KESUKSESAN Bukan Ditentukan Oleh KECERDASAN…

Seorang ulama’ mengatakan:

Jika “kebesaran” seseorang ditentukan oleh KECERDASAN, tentunya kita akan memilki banyak orang besar… Namun ternyata ‘kebesaran’ itu ditentukan oleh kedisiplinan diri dan kekuatan dia dalam mengendalikan diri untuk tidak mengikuti hawa nafsunya… itulah yang menghasilkan kesuksesan yang luar biasa.

———-

Dan tidak ada bukti yang lebih kuat dari kenyataan yang ada dalam kehidupan nyata dan bisa kita saksikan di sekitar kita… wallohu a’lam.

Musyaffa Ad Dariny, حفظه الله تعالى

Fawaid Umdatul Ahkaam : Hadits ke 8…

Hadits ke 8

عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى المَازِنِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَجُلًا، قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ، وَهُوَ جَدُّ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى أَتَسْتَطِيعُ أَنْ تُرِيَنِي، كَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ: نَعَمْ، فَدَعَا بِمَاءٍ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَ مَرَّتَيْنِ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلاَثًا، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا، ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ إِلَى المِرْفَقَيْنِ، ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى المَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ

Dari Amru bin Yahya al-Maaziini dari bapaknya bahwa seorang berkata kepada Abdullah bin Zaid dan beliau adalah kakek Amru bin Yahya : Apakah Engkau bisa mencontohkan bagaimana dahulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu? Maka Abdullah bin Zaid berkata: Ya, lalu minta air dan menuangkan ke kedua tangannya lalu mencucinya dua kali, kemudian berkumur-kumur dan menghirup air kehidung tiga kali kemudian mencuci wajah tiga kali kemudian mencuci kedua tangannya dua kali dua kali sampai siku kemudian mengusap kepalanya dengan kedua tangannya lalu memajukan dan memundurkan keduanya. Memulai dengan bagian depan kepalanya hingga membawa keduanya ke tengkuk kemudian mengembalikan keduanya ke tempat mulainya kemudian mencuci kedua kakinya.
(HR Bukhari no 185)

Fawaid hadits:

1. Hadits ini menunjukkan kewajiban mengusap kepala secara menyeluruh dan ini pendapat Imam Maalik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad. Pendapat ini dirojihkan Syeikul Islam ibnu Taimiyah dan Ibnu Katsir.

2. Menunjukkan tata cara mengusap kepala dengan cara memulai dengan bagian depan kepala lalu membawa kedua telapak tangan ke tengkuk yang ada di atas leher kemudian mengembalikan keduanya hingga sampai ke tempat dimulainya mengusap kepala yaitu di bagian depan kepala. Seperti dijelaskan dalam pernyataan :

بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ، حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إلَى قَفَاهُ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إلَى المَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ.

3. Hikmah dari mengusap kepala dengan tata cara ini adalah meratakan dua sisi kepala dengan usapan; karena rambut dari sisi wajah mengarah ke wajah dan dari sisi belakang mengarah ke tengkuk. Apabila memulai dari bagian depan kepala maka akan mengenai rambut ke belakang sehingga air akan menyentuh pokok rambut, apabila sampai ke atas puncak kepala maka rambut balik ke depan lagi dan air menyentuh bagian luar rambut. Apabila kembali maka akan terjadi sebaliknya. Ini bukan termasuk pengulangan usapan. Hanya maksudnya usapan tersebut akan menyentuh bagian luar dan dalam rambut sehingga itu hanya satu usapan bukan dua kali usapan; karena kesempurnaan sekali usap tidak terjadi pada seluruh rambut kecuali dengan maju dan mundur tersebut. Karena pada pengembalian tersebut akan mengusap yang belum terusap pada awalnya. Tata cara ini bukanlah wajib dan sah mengusap dengan cara apapun namun menjaga sesuai sunnah lebih utama.

4. Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa tata cara ini disunnahkan bagi orang yang memiliki rambut panjang adapun yang tidak memiliki rambut atau rambutnya dicukur gundul dan sedikit rambutnya maka tidak disunnahkan untuk mengembalikan tangan ke depan lagi; karena tidak ada faedahnya.
Pendapat beliau ini tidak tepat. Memang dari sisi sahnya maka sudah jelas, tapi dari sisi mengikuti sunnahnya maka pastilah maju dan mundur tersebut sunnah hukumnya.

5. Wanita dan pria sama dalam tata cara ini. Karena pada asalnya dalam hukum syariat semua yang berlaku pada pria juga berlaku pada wanita dan juga sebaliknya kecuali ada dalil yang mengkhususkannya. Oleh karena itu Imam al-Bukhori menyampaikan secara mu’allaq dari Said bin al-Musayyib pernyataan beliau:

(الْمَرْأَةُ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ تَمْسَحُ عَلَى رَأْسِهَا)

Wanita seperti lelaki mengusap kepalanya. (lihat Fathulbari 1/290).

Badru Salam, حفظه الله تعالى

Fawaid Umdatul Ahkaam : Hadits Ke-7…

Awas! Ulama’ Gadungan Di Medsos…

Di medsos, atau internet banyak sekali orang-orang yang sekilas bagaikan seorang jagoan, bahkan paling jagoan. Tanpa terkecuali dalam urusan ilmu dan dakwah, semua urusan dia komentari, dia tanggapi dan dia bahas, dan tentunya modalnya hanya “katanya” atau “menurutku”.

Namun giliran komputernya dimatikan atau koneksinya putus, nampaklah aslinya, blegak bleguk, bahkan baca Al Fatihah saja susah payah.

Waspada dan rajin rajinlah bercermin, agar anda tidak terperangkap dalam perseteruan dengan ulama’ gadungan yang banyak betebaran di medsos, dan juga tidak jadi ulama’ gadungan di medsos.

Sobat! Tahukah saudara bahwa salah satu karakter orang yang beriman ialah selalu waspada agar tidak terpleset dalam perdebatan dengan ulama’ gadungan semisal yang banyak ditemukan di medsos. Mereka sadar bahwa ilmu bukan modal untuk berdebat dengan orang-orang bodoh, namun untuk mengajari orang-orang bodoh. Sehingga bila orang bodoh diajari malah mendebat, maka para ulama’ akan menyingkir.

( من طلب العلم ليماري به السفهاء أو ليباهي به العلماء أو ليصرف وجوه الناس إليه فهو في النار )

Siapapun yang menuntut ilmu untuk berdebat dengan orang-orang bodoh, atau berbangga bangga di hadapan ulama’ atau untuk memalingkan perhatian orang lain kepadanya, maka kelak ia berada di neraka. (At Tirmizy, Ibnu Majah dll)

Para ulama’ berilmu bukan untuk diobral kepada orang orang yang tidak menghargainya, namun untuk dihadiahkan kepada orang yang menghargainya.

Para ulama’ sadar bahwa berdebat melawan orang-orang bodoh sedikit manfaatnya, banyak madharatnya dan hanya akan menyemai permusuhan di antara mereka, bahkan bentuk dari kebodohan. Karenanya, Setiap kali anda merasa geram untuk berdebat di medsos, ingat kembali sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِى رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا

Aku memberi jaminan berupa rumah di pinggiran surga, bagi orang-orang yang menjauhi perdebatan kusir walaupun ia berada pada pihak yang benar. (Abu Dawud dan lainnya)

Belum lagi, bila perdebatan ternyata tanpa anda sadari telah menjadi ajang unjuk gigi, alias mringis, atau media nyinyir alias menghina dan mengolok-olok orang lain, bukan lagi untuk menegakkan kebenaran dan mengingkari kemungkaran. Pada perbedatan yang baik, yang ada hanya dalil dan bukti, sedangkan pada perolok-olokan dipenuhi oleh ejekan, hinaan dan cemoohan, hiiih, menjijikkan.

Muhammad Arifin Badri,  حفظه الله تعالى

Paradigma Yang Harus Diluruskan

Anda menang debat, belum tentu Anda yang benar.. karena bisa jadi menangnya Anda, karena lawan debat yang lemah ilmu atau lemah dalam retorika.

Ketika Anda punya dalil sangat kuat dan lawan kalah telak, bukan berarti dia akan mengikuti Anda.. karena hidayah hanya di Tangan Allah.

Saat Anda berhasil menundukkan hati mayoritas masyarakat kecil, belum tentu dakwah Anda akan aman dan lancar setelah.. karena satu penguasa bisa saja menghalangi atau mengusir Anda.

Oleh karena itu, banyaklah berdoa memohon kepada Allah, semoga dakwah tauhid dan sunnah yang Anda bawa dijaga, dimudahkan, dan diberkahi Allah ta’ala.. amin.

Ditulis oleh,
Ustadz DR. Musyaffa’ Ad Dariny, حفظه الله تعالى

Apa Hukumnya Wanita Melihat Wajah Pria Melalui Televisi atau Melihat Secara Langsung..?

Pertanyaan di atas pernah diajukan kepada Syeikh Utsaimin -rohimahulloh-, dan beliau menjawab:

“Pandangan wanita kepada pria, tidak keluar dari dua keadaan, baik melalui layar televisi atau dengan cara lainnya.

1. Pandangan yang disertai dengan syahwat, maka ini diharamkan, karena adanya mafsadah dan fitnah di dalamnya.

2. Pandangan saja, tanpa ada syahwat dan tidak menikmati pandangan itu, maka hal ini tidak mengapa menurut pendapat yang sahih dari banyak pendapat ulama dalam masalah ini.

Pandangan seperti itu dibolehkan, karena adanya hadits yang valid dalam kitab shahihain, bahwa A’isyah -rodhiallohu anha- dahulu pernah melihat sekelompok lelaki habasyah saat mereka sedang bermain, ketika itu Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam menutupinya (*) dari mereka, dan beliau menyetujui tindakannya itu.

Dan karena para wanita biasa berjalan di pasar-pasar dan mereka biasanya melihat para lelaki meskipun para wanita itu bercadar.

Jadi, wanita itu boleh melihat pria, meskipun pria tidak boleh melihat wanita, dengan syarat tidak ada syahwat dan tidak ada fitnah.

Jika disertai adanya syahwat dan fitnah, maka pandangan itu menjadi haram, baik melalui televisi atau dengan cara lainnya.”

[Fatawa Mar’ah Muslimah 2/973]

Musyaffa’ Ad Dariny,  حفظه الله تعالى

(*) Mungkin maksud syeikh, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menutupi A’isyah agar tidak dilihat oleh para sahabat tapi A’isyah tetap bisa melihat mereka. (Musyaffa’ Ad Dariny,  حفظه الله تعالى)

Menebar Cahaya Sunnah