Category Archives: Umdatul Ahkaam

Fawaid Umdatul Ahkaam : Hadits ke 9…

Hadits ke 9

عن عائشة قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعجبه التيمن في تنعله وترجله وطهوره وفي شأنه كله

Dari Aisyah radliyallahu anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyukai mendahulukan kanan saat memakai sendal, menyisir, bersuci dan pada semua urusannya (yang baik).
HR Bukhari dan Muslim.

Fawaid hadits:
1. Menggunakan kanan dalam perkara perkara yang baik itu afdlol secara syariat, akal dan kedokteran.
imam An Nawawi rahimahullah berkata, “Kaidah syariat yang tetap adalah disukai memulai yang kanan dalam perkara perkara yang mulia. Adapun kebalikannya maka dengan memakai yang kiri.” (Syarah shahih Muslim (3/160)

2. Sunnahnya mendahulukan anggota yang kanan ketika berwudlu.
imam An Nawawi rahimahullah berkata, “Telah ijma ulama bahwa mendahulukan yang kanan dari yang kiri ketika mencuci dua tangan dan dua kaki ketika berwudlu adalah sunnah. Siapa yang terluput maka ia terluput dari keutamaan dan wudlunya sah.” (Syarah Shahih Muslim 3/160).

3. Islam memberikan bimbingan kepada perkara yang paling baik untuk kebaikan manusia. Dan mencegah mereka dari hal hal yang membahayakan.

Badru Salam, حفظه الله تعالى

Fawaid Umdatul Ahkaam : Hadits ke 8…

Fawaid Umdatul Ahkaam – Daftar Isi Lengkap

Fawaid Umdatul Ahkaam : Hadits ke 8…

Hadits ke 8

عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى المَازِنِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَجُلًا، قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ، وَهُوَ جَدُّ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى أَتَسْتَطِيعُ أَنْ تُرِيَنِي، كَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ: نَعَمْ، فَدَعَا بِمَاءٍ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَ مَرَّتَيْنِ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلاَثًا، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا، ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ إِلَى المِرْفَقَيْنِ، ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى المَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ

Dari Amru bin Yahya al-Maaziini dari bapaknya bahwa seorang berkata kepada Abdullah bin Zaid dan beliau adalah kakek Amru bin Yahya : Apakah Engkau bisa mencontohkan bagaimana dahulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu? Maka Abdullah bin Zaid berkata: Ya, lalu minta air dan menuangkan ke kedua tangannya lalu mencucinya dua kali, kemudian berkumur-kumur dan menghirup air kehidung tiga kali kemudian mencuci wajah tiga kali kemudian mencuci kedua tangannya dua kali dua kali sampai siku kemudian mengusap kepalanya dengan kedua tangannya lalu memajukan dan memundurkan keduanya. Memulai dengan bagian depan kepalanya hingga membawa keduanya ke tengkuk kemudian mengembalikan keduanya ke tempat mulainya kemudian mencuci kedua kakinya.
(HR Bukhari no 185)

Fawaid hadits:

1. Hadits ini menunjukkan kewajiban mengusap kepala secara menyeluruh dan ini pendapat Imam Maalik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad. Pendapat ini dirojihkan Syeikul Islam ibnu Taimiyah dan Ibnu Katsir.

2. Menunjukkan tata cara mengusap kepala dengan cara memulai dengan bagian depan kepala lalu membawa kedua telapak tangan ke tengkuk yang ada di atas leher kemudian mengembalikan keduanya hingga sampai ke tempat dimulainya mengusap kepala yaitu di bagian depan kepala. Seperti dijelaskan dalam pernyataan :

بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ، حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إلَى قَفَاهُ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إلَى المَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ.

3. Hikmah dari mengusap kepala dengan tata cara ini adalah meratakan dua sisi kepala dengan usapan; karena rambut dari sisi wajah mengarah ke wajah dan dari sisi belakang mengarah ke tengkuk. Apabila memulai dari bagian depan kepala maka akan mengenai rambut ke belakang sehingga air akan menyentuh pokok rambut, apabila sampai ke atas puncak kepala maka rambut balik ke depan lagi dan air menyentuh bagian luar rambut. Apabila kembali maka akan terjadi sebaliknya. Ini bukan termasuk pengulangan usapan. Hanya maksudnya usapan tersebut akan menyentuh bagian luar dan dalam rambut sehingga itu hanya satu usapan bukan dua kali usapan; karena kesempurnaan sekali usap tidak terjadi pada seluruh rambut kecuali dengan maju dan mundur tersebut. Karena pada pengembalian tersebut akan mengusap yang belum terusap pada awalnya. Tata cara ini bukanlah wajib dan sah mengusap dengan cara apapun namun menjaga sesuai sunnah lebih utama.

4. Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa tata cara ini disunnahkan bagi orang yang memiliki rambut panjang adapun yang tidak memiliki rambut atau rambutnya dicukur gundul dan sedikit rambutnya maka tidak disunnahkan untuk mengembalikan tangan ke depan lagi; karena tidak ada faedahnya.
Pendapat beliau ini tidak tepat. Memang dari sisi sahnya maka sudah jelas, tapi dari sisi mengikuti sunnahnya maka pastilah maju dan mundur tersebut sunnah hukumnya.

5. Wanita dan pria sama dalam tata cara ini. Karena pada asalnya dalam hukum syariat semua yang berlaku pada pria juga berlaku pada wanita dan juga sebaliknya kecuali ada dalil yang mengkhususkannya. Oleh karena itu Imam al-Bukhori menyampaikan secara mu’allaq dari Said bin al-Musayyib pernyataan beliau:

(الْمَرْأَةُ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ تَمْسَحُ عَلَى رَأْسِهَا)

Wanita seperti lelaki mengusap kepalanya. (lihat Fathulbari 1/290).

Badru Salam, حفظه الله تعالى

Fawaid Umdatul Ahkaam : Hadits Ke-7…

Fawaid Umdatul Ahkaam : Hadits Ke-7…

Hadits ke-7

عن حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رضي اللهُ عنهما : أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ , فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إنَائِهِ , فَغَسَلَهُمَا ثَلاثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِي الْوَضُوءِ , ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاثاً , وَيَدَيْهِ إلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاثًا , ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ , ثُمَّ غَسَلَ كِلْتَا رِجْلَيْهِ ثَلاثًا , ثُمَّ قَالَ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ، وَقَالَ : مَنْ تَوَضّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا , ثُم صَلَّى رَكْعَتَيْنِ , لا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبه

“Dari Humran maula (bekas budak) Utsman bin Affan ra. Bahwasanya Utsman meminta diambilkan air wudhu kemudian dia menuangkan air dari bejana ke atas kedua telapak tangannya lalu membasuh keduanya tiga kali. Kemudian dia memasukkan tangan kanannya ke air wudlu lalu berkumur-kumur dan beristinsaq (menghirup air ke hidung) serta ber-istintsar (mengeluarkan air yang dihirup ke hidung). Kemudian dia membasuh wajahnya tiga kali. Kemudian dia membasuh kedua tangannya hingga siku tiga kali. Kemudian dia mengusap kepalanya. Kemudian dia membasuh kedua kakinya hingga mata kaki tiga kali. Kemudian Utsman berkata: Aku melihat Rasulullah saw dulu berwudhu seperti wudluku tadi. Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini kemudian sholat dua raka’at dalam keadaan tidak terlintas pikiran apapun (dalam urusan keduniaan) di dalam benaknya; niscaya dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.”
(HR Bukhari no 164 dan Muslim no 226)

Fawaid hadits:
1. Disunnahkan mencuci dua tangan tiga kali sebelum berwudlu di luar bejana.

2. Disunnahkan menggunakan tangan kanan ketika mengambil air wudlu untuk mencuci anggota wudlu.

3. Air musta’mal adalah suci dan mensucikan. karena Utsman memasukkan tangannya ke dalam bejana untuk mengambil air wudlu.

4. Disyari’atkan berkumur kumur, istinsyaq dan istintsar. Pendapat yang kuat adalah hukumnya wajib karena adanya perintah dari Nabi shallallahu alaihi wasallam.

5. Disunnahkan mencuci anggota wudlu tiga kali kecuali kepala maka cukup sekali atas pendapat yang kuat.

6. Tidak disunnahkan mencuci tangan melebihi siku siku dan kaki melebihi mata kaki karena ayat hanya menyebutkan hanya sampai itu, demikian juga kebanyakan shahabat yang mengceritakan wudlu Nabi.

8. Wajib tertib ketika mencuci anggota wudlu.

9. Disunnahkan sholat setelah wudlu dengan penuh kekhusyuan.

10. Kewajiban berwudlu mengikuti tata cara wudlu Nabi shallallahu alaihi wasallam.

11. Pahala yang disebutkan dalam hadits tersebut bagi yang berwudlu dan sholat setelahnya dua rokaat.

Badru Salam, حفظه الله تعالى

Fawaid Umdatul Ahkam : Hadits Ke 6

Fawaid Umdatul Ahkaam : Hadits Ke 6

Hadits ke-6:

عن أبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عنهُ أنَّ رَسُولَ للهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم قالَ: ((إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا)).
ولِمسلمٍ ((أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ)).

“Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Apabila anjing minum dari bejana salah seorang darimu maka hendaklah ia mencucinya tujuh kali. Dalam riwayat Muslim: yang pertama dengan tanah.”

ولهُ في حديثِ عبدِ اللهِ بنِ مُغَفَّلٍ، أنَّ رَسُولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم قالَ: ((إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ في الإِنَاءِ فَاغْسِلُوهُ سَبْعًا، وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَةَ بِالتُّرَابِ)).

Dan Muslim juga meriwayatkan dari hadits Abdullah bin Mughoffal: “Apabila anjing menjilat air di bejana salah seorang darimu maka cucilah tujuh kali dan kedelapan campur dengan tanah.”

Fawaid hadits:
1. Beratnya najis anjing. Oleh karena itu ia najis walaupun tidak tampak bekasnya. Ini adalah pendapat jumhur.

2. Wajibnya mencuci bejana yang airnya dijilat anjing. Dan yang utama dengan tanah pada cucian yang pertama karena itulah riwayat yang paling kuat. Juga jika menggunakan tanah dikali yg kedelapan akan mengharuskan mencucinya kesembilan kali atau lebih.

3. Imam syafii berpendapat bahwa anjing itu najis. Sebab bila air liurnya najis maka kotorannya pun najis.

4. Hadits ini umum untuk seluruh anjing. Sebagian ulama berkata: dikecualikan darinya anjing yang boleh dipelihara untuk berburu atau keperluan. Karena bila wajib dicuci akan mendatangkan kesulitan.

5. Keagungan syariat islam. Dimana di zaman ini para ilmuwan menemukan mikroba dalam air liur anjing yang tidak dapat dibersih oleh air saja. Tapi harus dengan tanah. Ini menunjukkan mukjizat yang agung akan kebenaran syariat Allah dan bahwa Nabi tidak berbicara dari hawa nafsunya.

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Fawaid Umdatul Ahkaam : Hadits ke 5

Fawaid Umdatul Ahkaam : Hadits ke 5

Hadits ke 5

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِى الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِى لاَ يَجْرِى ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ

“Janganlah salah seorang dari kalian kencing di air yang diam yaitu air yang tidak mengalir kemudian ia mandi di dalamnya.”

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

لاَ يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِى الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ

“Jangan salah seorang dari kalian mandi di air yang tergenang dalam keadaan junub” (HR. Muslim no. 283).

Fawaid hadits:
1. Larangan buang air kecil di air yang tidak mengalir baik air itu sedikit maupun banyak, karena hadits melarang secara mutlak dan tidak membedakan.
Tapi dikecualikan air yang amat banyak seperti air danau atau laut karena najis tersebut tidak berpengaruh.

2. Larangan tersebut bersifat haram atas pendapat yang rojih. Karena illatnya adalah mengganggu dan menghalangi orang lain untuk memanfaatkan air tersebut.

3. Buang air besar lebih dilarang lagi karena ia lebih berat dari air kencing.

4. Bila air yang tergenang tersebut berubah bau, atau rasa atau warnanya maka ia menjadi najis berdasarkan kesepakatan ulama.
Bila tidak berubah dan airnya melebihi dua qullah maka tidak najis berdasarkan ijma ulama juga.
Dan bila kurang dari dua qullah maka atas pendapat yang paling kuat tidak najis, karena air tersebut tidak membawa najis.

5. Larangan mandi di air yang diam terutama orang yang junub dengan cara menceburkan diri padanya. Atau menciduk darinya namun air tersebut kembali lagi ketempatnya. Semua ini dilarang. Adapun jika ia menciduk dan tidak kembali lagi ke tempat tapi mengalir ke selokan tidak apapa.

6. Larangan tersebut berlaku untuk air yang tidak mengalir. Adapun jika mengalir maka mafhum hadits teesebut menunjukkan boleh.

7. Larangan dari segala sesuatu yang mengganggu orang lain.

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Fawaid Umdatul Ahkaam : Hadits ke 4

Fawaid Umdatul Ahkaam : Hadits ke 4

Hadits ke 4

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إذا توضأ أحدكم فليجعل في أنفه ماء ، ثم لينـتـثر ، ومن استجمر فليوتر ، وإذا استيقظ أحدكم من نومه فليغسل يده قبل أن يدخلها في الإناء ثلاثا ، فإن أحدكم لا يدري أين باتت يده .
وفي لفظ لمسلم : فليستنشق بمنخريه من الماء .
وفي لفظ : من توضأ فليستنشق .

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Apabila seseorang dari kamu berwudlu maka hendaklah ia menarik air kehidungnya kemudian keluarkan (istintsar). Siapa yang cebok dengan batu hendaklah berjumlah ganjil. Dan siapa diantara kamu bangun dari tidurnya hendaklah ia mencuci tangannya tiga kali sebelum memasukkannya ke bejana, karena kamu tidak mengetahui dimana tangannya bermalam.
Dalam riwayat Muslim: Hendaklah ia menarik air ke lubang hidungnya.

Dalam suatu lafadz: Siapa yang berwudlu hendaklah beristinsyaq.

Fawaid hadits:
1. Wajibnya istinsyaq (menghirup air ke hidung) dan istintsar (mengeluarkan air dari hidung)

2. Hidung adalah bagian wajah yang disebutkan dalam ayat wudlu yang wajib dicuci.

3. Bagi orang yang cebok dengan batu hendaklah berjumlah ganjil. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa paling sedikit adalah 3 batu.

4. Disyariatkan mencuci tangan ketika bangun dari tidur malam tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam bejana.

5. Larangan memasukkan tangan ke bejana sebelum mencucinya dari bangun malam.

6. Tidur membatalkan wudlu. Maka siapa yang tidur maka ia wajib berwudlu ketika hendak sholat.

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Fawaid Umdatul Ahkaam : Hadits ke 3

Fawaid Umdatul Ahkaam : Hadits ke 3

Hadits ke 3

Dari Abdullah bin Amru, Abu Hurairah dan Aisyah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

ويل للأعقاب من النار

Celaka tumit tumit dari api Neraka. (HR Bukhari no 60 dan Muslim no 241)

Fawaid hadits:
1. Wajibnya memperhatikan anggota wudlu. Dalam hadits ini walaupun hanya disebutkan kaki tetapi anggota lainnya diqiyaskan kepadanya.

2. Ancaman berat bagi orang yang meremehkannya.

3. Wajibnya mencuci dua kaki dan tidak hanya mengusapnya saja sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Syiah. Kecuali bila menggunakan dua khuff. Maka boleh mengusapnya.

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Fawaid Umdatul Ahkaam : Hadits ke 2

Fawaid Umdatul Ahkaam : Hadits ke 2

Hadits ke 2:

عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Allah tidak akan menerima sholat salah seorang darimu apabila berhadats sampai berwudlu.” HR Bukhari

Fawaid hadits:
1. Sholat orang yang berhadats tidak akan diterima sampai ia bersuci dari hadats baik hadats besar maupun hadats kecil.

2. Yang dimaksud tidak diterima disini artinya tidak sah.

3. Bersuci adalah syarat sah sholat. Maka sholat batal dengan adanya hadats.

4. Mafhum hadits ini menunjukkan bahwa selama ia berada di atas kesucian dan belum berhadats maka boleh melakukan bberapa sholat fardlu walaupun yang paling utama adalah berwudlu disetiap kali hendak sholat fardlu.

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Fawaid Umdatul Ahkaam : Hadits Pertama

Fawaid Umdatul Ahkaam : Hadits Pertama

Fawaid Umdatul Ahkaam (kitab Taisirul Allam)

Hadits pertama

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم يَقُوْلُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ . [رواه البخاري ومسلم]

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasar apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (HR. al-Bukhari-Muslim)

Fawaid Hadits:
1. Poros amal adala niat. Karena sah atau rusaknya niat, sempurna atau tidaknya, taat atau maksiat terletak pada niat. Orang yang riya misalnya, akan mendapatkan dosa dan amalnya tidak diterima.

2. Niat adalah salah satu dari dua syarat diterimanya amal. Tetapi tidak boleh ghuluw (berlebihan) dalam menghadirkan niat. Sebatas ada keinginan untuk beramal sudah dianggap sebagai niat. Tidak perlu melafadzkannya.

3. Niat itu tempatnya di hati, dan tidak disyariatkan untuk melafazkannya.

4. Wajibnya waspada dari riya, sum’ah dan berharap dunia dari beramal shalih, karena semua itu merusak amal.

5. Wajibnya memperhatikan amal hati. Karena amal hati sangat agung.

6. Hijrah dari negeri syirik ke negeri tauhid adalah amal yang sangat utama jika benar benar ikhlas.

Badru Salam,  حفظه الله تعالى