak menunjukkan hal itu. Hadits tersebut cuma menerangkan dosa akibat seseorang mengakhirkan waktu shalat hingga keluar waktunya dengan sengaja.[4]

Sedangkan hadits ‘Aisyah,

أَعْتَمَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ لَيْلَةٍ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اللَّيْلِ وَحَتَّى نَامَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى فَقَالَ « إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى »

Suatu malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendirikan shalat ‘atamah (isya`) sampai berlalu malam dan penghuni masjid pun ketiduran, setelah itu beliau datang dan shalat. Beliau bersabda, ‘Sungguh ini adalah waktu shalat isya’ yang tepat, sekiranya aku tidak memberatkan umatku’.” (HR. Muslim no. 638). Hadits ini bukanlah maksudnya, “Sampai sebagaian besar malam berlalu”, namun maksudnya adalah “sampai berlalu malam”. Bisa bermakna demikian karena kita melihat pada konteks hadits selanjutnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan selanjutnya, “Sungguh ini adalah waktu shalat isya’ yang tepat”. Dan tidak pernah seorang ulama yang mengatakan bahwa waktu afdhol untuk shalat Isya’ adalah setelah lewat pertengahan malam.

Masih tersisa satu hadits, yaitu hadits Anas,

أَخَّرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – صَلاَةَ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ ، ثُمَّ صَلَّى

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Isya’ hingga pertengahan malam, kemudian beliau shalat.” (HR. Bukhari no. 572). Hadits tersebut dapat dipahami dengan kita katakan bahwa waktu akhir shalat Isya’ adalah pertengahan malam, artinya pertengahan malam shalat Isya’ itu berkahir. Sedangkan kalimat “kemudian beliau shalat” hanya tambahan dari perowi. Jika memang bukan tambahan perowi, maka benarlah pendapat tersebut, yaitu bahwa boleh jadi shalat Isya dilaksanakan setelah pertengahan malam.[5]

Dengan mempertimbangkan pemahaman dari hadits Anas di atas, artinya  hadits tersebut masih bisa dipahami bahwa setelah pertengahan malam masih dilaksanakan shalat Isya’, maka kesimpulan yang terbaik adalah sebagaimana yang diutarakan oleh Ibnu Qudamah. Beliau rahimahullah mengatakan,

وَالْأَوْلَى إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى أَنْ لَا يُؤَخِّرَهَا عَنْ ثُلُثِ اللَّيْلِ ، وَإِنْ أَخَّرَهَا إلَى نِصْفِ اللَّيْلِ جَازَ ، وَمَا بَعْدَ النِّصْفِ وَقْتُ ضَرُورَةٍ ، الْحُكْمُ فِيهِ حُكْمُ وَقْتِ الضَّرُورَةِ فِي صَلَاةِ الْعَصْرِ

“Yang utama, insya Allah Ta’ala, waktu shalat Isya’ tidak diakhirkan dari sepertiga malam. Jika diakhirkan sampai pertengahan malam, itu boleh. Namun jika diakhirkan lebih dari pertengahan malam, maka itu adalah waktu dhoruroh (waktu darurat). Yang dimaksudkan dengan waktu dhoruroh adalah sebagaimana waktu dhoruroh dalam shalat ‘Ashar.”[6]

(*) Ada dua macam waktu shalat yang perlu diketahui:

Pertama, waktu ikhtiyari, yaitu waktu di mana tidak boleh dilewati kecuali bagi orang yang ada udzur. Artinya, selama tidak ada udzur (halangan), shalat tetap dilakukan sebelum waktu ikhtiyari.[7]

Kedua, waktu dhoruroh, yaitu waktu di mana masih boleh melakukan ibadah bagi orang yang ada udzur, seperti wanita yang baru suci dari haidh, orang kafir yang baru masuk Islam, seseorang yang baru baligh, orang gila yang kembali sadar, orang yang bangun karena ketiduran dan orang sakit yang baru sembuh. Orang-orang yang ada udzur boleh melakukan shalat meskipun pada waktu dhoruroh.[8]

Demikian sajian ringkas mengenai waktu akhir shalat Isya’. Inilah sajian yang dapat kami sampaikan sesuai dengan keterbatasan ilmu kami.

Semoga bermanfaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

ref : http://rumaysho.com/shalat/waktu-akhir-shalat-isya-1289.html

 



[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, Asy Syamilah, 2/2561, index “awqotush sholah”, point 13.

[2] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, Al Maktabah At Taufiqiyah, 1/245-246.

[3] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/246.

[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/246-247.

[5] Lihat Shahih Fiqh Sunnha, 2/247.

[6] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Dar ‘Alam Al Kutub, Riyadh, 2/28-29.

[7] Lihat Al Mughni, 2/16.

[8] Lihat Al Mughni, 2/17.

 

Makna Silaturrahim

Silaturrahim adalah usaha untuk menyambung atau menguatkan hubungan KEKERABATAN..

Al-Hafizh Ibnu Hajar -rohimahulloh- mengatakan:

“RAHIM digunakan untuk menyebut para kerabat, yaitu orang yang antara dia dan orang lain memiliki hubungan nasab, baik orang tersebut mewarisinya atau tidak, baik orang tersebut masih termasuk mahromnya atau tidak.

Memang ada yang mengatakan bahwa RAHIM itu khusus untuk mahrom saja, namun pendapat yang pertama lebih kuat, karena pendapat kedua ini melazimkan anak-anaknya paman dari garis bapak dan anak-anaknya paman dari garis ibu keluar dari lingkup dzawil arham (orang yang masih ada hubungan rahim), padahal kenyatannya tidak demikian..”   [Fathul Bari 10/414].

——–

Jadi, fadhilah atau keutamaan bersilaturrahim yang dijelaskan oleh Alqur’an dan Assunnah hanya berlaku pada usaha menyambung dan menguatkan hubungan kekerabatan saja, bukan orang lain yang tidak ada hubungan kekerabatannya, wallohu a’lam.

Tapi bukan berarti menyambung dan menguatkan hubungan antara sesama muslim lainnya tidak dianjurkan.. tetap saja dianjurkan hanya saja keutamaannya lain lagi, wallohu a’lam.

Allah ta’ala berfirman yang artinya: “Sesungguhnya seluruh kaum mukminin adalah bersaudara..” [QS. Al-Hujurat: 10].

Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- juga bersabda:

“Seorang mukmin dengan mukmin lainnya itu ibarat sebuah bangunan yang saling menguatkan satu dengan yang lainnya”, dan beliau pun mencengkramkan antara jari jemarinya..” [Muttafaqun Alaih, Bukhori: 481, Muslim: 2585].

Ditulis oleh,
Ustadz Musyaffa’ Ad Dariny MA,  حفظه الله تعالى

ARTIKEL TERKAIT
Mutiara Salaf – KOMPILASI ARTIKEL

Apakah Do’a Bisa Merubah Ketentuan ?….

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin  رحمه الله

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin ditanya : “Apakah do’a berpengaruh merubah apa yang telah tertulis untuk manusia sebelum kejadian?”

Jawaban.
Tidak diragukan lagi bahwa do’a berpengaruh dalam merubah apa yang telah tertulis. Akan tetapi perubahan itupun sudah digariskan melalui do’a.

Janganlah anda menyangka bila anda berdo’a, berarti meminta sesuatu yang belum tertulis, bahkan do’a anda telah tertulis dan apa yang terjadi karenanya juga tertulis. Oleh karena itu, kita menemukan seseorang yang mendo’akan orang sakit, kemudian sembuh, juga kisah kelompok sahabat yang diutus nabi singgah bertamu kepada suatu kaum. Akan tetapi kaum tersebut tidak mau menjamu mereka. Kemudian Allah mentakdirkan seekor ular menggigit tuan mereka. Lalu mereka mencari orang yang bisa membaca do’a kepadanya (supaya sembuh). Kemudian para sahabat mengajukan persyaratan upah tertentu untuk hal tersebut. Kemudian mereka (kaum) memberikan sepotong kambing. Maka berangkatlah seorang dari sahabat untuk membacakan Al-Fatihah untuknya. Maka hilanglah racun tersebut seperti onta terlepas dari teralinya. Maka bacaan do’a tersebut berpengaruh menyembuhkan orang yang sakit.

Dengan demikian, do’a mempunyai pengaruh, namun tidak merubah Qadar. Akan tetapi kesembuhan tersebut telah tertulis dengan lantaran do’a yang juga telah tertulis. Segala sesuatu terjadi karena Qadar Allah, begitu juga segala sebab mempunyai pengaruh terhadap musabab-nya dengan izin Allah. Maka semua sebab telah tertulis dan semua musabab juga telah tertulis.

Ref : http://almanhaj.or.id/content/298/slash/0/apakah-doa-bisa-merubah-ketentuan/

Masalah Klasik : Bolehkah Puasa Syawal Sebelum Bayar Puasa Ramadhan ?..

Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, حفظه الله تعالى

Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa mendahulukan qodho’ puasa, setelah itu ia melakukan puasa enam hari Syawal setelah ia menunaikan qodho’, maka itu lebih baik. Dalam kondisi seperti ini berarti ia telah melakukan puasa Ramadhan dengan sempurna, lalu ia lakukan puasa enam hari Syawal. Jika ia malah mendahulukan puasa Syawal dari qodho’ puasa, ia tidak memperoleh keutamaan puasa Syawal. Karena keutamaan puasa enam hari Syawal diperoleh jika puasa Ramadhannya dilakukan sempurna.

Jadi jika ia mendahulukan puasa enam hari di bulan Syawal dari qodho’ puasa, maka puasanya tetap sah. Hanya saja pahala puasa setahun penuh yang tidak ia peroleh karena puasa Ramadhannya belum sempurna. Jadi lebih baik dahulukan qodho’ puasa daripada puasa sunnah enam hari di bulan Syawal.
Bagaimana kasus pada wanita muslimah yang sudah barang tentu mengalami haidh setiap bulannya padahal masih punya utang puasa? Bisa jadi mereka hanya sempat melakukan puasa Syawal tiga atau empat hari karena sebelumnya harus menjalankan qodho’ puasa.

Ada penjelasan yang amat bagus dari Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, beliaumenjelaskan, “Tidak disyari’atkan mengqodho’ puasa Syawal setelah Syawal baik meninggalkannya karena udzur maupun tidak. Karena puasa Syawal hanyalah puasa sunnah yang sudha terluput. Kami katakan bagi yang sudah melakukan puasa Syawal selama empat hari dan belum sempurna enam hari karena ada alasan syar’i, ‘Ketahuilah bahwa puasa Syawal adalah ibadah yang sunnah, tidak wajib. Engkau akan mendapati pahala puasa syawal empat hari yang telah engkau kerjakan. Dan diharapkan engkau akan memperoleh pahala yang sempurna jika engkau meninggalkan puasa Syawal tadi karena ada alasan yang dibenarkan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ العَبْدُ أَوْ سَافَرَ كَتَبَ اللهُ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْماً صَحِيْحاً

Jika seseorang sakit atau bersafar, maka akan dicatat baginya pahala seperti saat ia mukim (tidak bepergian) dan sehat.” (HR. Bukhari dalam kitab shahihnya)Jadi, engkau tidak memiliki kewajiban qodho’ sama sekali (setelah Syawal).” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/389,395)

Dari penjelasan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berarti seorang wanita yang masih punya utang puasa tidak perlu khawatir jika ia luput dari puasa Syawal. Jika memang ia luput karena ada udzur, maka lakukanlah semampunya walaupun sehari atau dua hari. Jika kondisinya memang karena ada udzur untuk menunaikan qodho’ puasa, moga-moga ia dicatat pahala yang sempurna karena puasa Syawal yang luput dari dirinya.

wallahu a’lam bishowaab

ref: http://rumaysho.com/puasa/bolehkah-mendahulukan-puasa-sunnah-dari-qodho-puasa-1249.html

Menebar Cahaya Sunnah