Category Archives: Najmi Umar Bakkar

Benarkah Engkau Mencintai Rasul..?

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata :

Seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata : “Ya Rasulullah, demi Allah ! Sesungguhnya engkau adalah orang yang lebih aku cintai daripada diriku sendiri, dan sesungguhnya engkau adalah orang yang lebih aku cintai daripada keluargaku dan hartaku, lebih aku cintai daripada anakku

Sungguh, ketika aku berada di dalam rumahku, maka aku selalu mengingatmu. Aku tidak sabar sehingga aku pun mendatangimu lagi, kemudian melihatmu

Jika aku teringat akan kematianku dan wafatmu, maka sadarlah aku bahwa engkau akan masuk ke dalam Surga, diangkat bersama dengan para Nabi. Sedangkan aku, kalaupun aku masuk Surga, maka aku khawatir tidak bisa lagi melihatmu

(HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath no. 477 dan al-Mu’jamus Shaghiir no. 52, lihat ash-Shahiihul Musnad min Asbaabin Nuzul hal 70-71 oleh Syaikh Muqbil al-Wadi’i dan ‘Umdatut Tafsir ‘an al-Hafizh Ibnu Katsir oleh Syaikh Ahmad Syakir)

Subhanallah, sudah seperti inikah cintamu kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam…?

Sebelum ada mimbar yang dibuatkan oleh budak wanita Anshar, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam biasa berkhutbah dengan bersandar pada sebatang pohon kurma.

Tatkala mimbar diletakkan untuk menggantikan batang pohon kurma itu, maka pohon itu berteriak menangis seperti jeritan anak kecil.

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun turun lalu memegangnya dan memeluknya. Maka batang pohon kurma itu terisak-isak bagaikan isakan anak kecil yang dibujuk untuk diam, hingga akhirnya ia tenang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda : “Pohon kurma itu menangisi dzikir yang biasa ia dengar” (HR. Bukhari no. 2095, hadits dari Jabir bin Abdillah)

Subhanallah, sudah seperti inikah cintamu kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam…?

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang setiap hari bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih merasa khawatir dan takut kalau nanti tidak bisa bertemu lagi dengan beliau di akhirat, maka ia pun senantiasa berdoa :

َاَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ إِيْمَانًا لاَ يَرْتَدُّ وَنَعِيْمًا لاَ يَنْفَدُ وَمُرَافَقَةَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فِيْ أَعْلَى جَنَّةِ الْخُلْدِ

Ya Allah, aku mohon kepada-Mu iman yang tidak pernah lepas, kenikmatan yang tidak pernah habis, dan dapat menyertai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di Surga yang tertinggi dan kekal” (HR. Ahmad VI/128 dan Ibnu Hibban no. 1970, lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah V/379).

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata :

Aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar. Dan aku berharap akan bersama mereka dengan sebab kecintaanku kepada mereka, meskipun aku tidak beramal seperti amalan mereka” (HR. Bukhari no. 3688 dan Muslim no. 2639)

Subhanallah, sudah seperti inikah cintamu kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam…?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مِنْ أَشَدِّ أُمَّتِي لِي حُبًّا نَاسٌ يَكُونُونَ بَعْدِي يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ رَآنِي بِأَهْلِهِ وَمَالِهِ

Diantara umatku yang paling mencintaiku adalah orang-orang yang hidup setelahku, salah seorang dari mereka sangat ingin melihatku walaupun (harus menebusnya) dengan keluarganya dan hartanya” (HR. Muslim, hadits dari Abu Hurairah, lihat Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir no. 5893)

ْمَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِي

Barangsiapa melihatku dalam mimpi, maka sungguh dia telah melihatku, karena sesungguhnya syaitan tidak dapat menyerupaiku” (HR. Muslim no. 4206, hadits dari Abu Hurairah)

ْاَللَّهُمَّ اَرِنِيْ وَجْهَ نَبِيِّكَ وَ رَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِيْ مَنَامِي

Ya Allah perlihatkanlah kepadaku wajah Nabi-Mu dan Rasul-Mu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpiku

Ustadz Najmi Umar Bakkar, حفظه الله تعالى

Masih Suka Duduk Di Majelisnya Ahlul Bid’ah…

Karena melihat banyaknya ikhwan dan akhaawat yang masih suka duduk di majelisnya ahlul bid’ah, atau mereka yang tidak mengikuti sunnah dan manhaj salaf, maka apakah memang ada larangan duduk bermajelis dan menimba ilmu dari mereka ?

Telah terfitnah sebagian kaum muslimin oleh ahlul bid’ah karena mereka melihat apa yang ada pada ahlul bid’ah tersebut seperti sikap zuhudnya, terlihat seakan-akan khusyu’, mudahnya menangis, atau yang lainnya dari banyaknya ibadah yang mereka lakukan. Namun hal tersebut bukanlah satu ukuran yang benar untuk mengetahui al-haq (kebenaran).

Imam al-Auza’i rahimahullah berkata :

Telah sampai kepadaku bahwa barangsiapa mengada-adakan satu bid’ah yang sesat, maka syaitan akan membuatnya cinta untuk beribadah atau meletakkan rasa khusyu’ dan mudah untuk menangis agar ia dapat memburunya” [lihat Ushuulus-Sunnah oleh Imam Ahmad bin Hanbal hal 30-37].

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim tersebut sesudah teringat (akan larangan itu)” [QS. Al-An’aam: 68].

Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata :

Dalam ayat ini terkandung nasihat yang agung bagi mereka yang membolehkan duduk bermajelis dengan ahlul bid’ah, yaitu dengan orang-orang yang suka mengubah-ubah perkataan Allah, mempermainkan Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya, serta mengembalikan pemahaman al-Qur’an dan as-Sunnah kepada hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan bid’ah mereka yang rusak. Maka, jika seseorang tidak mampu mengingkari atau mengubah kebid’ahan mereka, paling tidak dia harus meninggalkan majelis mereka, dan tentu ini mudah baginya, tidak susah. Dan terkadang orang-orang yang menyimpang tersebut menjadikan kehadiran seseorang bersama mereka (meskipun orang tersebut bersih dari kebid’ahan yang mereka lakukan) sebagai syubhat, dengannya mereka mengaburkan (permasalahan) atas orang-orang awam. Jadi, dalam kehadirannya (di majelis mereka) terdapat tambahan mudharat dari sekedar mendengarkan kemungkaran” [lihat Tafsir Fathul Qadir II/185].

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur-an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam” [QS. An-Nisaa’: 140].

Imam ath-Thabari rahimahullah berkata :

“Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas tentang larangan untuk ikut di dalam majelis ahlul bid’ah dari setiap macam pelaku kebid’ahan dan orang-orang fasik yang mereka berbicara tentang kebathilan” [lihat Tafsir ath-Thabari IV/328].

Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata :

Apabila telah tetap (perintah) menjauhi para pelaku kemaksiatan, maka menjauhi para pelaku kebid’ahan lebih utama (diperintahkan)” [lihat Tafsir al-Qurthubi V/418].

*Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :*

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ اْلأَصَاغِرِ

Sesungguhnya di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah seseorang menimba ilmu dari al-Ashaaghir” (HR. Abdullah bin Mubarak dalam Kitab Zuhudnya no.61 dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir juz 22 hal 361-362, lihat Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir no.2207).

Abdullah Ibnul Mubarak rahimahullah berkata bahwa kata al-Ashaaghir dalam hadits tersebut adalah “Ahlul Bid’ah“* [lihat Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah I/95 no. 102 dan Silsilah ash-Shahihah no.695).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata :

Ini adalah sifat yang sesuai dengan yang disifatkan. Ahli bid’ah adalah kecil meskipun mereka menganggap besar diri-diri mereka dan setiap orang yang menyelisihi nash (dalil) maka dia kecil” (Syarah Hilyah Thalibil ‘Ilmi hal 136).

Lalu apakah tanda dari ahlul bid’ah itu ?

Imam Abu Hatim ar-Raazi rahimahullah berkata :

“Tanda ahlul bid’ah itu adalah (selalu) mencela ahlul atsar (pengikut jejak salafus shalih)” (lihat Aqidah Abi Hatim ar-Raazi hal 69).

Lihatlah perkataan para salaf terdahulu dibawah ini, bagaimana mereka sangat perhatian dan selalu mengingatkan umat dalam masalah ini.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata :

“Janganlah engkau duduk bermajelis dengan para pengikut hawa nafsu, karena bermajelis dengan mereka itu akan menyebabkan hati menjadi sakit” [lihat asy-Syari’ah no. 55 oleh al-Ajurri dan al-Ibaanah oleh Ibnu Baththah no. 619].

Al-Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin rahimahumallah berkata :

Janganlah kalian bermajelis dengan ahlul ahwa ! Janganlah kalian berdebat dengan mereka ! Dan janganlah kalian mendengar dari mereka !” [lihat Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat al-Kubra VII/172 dan Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah I/133 oleh al-Lalika’i].

لا تجالس صاحب بدعة فانه يمرض قلبك

Janganlah kalian duduk bersama ahli bid’ah, karena duduk dengan mereka bisa menularkan penyakit (syubhat) dalam hatimu” (Al-I’tisham I/60).

Dari Marhum bin Abdil Aziz al-Aththar, aku mendengar ayahku dan pamanku berkata, kami mendengar al-Hasan al-Bashri melarang bermajelis dengan Ma’bad al-Juhani (seorang tokoh Qodariyyah), ia (al-Hasan) berkata :

لا تجالسوه فإنه ضال مضل

Jangan kalian bermajelis dengannya ! Karena ia sesat dan menyesatkan” [lihat as-Sunnah II/391 oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dan Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah IV/637 oleh al-Lalika’i].

Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata :

Barangsiapa mendengarkan ahlul bid’ah dengan pendengarannya, padahal dia mengetahui, maka ia keluar dari penjagaan Allah dan (urusannya) diserahkan kepada dirinya sendiri

Setelah membawakan perkataan Sufyan ats-Tsauri di atas, al-Hafidz adz-Dzahabi berkata: “Kebanyakan para imam Salaf berpendapat dengan tahdzir ini, mereka melihat bahwa hati itu lemah dan syubhat-syubhat itu menyambar-nyambar” [lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ VII/261].

Mubasyir bin Isma’il al-Halabi rahimahullah berkata :

Pernah dikatakan kepada al-’Auzai : “Sesungguhnya ada seseorang yang mengatakan : Aku akan bermajelis dengan ahlus sunnah dan aku akan bermajelis (juga) dengan ahlul bid’ah“. Maka al-’Auza’i berkata : “Orang ini mau menyamakan antara yang haq dan yang bathil” [lihat al-Ibaanah II/456 oleh Ibnu Baththah].

Imam al-’Auza’i rahimahullah berkata :

Barang siapa yang menutupi bid’ah-nya dari kami, tidaklah samar bagi kami pergaulannya” [lihat al-Ibaanah II/479 oleh Ibnu Baththah].

Ma’mar berkata : Suatu ketika Ibnu Thowus sedang duduk, kemudian datang seorang Mu’tazili lalu berbicara, Ibnu Thawus lalu memasukkan dua jari ke telinganya dan berkata kepada anaknya : “Wahai anakku, masukkan dua jarimu ke dua telingamu dan kencangkanlah ! Jangan engkau dengarkan apa yang ia katakan sedikitpun !” [lihat Hilyatul Auliyaa’ 1/218 dan Siyar A’laamin Nubalaa’ 11/285].

Abu Qilabah rahimahullah berkata :

لا تجالسوا أهل الأهواء، ولا تجادلوهم، فإني لا آمن أن يغمسوكم في الضلالة، أو يلبسوا عليكم في الدين بعض ما لبس عليهم

Janganlah kalian duduk bersama ahlu ahwa’ (ahlul bid’ah) dan janganlah mendebat mereka dikarenakan sesungguhnya aku tidak merasa aman (khawatir) mereka akan menanamkan kesesatan kepada kalian atau menanamkan keraguan kepada kalian dalam perkara agama, yaitu dengan sebagian kerancuan yang ada pada mereka” (lihat asy-Syari’ah oleh al-Ajurry hal 56 dan al-Ibaanah oleh Ibnu Batthah II/437).

Mufadhdhol bin Muhalhal as-Sa’di rahimahullah berkata :

Seandainya ahlul bid’ah itu, jika engkau duduk bersamanya, lalu ia berbicara dengan bid’ahnya maka engkau akan mentahdzirnya dan lari darinya. Akan tetapi ia berbicara kepadamu dengan hadits-hadits sunnah pada majelisnya yang tampak, lalu bid’ahnya masuk kepadamu, kemudian bid’ah itu mengenai hatimu, maka kapan bid’ah itu akan keluar dari hatimu ?” [lihat Ibnu Baththoh dalam al-Ibaanah].

Imam Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata :

Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang bertugas mencari majelis-majelis dzikir, maka lihatlah bersama siapakah majelismu itu, janganlah bersama ahlul bid’ah, karena Allah Ta’ala tidak melihat kepada mereka. Dan salah satu tanda nifaq adalah seseorang bangun dan duduk bersama ahlul bid’ah. Aku mendapati sebaik-baik manusia (yakni tabi’in), mereka semuanya adalah Ahlus Sunnah dan mereka melarang (yakni memperingatkan umat) dari ahlul bid’ah” [lihat Hilyatul Auliyaa’ VIII/104 dan I’tiqaad Ahlis Sunnah 1/138).

Beliau juga berkata :

Jauhilah olehmu duduk dengan orang yang dapat merusak hatimu (aqidahmu) dan janganlah engkau duduk bersama pengikut hawa nafsu (ahlul bid’ah) karena sungguh aku khawatir kamu terkena murka Allah” [lihat Ibnu Baththoh dalam Al-Ibaanah II/462-463 no. 451-452) dan al-Lalika’i dalam Syarhul Ushul 262].

Imam Ibnul Mubarak rahimahullah berkata :

ليكن مجلسك مع المساكين، وإياك أن تجلس مع صاحب بدعة

Hendaklah majelismu itu bersama orang-orang miskin dan berhati-hatilah kamu dari duduk dengan ahlul bid’ah” [lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ VIII/399].

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :

أهل البدع ما ينبغي لأحد أن يجالسهم ولا يخالطهم ولا يأنس بهم

Ahli bid’ah itu, tidaklah pantas bagi seseorang untuk bermajelis dengan mereka dan bercampur dengan mereka serta bersikap lunak kepada mereka” [lihat al-Ibaanah II/475 oleh Ibnu Baththah].

Sebagian orang berkata kepada Imam Ahmad bahwa berat baginya untuk berkata si B itu begini dan si C itu begitu (dalam rangka memperingatkan umat dari kebid’ahannya), maka Imam Ahmad pun berkata : “Jika kamu diam dan aku juga diam, maka kapan orang bodoh itu tahu mana yang benar dan mana yang salah ?” (Majmu’ Fatawa 28/231).

Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya :

Mana yang lebih engkau sukai, seseorang berpuasa, shalat dan beri’tikaf atau dia membicarakan (penyimpangan) ahlul bid’ah ?” Maka beliau menjawab : “Kalau dia berpuasa, shalat dan beri’tikaf maka hal itu untuk dirinya sendiri, tapi kalau membicarakan (penyimpangan) ahlul bid’ah maka ini untuk dirinya dan kaum muslimin dan ini lebih utama“.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

Seandainya Allah tidak memilih orang yang dapat menolak bahaya ahlul bid’ah maka rusaklah agama ini. Dan kerusakannya lebih dahsyat dari pada kerusakan yang ditimbulkan oleh musuh dari kalangan ahli perang, karena mereka jika telah menguasai tidak akan memulai dengan merusak hati serta agama kecuali terakhir. Adapun ahli bid’ah mereka langsung merusak hati” (lihat Majmu’ Fatawa 28/231-232).

Abul Qosim Ismail bin Muhammad bin Fadl at-Taymi al-Asbahany rahimahullah berkata :

Amalan meninggalkan majelis-majelis ahlul bid’ah dan meninggalkan pergaulan dengan mereka adalah sunnah, supaya hati-hati kaum muslimin yang lemah tidak terpikat dengan sebagian bid’ah mereka, sampai manusia mengetahui bahwasanya mereka adalah ahlul bid’ah. Dan juga jangan sampai bermajelis dengan mereka sebagai perantara untuk menampakkan bid’ah mereka ataupun berdalam-dalam pada perkataan yang tercela. Menjauhi pelaku bid’ah terpuji agar diketahui bahwasanya mereka menyimpang dari jalannya para sahabat رضي الله عنهم” (lihat al-Hujjah fii Bayaanil Muhajah wa Syarah Aqidah Ahlis Sunnah II/550).

Kalaupun seseorang tetap bergaul dengan ahlul bid’ah karena kesombongannya dengan ilmunya dan ia yakin tidak akan terpengaruh, maka ketahuilah, kehadirannya di majelis-majelis ahlul bid’ah atau majelis-majelis yang menyebarkan kesesatan terdapat bahaya-bahaya yang lain.

Dampak negatif akibat dari duduk bermajelis dan bergaul dengan ahlul bid’ah antara lain

? Orang yang duduk bermajelis dengan ahlul bid’ah akan terkena syubhat mereka dan tidak bisa membantahnya, yang akhirnya dia pun terjerumus dalam kesesatan dan kebid’ahan mereka.

? Duduk bermajelis dengan mereka (ahlul bid’ah) bertentangan dengan perintah Allah untuk tidak duduk bersama di majelis mereka dan menentang Rasulullah yang juga telah melarang bermajelis dengan mereka serta menyimpang dari jalan para sahabat.

? Duduk bermajelis dengan ahlul bid’ah akan menumbuhkan rasa kecintaan kepada mereka, padahal Allah telah memerintahkan untuk membenci dan memusuhi mereka.

? Duduk bermajelis dengan ahli bid’ah dapat membahayakan bagi ahli bid’ah itu sendiri.

Karena diantara hikmah menjauhi mereka adalah agar mereka jera dan kemudian rujuk (keluar) dari kebid’ahannya. Adanya orang yang dekat dengan mereka akan menjadi sebab jauhnya mereka dari keinginan untuk bertaubat, karena merasa jalan yang ditempuhnya adalah kebenaran.

? Duduk bermajelis dengan mereka (ahlul bid’ah) dapat menjadi sebab orang lain berburuk sangka kepadanya, meskipun ia tidak terpengaruh dengan bid’ah-bid’ah mereka dan tidak setuju dengan mereka.

(lihat Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Ahwaa’ wal Bida’ II/550-551 oleh Syaikh DR.Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili).

Inilah sebagian dari keburukan yang kita ketahui. Hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tahu betapa banyak mafsadah yang muncul akibat duduk bermajelis dan berteman dengan ahlul bid’ah. Mudah-mudahan ini cukup sebagai nasihat bagi orang yang menginginkan keselamatan agamanya.

Jika datang larangan dari para ulama untuk bermajelis dengan ahlul bid’ah, maka maknanya bukan berarti seseorang yang berilmu dengan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya tidak perlu mendakwahkan mereka kepada kebaikan, tidak membantah mereka dan tidak mendekati majelis-majelis mereka untuk tujuan ini, AKAN TETAPI maksud para ulama di sini adalah kekhawatiran bagi orang yang tidak mampu untuk menolak syubhat-syubhat mereka (ahlul bid’ah) dari dirinya sehingga akan berpengaruh pada hatinya.

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu berkata :

Agamamu ! Agamamu ! Sesungguhnya ia adalah darah dagingmu, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambilnya. Ambillah dari orang-orang yang istiqomah (di atas sunnah) dan jangan mengambil dari orang-orang yang melenceng (dari sunnah)” (lihat Al-Kifaayah fii ‘Ilmir Riwayah oleh al-Khathib al-Baghdadi hal 121).

Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata :

Sesungguhnya ilmu itu adalah agama, maka hendaklah kalian berhati-hati dari siapa kalian mengambil agama ini” (lihat Muqaddimah Shahiih Muslim Bisyarhin Nawawi I/126).

Kita boleh menerima nasihat dari siapa saja jika memang itu benar (meskipun pelaku maksiat), tetapi kita tidak boleh menuntut ilmu dan duduk bermajelis kepada ahlul bid’ah, tetapi haruslah dengan orang yang agamanya, aqidahnya, ibadah dan manhajnya benar.

Ustadz Najmi Umar Bakkar, حفظه الله تعالى

Adakah Tahlilan Kematian Dalam Islam ?

* Adakah Tahlilan Kematian Dalam Islam ? *

Takziyah merupakan sesuatu yang disunnahkan, yaitu dengan cara menasihati, menghibur, mendoakan, memberi bantuan kepada keluarga mayit dll. Dan bukannya dilakukan dengan cara “sengaja” untuk berkumpul-kumpul dengan diagendakan dan direncanakan seperti yang dilakukan oleh kaum muslimin dengan nama acaranya “Tahlilan”.

Perhatikan keterangan di bawah ini :

(1). Dari Jabir bin Abdillah Al-Bajali ia berkata :

“Kami (para sahabat) menganggap bahwa berkumpul-kumpul di (rumah) keluarga mayit dan membuatkan makanan sesudah mayit ditanam merupakan bagian dari NIYAAHAH (meratapi mayit)” (HR.Ahmad II/204 no.6905, Ibnu Majah no.1612 dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir no.2278, hadits ini dishahihkan oleh para ulama seperti Imam an-Nawawi, Ibnu Katsiir, al-Buushiiriy, Ibnu Hajar al-Haitsami, asy-Syaukani, Ahmad Syakir, al-Albani dll).

(2). Jarir pernah bertamu kepada Umar, lalu Umar bertanya : “Apakah mayit kalian diratapi ?” Jawab Jarir : “Tidak”. Lalu Umar bertanya lagi : “Apakah orang-orang berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan ?”. Jawab Jarir : “Ya”. Maka Umar berkata : “Yang demikian adalah RATAPAN” (Al-Mughni III/497 oleh Imam Ibnu Qudamah dengan tahqiq Syaikh DR.Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki dan Mushannaf Ibnu Abi Syaibah II/487).

Imam asy-Syafi’i berkata :

“Dan aku membenci al ma’tam, yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun di situ tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan” (Al-Umm II/638 dengan tahqiq DR.Rif’at Fauzi Abdul Muthalib).

Ini baru masalah berkumpul saja, lalu bagaimana jika keluarga mayit menyediakan makanan lalu dilanjutkan dengan apa yang kita namakan di sini sebagai tahlilan ?!

Imam Ahmad bin Hambal berkata :

“Ini termasuk perbuatan masyarakat jahiliyah” (Taudhihul Ahkaam Syarah Bulughul Maram III/271 oleh Syaikh Abdullah al-Bassam).

Imam An-Nawawi berpendapat dengan menukil perkataan penulis kitab asy-Syaamil dan ulama lainnya :

“Adapun hidangan yang dibuat keluarga mayit dan berkumpulnya manusia untuk hidangan itu, maka hal itu tidaklah dinukil sedikitpun keterangan (dalil), tidak disunnahkan dan itu adalah bid’ah” (Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab V/282 dan Raudhatuth Thaalibiin II/145).

Imam as-Suyuthi berkata :

“Termasuk perkara bid’ah adalah berkumpul-kumpulnya orang-orang untuk ta’ziyah kepada keluarga mayit” (Al-Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtidaa’ hal 288 dengan tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman).

Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna berkata :

“Telah sepakat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah HARAM karena meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para Shahabat telah memasukkannya (yakni berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit) bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram” (Fathur Rabbani Tartib Musnad Imam Ahmad bin Hambal 8/95-96) .

Kemudian Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna di akhir syarahnya atas hadits Jarir menegaskan :

“Maka, apa yang biasa dikerjakan oleh kebanyakan orang sekarang ini yaitu berkumpul-kumpul (di tempat ahli mayit) dengan alasan ta’ziyah dan mengadakan penyembelihan, menyediakan makanan, memasang tenda dan permadani dan lain-lain dari pemborosan harta yang banyak dalam seluruh urusan yang bid’ah ini, yang mana mereka tidak bermaksud kecuali untuk bermegah-megah dan pamer supaya orang-orang memujinya bahwa si fulan telah mengerjakan ini dan itu dan menginfakkan hartanya untuk tahlilan bapak-nya. Semuanya itu adalah HARAM menyalahi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan salafush shalih dari para shahabat dan tabi’in dan tidak pernah diucapkan oleh seorangpun juga dari Imam-Imam agama (kita).

 

KESIMPULAN

(1). Berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit hukumnya adalah “BID’AH” dengan kesepakatan para shahabat dan seluruh imam dan ulama termasuk didalamnya imam empat.

(2). Takziyah merupakan sesuatu yang disunnahkan, yaitu dengan cara menasihati, menghibur, mendoakan, memberi bantuan kepada keluarga mayit dll. Dan bukannya dilakukan dengan cara “sengaja” untuk berkumpul-kumpul dengan diagendakan dan direncanakan seperti yang dilakukan oleh kaum muslimin dengan nama acaranya “Tahlilan”.

(3). Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kaum kerabat/sanak famili dan para tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka untuk mereka makan dalam sehari semalam.

Dari Abdullah bin Ja’far ia berkata : “Ketika datang seorang pembawa berita kematian Ja’far saat ia terbunuh, Nabi bersabda : “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena sesungguhnya telah datang kepada mereka sesuatu yang menyibukkan mereka (yakni musibah kematian)” (HR. Abu Dawud II/59, at-Tirmidzi II/134, Ibnu Majah I/490, al-Hakim I/372, al-Baihaqi IV/61, Ahmad I/75, ad-Daaraquthni 194 dan 197, hadits dihasankan oleh Imam al-Albani dalam Ahkaamul Janaaiz hal 211).

Imam asy-Syafi’i berkata :

“Aku menyukai bagi para tetangga mayit dan sanak familinya membuat makanan untuk ahli mayit pada hari kematiannya dan malam harinya yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, karena sesungguhnya yang demikian adalah (mengikuti) sunnah (Nabi)…. “ [Al-Umm I/317]

Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang masalah ini beliau menjawab :

“Dibuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit ) dan tidaklah mereka (ahli mayit ) membuatkan makanan untuk para penta’ziyah” [Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal 139]

(4). Kaum muslimin saat ini sengaja berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dengan cara ditentukan harus pada malam harinya + adanya tahlilan dengan bacaan dan dzikir tertentu dan tidak boleh yang lainnya + harus pada hari-hari tertentu seperti hari ke 1, 2, 3, 7, 40, 100 dst dan tidak boleh sembarang hari dan ini jelas-jelas termasuk perbuatan “BID’AH”, apalagi jika sampai memberatkan keluarga mayit yang miskin dan sedang bersedih.

(5). Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat sangat membenci bid’ah ?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat” (HR. Muslim no. 867)

Dalam riwayat an-Nasaa’i dikatakan :

وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ

“Setiap kesesatan tempatnya di neraka”

…مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“…barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” (HR. Abu Dawud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676 dll)

“Sesungguhnya setiap amal mempunyai kesemangatan dan setiap kesemangatan mempunyai masa jenuh, maka barangsiapa masa jenuhnya menuju kepada Sunnahku maka ia benar-benar telah mendapat petunjuk dan barangsiapa masa jenuhnya kepada yang selain itu (yaitu bid’ah), maka ia benar-benar binasa” (HR. Al-Baihaqi, lihat Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir no. 2152)

“Dijadikan kehinaan dan kerendahan atas orang-orang yang menyelisihi Sunnahku…” (HR. Ahmad II/50, 92 dan Ibnu Abi Syaibah V/575 no.98 dalam Kitaabul Jihad, dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Tahqiq Musnad Ahmad).

“Tidak ada yang tertinggal dari sesuatu (amal) yang dapat mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka, melainkan telah dijelaskan kepada kalian” (HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, hadits dari Abu Dzar, lihat Ash-Shahihah IV/416)

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718, hadits dari Aisyah).

Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu berkata :

“Sunnah adalah yang telah disunnahkan Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu menjadikan pendapat akal sebagai sunnah bagi umat” (Al-I’tisham I/76).

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata :

“Tidaklah seseorang selalu mengikuti pendapat akalnya dalam hal-hal bid’ah kemudian meninggalkannya, kecuali kepada hal-hal yang lebih buruk darinya” (Al-I’tisham I/92).

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata :

اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 8770)

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata :

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik” (Al-Ibanah Al-Kubro li Ibni Baththoh 1/219 dan ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal 20).

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :

“Tetaplah engkau istiqamah dan berpegang dengan atsar serta jauhilah bid’ah” (Al-I’tisham I/112 oleh Imam asy-Syathibi).

“Sesungguhnya perkara yang paling dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah bid’ah” (Al-Baihaqi dalam as-Sunan IV/316).

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata :

“Berhati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan, karena perkara yang diada-adakan (dalam agama) adalah sesat” (Hilyatul Auliyaa’ 1/233).

Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata :

كُلُّ عِبَادَةٍ لَمْ يَتَعَبَّدْ بِهَا أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فلاَ تَتَعَبَّدُوْا بِهَا ؛ فَإِنَّ الأَوَّلَ لَمْ يَدَعْ لِلآخِرِ مَقَالاً ؛ فَاتَّقُوا اللهَ يَا مَعْشَرَ القُرَّاءِ ، خُذُوْا طَرِيْقَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

“Setiap ibadah yang tidak pernah diamalkan oleh para sahabat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, janganlah kalian beribadah dengannya. Karena generasi pertama tidak menyisakan komentar bagi yang belakangan. Maka bertakwalah kalian kepada Allah wahai para pembaca al-Qur’an (orang-orang alim dan yang suka beribadah) dan ikutilah jalan orang-orang sebelummu” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah).

Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata :

“Sederhana (sedikit) dalam mengamalkan sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh (banyak) menjalankan (tetapi) bid’ah” (Ilmu Ushulil Bida’ hal 55 dan al-Lalika’i I/88).

(6). Takutlah dengan firman Allah Ta’ala :

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ
لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ
ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ

“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya” (QS. Al-Haqqah [69]: 44-46)

Ayat ini dapat digunakan sebagai hujjah ancaman kepada ahli bid’ah yang menyandarkan amalan bid’ah mereka kepada agama.

Perhatikan pada ayat ini, Rasul saja mendapatkan ancaman serius yang menakutkan dari Allah jika beliau mengada-adakan suatu perkara dalam agama yang tidak Allah izinkan, lalu bagaimana dengan nasib pelaku kebid’ahan selain beliau ?

Wahai saudaraku…

Tinggalkan kebid’ahan dalam urusan agama yang mulia dan sudah sempurna ini…

Semoga Allah memberikan hidayah dan taufiq kepadamu…

✍️ Ust Najmi Umar Bakkar

Ringkasan Dalil dan Keterangan 20 Dampak Buruk Dan Akibat Yang Merugikan Bagi Pelaku Bid’ah…

(1). Amalannya tidak akan diterima Allah Ta’ala.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara baru dalam urusan (agama) kami ini apa-apa yang tidak ada darinya (keterangan), maka amalan itu tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718 (17), hadits dari ‘Aisyah).

Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan atas perintah kami, maka ia tertolak” (HR. Muslim no.1718 (18), Abu Dawud no.4606 dan Ahmad VI/73, hadits dari ‘Aisyah).

Allah Ta’ala berfirman :

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah : “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya ?”. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (QS. Al-Kahfi [18] : 103-104).

(2). Pelaku bid’ah dianggap telah mematikan Sunnah.

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata :

Tidaklah datang (suatu masa) kepada manusia, melainkan mereka akan membuat bid’ah di dalamnya dan akan mematikan Sunnah, sehingga maraklah perbuatan bid’ah dan matilah Sunnah” (Al-I’tisham I/87 oleh Imam asy-Syathibi).

(3). Pelaku bid’ah dianggap pemecah-belah umat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ما من نبيٍّ بَعثَهُ اللهُ في أُمَّةٍ قبْلِي ، إلَّا كان لهُ من أُمَّتِه حوَارِيُّونَ ، وأصحابٌ يأخُذونَ بِسنَّتِه ، ويَتقيَّدُونَ بأمْرِهِ ، ثمَّ إنَّها تَخُلُفُ من بعدِهِمْ خُلُوفٌ ، يقولُونَ ما لا يَفعلُونَ ، ويفعلُونَ ما لا يُؤْمَرُونَ ، فمَنْ جاهدَهمْ بيدِهِ فهوَ مُؤمِنٌ ، ومَنْ جاهدَهمْ بِلسانِه فهوَ مُؤمِنٌ ، ومَنْ جاهدَهمْ بقلْبِهِ فهوَ مُؤمنٌ ، ليس وراءَ ذلكَ من الإيمانِ حبَّةُ خرْدَلٍ

Tidak seorang Nabi pun yang diutus Allah pada umat sebelumku kecuali ia mempunyai shahabat-shahabat dan penolong-penolong yang setia. Mereka mengikuti sunnah-sunnahnya dan mengerjakan apa yang diperintahkannya. Kemudian datang setelah mereka kaum yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan dan “Mengerjakan Apa Yang Tidak Diperintahkan”. Maka barang siapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya maka dia adalah mukmin dan barang siapa berjihad dengan lisannya dia adalah mukmin dan siapa yang berjihad dengan hatinya maka dia mukmin. Setelah itu tidak ada lagi iman walaupun sebesar biji sawi” (HR. Muslim no. 50, hadits dari Ibnu Mas’ud, Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir no.5790).

إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابَيْنِ افْتَرَقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً يَعْنِي الْأَهْوَاءَ كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلْبُ بِصَاحِبِهِ لَا يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلَا مَفْصِلٌ إِلَّا دَخَلَهُ وَاللَّهِ يَا مَعْشَرَ الْعَرَبِ لَئِنْ لَمْ تَقُومُوا بِمَا جَاءَ بِهِ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَغَيْرُكُمْ مِنْ النَّاسِ أَحْرَى أَنْ لَا يَقُومَ بِهِ

Sesungguhnya ahli kitab telah berpecah menjadi 72 firqah; dan sesungguhnya umat ini akan berpecah menjadi 73 millah, mereka semua berada di Neraka kecuali satu, yaitu al-Jama’ah. Nanti akan muncul pada umatku sekelompok orang yang kerasukan bid’ah dan hawa nafsu sebagaimana anjing kerasukan rabies, tak tersisa satu pun dari urat dan sendinya melainkan telah kerasukan. Wahai sekalian bangsa Arab, kalau kalian saja tidak mau melaksanakan ajaran Nabimu, maka orang lain akan lebih tidak mau lagi” (HR. Abu Dawud no 4597 dan Ahmad IV/102 no. 17061, hadits dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, lihat ash-Shahiihah no. 204)

(4). Pelaku bid’ah yang tidak bertaubat, maka ia akan membuat-buat bid’ah yang lebih buruk lagi.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata :

Tidaklah seseorang selalu mengikuti pendapat akalnya dalam hal-hal bid’ah kemudian meninggalkannya, kecuali kepada hal-hal yang lebih buruk darinya” (Al-I’tisham I/92).

(5). Pelakunya dianggap telah terjatuh ke dalam kesesatan, karena semua bid’ah adalah sesat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat” (HR. Muslim no. 867, hadits dari Jabir bin Abdillah).

وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة

Jauhilah segala perkara baru (di dalam agama) karena sesungguhnya setiap perkara baru di dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” [HR. Abu Dawud no.4607, at-Tirmidzi no.2678, Ibnu Majah no.43, Ahmad IV/126, Ibnu Hibban no.102, al-Hakim I/95-97 dll, lihat Irwaa-ul Ghaliil VIII/107 no.2455, hadits dari ‘Irbadh bin Saariyah].

Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma berkata:

كُلُّ بِدْعَةٍِ ضَلاَلَةٌُ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةًَ

Setiap bid’ah itu adalah sesat walaupun manusia memandangnya sebagai satu kebaikan” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikai dalam Syarah Ushulil-I’tiqad no. 205 dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no. 205].

(6). Pelaku bid’ah adalah orang yang dilaknat menurut syari’at.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu yang baru (bid’ah) atau mendukung pelaku bid’ah di dalam (kota Madinah), maka dia akan mendapatkan laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima darinya baik amalan yang fardhu maupun yang sunnah pada hari kiamat” (HR. Bukhari no 1870 dan Muslim no.1370, hadits dari ‘Ali bin Abi Thalib).

(7). Pelaku bid’ah tidak mendapatkan penjagaan dari Allah Ta’ala.

Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata :

“Barangsiapa mendengarkan ahlul bid’ah dengan pendengarannya, padahal dia mengetahui, maka ia keluar dari penjagaan Allah dan (urusannya) diserahkan kepada dirinya sendiri”

Setelah membawakan perkataan Sufyan ats-Tsauri di atas, al-Hafidz adz-Dzahabi berkata: “Kebanyakan para imam Salaf berpendapat dengan tahdzir ini, mereka melihat bahwa hati itu lemah dan syubhat-syubhat itu menyambar-nyambar” [lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ VII/261].

Ancaman ini bagi yang mendengarkan, lalu bagaimana bagi pelaku kebid’ahan itu sendiri ???

(8). Semakin menjauhkan pelakunya dari Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَخْرُجُ فِيكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُونَ صَلَاتَكُمْ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَكُمْ مَعَ صِيَامِهِمْ وَعَمَلَكُمْ مَعَ عَمَلِهِمْ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ …

Akan muncul diantara kalian suatu kaum yang kalian akan meremehkan shalat kalian (para sahabat), puasa kalian dan amal kalian di samping shalat mereka, puasa mereka, dan amal mereka. Mereka rajin membaca al-Qur’an akan tetapi (pengaruhnya) tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari Islam seperti anak panah yang keluar menembus sasarannya” (HR. Bukhari no 5058 dan Muslim no 1064, hadits dari Abu Sa’id al-Khudri).

Ayyub As-Sikhtiyani rahimahullah (salah seorang tokoh tabi’in) berkata :

مَا ازْدَادَ صَاحِبُ بِدْعَةٍ اِجْتِهَاداً، إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْداً

Tidaklah bertambah semangat pelaku bid’ah dalam beribadah, melainkan menjadikan mereka semakin jauh dari Allah” (Hilyatul Auliya’ 1/392).

(9). Pelaku bid’ah dianggap telah mendustakan Allah, yaitu dengan menyakini bahwa Islam itu belum sempurna, padahal Allah ‘Azza wa Jalla telah menyempurnakannya.

Allah Ta’ala berfirman :

Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu menjadi agama bagimu…” (QS. Al-Maidah [5]: 3)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Tidak tersisa suatu (amalan) pun yang dapat mendekatkan kepada Surga dan menjauhkan dari Neraka, melainkan sudah dijelaskan semuanya kepada kalian” (HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir no.1647 dan Ahmad V/153, 162, hadits dari Abu Dzar, lihat ash-Shahiihah no.1803)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata :

اتبعوا و لا تبتدعوا فقد كُفِيتم

Ikutilah dan jangan berbuat bid’ah, sebab kalian telah dicukupkan

(Al-Lalika’i I/22 no.119)

(10). Pelaku bid’ah ikut menanggung dosa orang yang mengikutinya hingga hari kiamat.

Allah Ta’ala berfirman :

لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ

Agar mereka memikul dosa-dosa mereka seluruhnya pada hari kiamat dan sebahagian dari dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu” (QS. An-Nahl [16]: 25).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“…Dan barangsiapa yang mengadakan suatu bid’ah lalu mengamalkannya, maka ia akan mendapatkan dosa dari orang yang ikut melakukannya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun” (HR. At-Tirmidzi no.2677 dan Ibnu Majah no.209).

(11). Pelaku bid’ah sangat sulit untuk bertaubat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ

Sesungguhnya Allah akan menghalangi setiap pelaku bid’ah untuk bertaubat sampai dia meninggalkan bid’ahnya” (HR. At-Tirmidzi, ath-Thabrani dan al-Baihaqi, hadits dari Anas bin Malik, lihat Shahihut Targhiib wat Tarhiib no. 54 dan ash-Shahiihah IV/154 no.1620)

Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata :

البدعة أحبُ إلى إبليس من المعصية ، المعصية يُتابُ منها، والبدعة لا يُتابُ منها

Bid’ah lebih disukai oleh iblis daripada (pelaku) maksiat, sebab (pelaku) maksiat masih bisa diharapkan taubatnya, sedangkan (pelaku) bid’ah tidak dapat diharapkan pelakunya mau bertaubat darinya (sulit bertaubat)” (Talbis Iblis hal 221 dan Ilmu Ushulil Bida’ hal 218).

(12). Pelaku bid’ah tidak akan minum dari telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ أَلَا لَيُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ أُنَادِيهِمْ أَلَا هَلُمَّ فَيُقَالُ إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا

“Aku akan mendahului mereka (umatku) menuju telaga. Sungguh, akan ada beberapa orang yang dihalau dari telagaku sebagaimana di halaunya unta yang sesat. Aku memanggil mereka: “Hai datanglah kemari…!” Namun dikatakan kepadaku : “Mereka telah merubah-rubah (ajaranmu) sepeninggalmu“. Maka aku berkata : “(kalau begitu) menjauhlah sana… menjauhlah sana” (HR. Muslim no 249, Ibnu Majah no 4306, dan Ahmad II/300, 408 hadits no. 7980, 8865 dan 9281).

Dalam riwayat yang lain dikatakan :

Aku lantas berkata : “Wahai Rabbku, ini adalah umatku“. Lalu Allah berfirman : “Engkau tidak mengetahui (bid’ah) apa yang mereka ada-adakan setelahmu” (HR. Bukhari no. 7049)

(13). Pelaku bid’ah secara tidak langsung menuduh Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم tidak amanah dan menganggapnya tidak menyampaikan seluruh ajaran agama Islam kepada umat.

Imam Malik rahimahullah berkata :

من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان الرسالة ، لأن الله يقول :{اليوم أكملت لكم دينكم}، فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا

“Barangsiapa yang melakukan bid’ah di dalam Islam yang dianggapnya baik (hasanah), maka sungguh dia telah menganggap (Nabi) Muhammad telah mengkhianati risalah (kenabian), karena Allah Ta’ala berfirman : “Pada hari ini Aku telah menyempurnakan agama kalian untuk kalian” [QS Al-Maidah: 3]. Maka perkara apa saja yang pada masa itu (saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup) tidak dianggap (sebagai bagian dari) agama, maka pada hari ini pun tidak dianggap sebagai (bagian dari) agama” [Al-I’tisham oleh asy-Syathibi 1/49].

(14). Pelaku bid’ah dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekafiran.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku” (HR. Bukhari no.5063 dan Muslim no.1401, hadits dari Anas).

Tidak termasuk golongan kami siapa saja yang mengamalkan sunnah selain sunnah kami” (HR. At-Tirmidzi no.2695, ad-Dailami dan ath-Thabrani dalam al-Kabiir, hadits dari Ibnu Abbas, Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir no. 5439 dan ash-Shahiihah no.2194)

(15). Pelaku bid’ah dikhawatirkan akan mati dalam keadaan suu’ul khatimah.

Seorang pelaku bid’ah berarti orang yang sedang bermaksiat kepada Allah dan siapa pun yang bersikukuh dengan maksiatnya perlu dicemaskan kalau-kalau ia mati dalam keadaan itu.

(16). Pelaku bid’ah akan mendapatkan kebinasaan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Jauhilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan dalam perkara agama, karena sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian oleh sikap berlebih-lebihan mereka dalam perkara agama” (HR. Ahmad I/215 dan 347, an-Nasaa’i V/268, Ibnu Majah no.3029 dan al-Hakim I/466, hadits dari Ibnu Abbas, lihat Shahiihul Jaami no.2680).

Sesungguhnya setiap amal mempunyai kesemangatan dan setiap kesemangatan mempunyai masa jenuh, maka barangsiapa masa jenuhnya menuju kepada Sunnahku maka ia benar-benar telah mendapat petunjuk dan barangsiapa masa jenuhnya kepada yang selain itu (yaitu bid’ah), maka ia benar-benar binasa” (HR. Al-Baihaqi, hadits dari Ibnu Umar, lihat Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir no. 2152)

Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian di atas agama yang terang, siangnya sepertinya malamnya. Tiada yang menyimpang darinya kecuali orang yang binasa” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam Kitab as-Sunnah, lihat Shahiihut Targhiib wat Tarhiib no.59).

(17). Pelaku bid’ah adalah orang yang dibenci Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Orang yang paling dibenci Allah ‘Azza wa Jalla adalah orang yang mencari sunnah jahiliyah dalam Islam…” (HR. Ath-Thabrani, lihat Tafsir Ibnu Katsir III/164, tahqiq oleh Syaikh Muqbil al-Wadi’i).

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :

إن أبغضَ الأمور إلى الله البِدَع

Sesungguhnya perkara yang paling dibenci Allah adalah bid’ah” (Al-Baihaqi dalam as-Sunan IV/316).

Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata :

Sesungguhnya Allah memiliki Malaikat yang bertugas mencari majelis-majelis dzikir, maka lihatlah bersama siapakah majelismu itu, janganlah bersama ahlul bid’ah, karena Allah Ta’ala tidak melihat kepada mereka. Dan salah satu tanda nifaq adalah seseorang bangun dan duduk bersama ahlul bid’ah. Aku mendapati sebaik-baik manusia (yakni tabi’in), mereka semuanya adalah Ahlus Sunnah dan mereka melarang (yakni memperingatkan umat) dari ahlul bid’ah” [lihat Hilyatul Auliyaa’ VIII/104 dan I’tiqaad Ahlis Sunnah 1/138).

(18). Pelaku bid’ah dianggap seperti dajjal.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

سيَكونُ في أمَّتي دجَّالونَ كذَّابونَ ، يحدِّثونَكُم ببدَعٍ منَ الحَديثِ ، بما لم تَسمَعوا أنتُمْ ولا آباؤُكُم ، فإيَّاكم وإيَّاهُم لا يفتِنونَكُم

Akan ada para dajjal pendusta diantara umatku yang membuat bid’ah dari hadits yang tidak pernah didengar oleh kalian maupun bapak-bapak kalian. Maka berhati-hatilah terhadap mereka dan janganlah kalian disesatkan dan terfitnah oleh mereka” (HR. Muslim no.7 dan Ahmad 16/245 no.8580, hadits dari Abu Hurairah).

(19). Wajah pelaku bid’ah akan menghitam di hari kiamat.

Allah Ta’ala berfirman :

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ

Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan ada pula yang hitam muram…” (QS. Ali ‘Imran [3]: 106)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan ayat ini dengan mengatakan :

يَعْنِي: يَوْمَ الْقِيَامَةَ، حِيْنَ تَبْيَضُّ وُجُوْهُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، وَتَسْوَدُّ وُجُوْهُ أَهْلِ الْبِدْعَةِ وَالُفُرُقَةِ

Yaitu hari kiamat… ketika wajah ahlussunnah wal jama’ah putih berseri, sedangkan wajah ahlul bid’ah wal furqah hitam legam” (Tafsir Ibnu Katsir II/92)

(20). Pelaku bid’ah diancam dengan neraka.

Allah Ta’ala berfirman :

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mukmin (yaitu para sahabat), niscaya akan Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan akan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisaa’ [4]: 115)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka” (HR. An-Nasaa’i no. 1578)

Al-Imam Al-Barbahaari rahimahullah berkata :

Hati-hatilah dari bid’ah-bid’ah yang kecil, karena bid’ah yang kecil itu akan terus meningkat hingga menjadi bid’ah yang besar. Demikianlah setiap kebid’ahan yang diada-adakan oleh umat ini awalnya dianggap ‘sepele’ menyerupai al-Haq (kebenaran), sehingga tertipulah orang yang terjatuh di dalamnya, kemudian ia tidak mampu untuk keluar darinya. Lalu membesarlah kebid’ahan tersebut dan menjadi agamanya. Akhirnya ia pun menyimpang dari “Ash-Shiraatul Mustaqiim” (jalan yang lurus) dan keluar dari keislamannya…” (lihat Ithaaful Qaari bit Ta’liqaat ‘ala Syarhissunnah lil Imam Al-Barbahaari 1/81).

Ustadz Najmi Umar Bakkar, حفظه الله تعالى

Untukmu Saudaraku Yang Lalai…

Saudaraku, engkau…

Begitu semangatnya mengikuti berita…
Begitu seriusnya mencari data dan informasi terbaru darinya…
Begitu antusiasnya memberikan komentar terhadapnya…
Begitu pedulinya akan peristiwa yang berlangsung hanya sehari, seminggu dst…

Tapi…

Apakah sebegitu semangatnya, seriusnya, antusiasnya, perhatian dan pedulinya dirimu dengan agamamu, dan kehidupan hakiki di akhirat yang pasti abadi…?

Kenapa masalah yang sehari bisa mengalahkan masalah kehidupan akhirat yang kekal dan tidak akan pernah mati…?

Kenapa ketika ada hal-hal yang berkaitan dengan akhirat, ganjaran, kebaikan, kematian dll tidak seperti itu sikapnya…? Apakah sudah ada benih-benih kemunafikan yang tidak disadari…?

Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata :

Nifaq (munafik) adalah engkau berbicara tentang Islam tetapi engkau tidak mengamalkan ajarannya dalam kehidupan” (Hilyatul Auliyaa’ I/182).

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata :

Wahai jiwa yang miskin…
Engkau selalu berbuat jelek, tetapi menyangka telah berbuat baik…!
Engkau bodoh, tetapi menyangka dirimu berilmu…!
Engkau bakhil, tetapi menyangka dirimu dermawan…!
Ajalmu telah dekat, tetapi angan-anganmu masih jauh…!
Engkau telah berbuat zalim, tapi menyangka engkaulah yang terzhalimi…!
Engkau memakan harta yang haram, tetapi menganggap dirimu wara’…!
Engkau telah menuntut ilmu demi meraup keuntungan dunia, tetapi engkau katakan menuntutnya karena Allah ‘Azza wa Jalla…” (Siyar A’lamin Nubalaa’ VIII/440).

Ingatlah…

Kehidupan dunia hanyalah sebentar dan tidak lama… Janganlah masalah yang paling penting yaitu akhirat ternyata di abaikan begitu saja, sehingga hilanglah begitu banyak kebaikan…

Coba tanyakanlah kepada diri sendiri…

Sudah berapa kebaikan yang telah dilakukan…?
Sudah berapa banyak khatam membaca al-Qur’an…?
Sudahkah shalat dilakukan dengan penuh khusyu’…?
Sudahkah ibadah benar-benar niatnya karena Allah…?

Sudahkah bertambah iman…?
Sudahkah bertambah ilmu…?
Sudahkah bertambah amal…?
Sudahkah bertambah semangat…?

Seberapa sering menghadiri majelis ta’lim…?
Seberapa banyak yang dipahami dari al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman yang benar…?
Seberapa besar rasa takut kepada Allah Ta’ala…?
Seberapa banyakkah mengingat kematian…?

Kenapa seseorang membenci kematian…?
Karena ia telah memakmurkan dunia dan menghancurkan akhiratnya, maka ia benci keluar dari kemakmuran menuju kehancuran…

Wahai Saudaraku…

Kita tidak sedang berada di dunia yang kekal…
Kita telah diizinkan untuk pergi, maka bersiaplah karena perjalanannya sebentar lagi berangkat…

Beruntunglah orang yang takut ketika di dunia dan betapa buruk orang yang dosanya masih tersisa sepeninggalnya…

Perhatikanlah, sebagai apa nanti bila sudah berdiri di hadapan Allah Ta’ala, lalu Dia meminta pertanggung jawaban terhadap nikmat yang telah diberikan…

Orang-orang yang baik akan kembali kepada Allah seperti perantau yang kembali kepada keluarganya, sedangkan orang yang penuh dengan dosa dan maksiat akan datang seperti budak yang kabur, lalu dia diseret kepada majikannya dengan keras…

Allah Ta’ala berfirman :

Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun kemudian datang kepada mereka adzab yang telah diancamkan kepada mereka, niscaya tidak berguna bagi mereka kenikmatan yang mereka rasakan” (QS. Asy-Syu’ara [26] : 205 – 207).

Seburuk-buruk hamba adalah hamba yang diciptakan untuk beribadah, namun syahwat malah menghalangnya untuk beribadah…

Seburuk-buruk hamba adalah hamba yang diciptakan untuk masa yang akan datang, namun masa yang sekarang menghalanginya dari masa yang akan datang…

Ustadz Najmi Umar Bakkar, حفظه الله تعالى

Saudaraku, Jangan Kau Puji Dirimu…

Sebenarnya Allah-lah yang telah menutupi aib-aib dan dosamu, sehingga manusia tidak tahu kekurangan yang sangat banyak pada dirimu…

Kalau bukan karena karunia Allah, niscaya aib-aib dan dosamu akan terbongkar, karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui setiap maksiat yang terang-terangan maupun yang tersembunyi…

وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ ، وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيْمٌ

“…Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorangpun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya…” (QS. An-Nuur [24]: 21)

Ketahuilah, dengan sebab amal yang sangat sedikit dan sederhana yang telah Allah tampakkan kepada orang lain, sehingga orang pun akhirnya menghargai dan menghormati serta memuliakan dirimu…

Ketahuilah, bahwa para ulama itu sangat layak untuk mendapatkan pujian, tetapi justru mereka merasa tidak pantas untuk dipuji dan dikagumi…

(1). Muhammad bin Waasi’ rahimahullah berkata :

Seandainya dosa itu punya bau maka tidak seorang pun dari kalian yang sanggup mendekatiku” (Al-Waro’ no. 527)

(2). Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata :

Jika ada yang mengetahui orang yang tidak ikhlas (orang yang riya’), maka lihatlah pada diriku” (Ta’thirul Anfas hal 299)

(3). Dawud ath-Tha’i rahimahullah berkata :

“Jika manusia mengetahui sebagian kejelekanku, tentu lisan manusia tidak akan pernah lagi menyebutkan kebaikanku” (Ta’thirul Anfas hal 301)

(4). Ibnul Mubarok rahimahullah berkata :

Aku mencintai orang-orang shalih, meskipun aku tidak termasuk dari mereka. Dan aku membenci orang-orang thalih (pelaku dosa dan maksiat) meskipun sebenarnya aku lebih jelek dari mereka” (Hilyatul Auliyaa’ VIII/170)

(5). Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:

Kami memang orang-orang yang memiliki banyak kekurangan, seandainya bukan karena Allah yang menutupinya, tentu telah terbongkar aib-aib kami” (Hilyatul Auliyaa’ IX/181)

Dari seseorang, ia berkata : “Aku melihat wajah Imam Ahmad sangat muram setelah dipuji seseorang (dengan ucapan) : “Semoga Allah membalas jasa-jasamu kepada Islam dengan balasan lebih baik“, maka beliau menjawab : “Justru semoga Allah membalas jasa Islam kepadaku dengan balasan yang lebih baik. Siapakah aku ? Apalah aku ?” (Siyar A’lamin Nubala XI/225)

(6). Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata :

Wahai sekalian manusia…
Sungguh aku akan memberikan nasihat kepada kalian, padahal aku bukanlah orang yang paling shalih dan yang paling baik di antara kalian. Sungguh aku memiliki banyak maksiat dan tidak mampu untuk mengontrol dan mengekang diriku supaya selalu taat kepada Allah. Andaikan seorang mukmin tidak boleh memberikan nasihat kepada saudaranya kecuali setelah mampu mengontrol dirinya, niscaya hilanglah para pemberi nasihat dan minimlah orang-orang yang mau mengingatkan…” (Tafsir al-Qurthubi 1/410)

Subhanallah, alangkah mulianya akhlak para ulama…
Saudaraku, jika orang memujimu, maka berdoalah :

اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ

Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri, dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangka, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka

اللهم إن كنت شهرتني في الدنيا لتفضحني في الآخرة فاسلبه مني

Ya Allah, jika Engkau menjadikan diriku terkenal di dunia ini untuk Engkau bongkar aibku di akhirat nanti, maka cabutlah ketenaran itu dariku

Ustadz Najmi Umar Bakkar, حفظه الله تعالى

Sungguh Betapa Mengherankan…

Berapa kali aku mencela orang-orang yang dijauhi oleh Allah, tapi celaan itu ternyata tidak bermanfaat…

Betapa sering aku menyeru kepada orang-orang yang tuli dan lalai, tapi ternyata seruan itu tidak terdengar…

Betapa seringnya aku berbicara pada hatimu dan aku sangat ingin engkau mendengarkannya…

Wahai orang yang beku air matanya yang tidak pernah bisa menangis karena takut kepada Allah…

Kenapa hatimu dan jasadmu telah engkau gunakan untuk mencintai dunia yang fana…

Kenapa engkau pun selalu saja menampakkan maksiatmu kepada Allah dan kepada makhluk-Nya…

Kenapa engkau selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh-Nya…

Ketahuilah, salah satu tanda dari kesesatan itu ialah hati yang tidak mau tunduk kepada Allah…

Wahai orang yang lalai…

Hitunglah kerugianmu selama ini dengan mengumpulkan yang haram-haram…

Segeralah tinggalkan itu semua…

Jangan sampai engkau masih berada di kebun kelalaian ketika datang panggilan kematian dari-Nya secara tiba-tiba…

Hingga engkau pun berangkat dalam memenuhi panggilan itu dengan cara yang mengenaskan…

Siapa saja yang memperbanyak dosanya, berarti sungguh ia telah memperbanyak penyesalan…

Abu Al-Fadhl Jabrail bin Manshur berkata :

Sampai kapan engkau larut dalam kelalaian ?
Sepertinya engkau menganggap remeh akibat penundaan siksa. Masa santai dan muda telah berlalu, sementara engkau tidak meraih keridhoan dari Tuhanmu ? Sekarang, yang tersisa adalah masa-masa hina dan malas serta engkau tidak mendapatkan manfaat apa-apa…!” (Al-Bidayah wan Nihayah XIII hal 126).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :

Sungguh sangat mengherankan sekali keadaan kebanyakan manusia, waktu terus berlalu dan umurpun habis, namun hatinya masih tetap tertutup dari Allah dan kehidupan akhirat. Dia keluar dari dunia sebagaimana dia memasukinya, dia tidak mencicipi sesuatu yang paling nikmat darinya. Dia hidup seperti hidupnya hewan, dan dia berpindah seperti pindahnya orang-orang yang pailit. Sehingga dia menjadi orang yang hidupnya lemah, matinya menyedihkan, dan kembalinya (ke akhirat) adalah kerugian dan penyesalan” (Thoriqul Hijrotain hal 385)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Tidak akan masuk Neraka seseorang yang menangis karena merasa TAKUT KEPADA ALLAH……” (HR. At-Tirmidzi no.1633)

Mengapa seseorang malu untuk menangis karena takut kepada Allah Ta’ala…

Apakah karena keras dan hitamnya hati dari maksiat yang begitu sering dilakukan…

Apakah hatinya telah terkunci…?

Apakah hatinya sudah lebih keras dari pada batu…?

Hendaklah seseorang itu menangis karena ia tidak dapat menangis…

Ia takut akan dosa-dosanya yang tidak terhitung banyaknya…

Ia takut akan su’ul khatimah…

Ia takut akan adzab kubur…

Ia takut Allah akan menolak amal-amal yang telah ia lakukan…

Ia takut tidak dikumpulkan bersama dengan orang-orang yang ia cintai di akhirat kelak…

Ia takut nantinya ia dan keluarganya akan dimasukkan ke dalam Neraka Jahannam…

Ia takut tidak mendapat rahmat dan pertolongan Allah…

Ia takut tidak mendapatkan keselamatan dan ampunan Allah…

Ia takut…! Ia takut…! Ia takut…!

Oh…betapa keringnya mata dari air mata yang mengalir…

Oh…betapa jauhnya hati dari rasa takut kepada Allah…

Oh…betapa malunya diri yang selalu dipandang oleh Allah sedang bermaksiat kepada-Nya…

Oh…betapa sedikitnya ibadah dan doa yang dipersembahkan kepada Allah dalam keadaan ikhlas…

Ya Allah, jadikanlah rasa takut kepada-Mu merupakan sesuatu yang paling kami takuti…

Ya Allah, lindungilah kami dari kedua mata kami yang tidak pernah menangis karena takut kepada-Mu…

Wahai Rabb, lindungilah kami dari kedua mata kami yang tidak pernah menangis karena mengharap ampunan dan rahmat-Mu…

Ya Allah, lindungilah kedua mata kami yang tidak pernah menangis karena bertaubat kepada-Mu…

Ya Allah, gantikan air mata kami yang menetes karena-Mu dengan air penyejuk yang akan menyejukkan kami dari panasnya api Neraka…

Ustadz Najmi Umar Bakkar, حفظه الله تعالى

30 KIAT Agar Selamat Dari Maksiat…

01. Meyakini bahwa dosa itu ancamannya sangat berat, baik di dunia maupun di akhirat.

02. Menumbuhkan sifat muraqabah (selalu merasa diawasi oleh Allah), sehingga akan melahirkan rasa takut kepada Allah.

03. Meyakini bahwa semua perbuatan di dunia ini akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah.

04. Mempelajari kisah-kisah tentang keutamaan orang yang mampu menjaga dirinya dari yang haram, dan menolak maksiat karena takut kepada Allah.

05. Meyakini bahwa mengikuti hawa nafsu barang sesaat saja akan menuai penyesalan dan menjerumuskan seseorang kepada kehinaan.

06. Meninggalkan sarana dan prasarana yang dapat mengantarkan kepada syahwat dan hawa nafsu.

07. Bergaul dengan orang-orang yang dikenal keshalihannya dan ketaqwaannya kepada Allah.

08. Menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat, jika hal ini tidak dilakukan, maka akan tersibukkan dengan perkara yang bathil dan sia-sia.

09. Apabila meninggalkan sesuatu, maka meninggalkannya karena Allah, niscaya Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik.

10. Memperbanyak doa perlindungan kepada Allah dari gangguan dan bisikan syaitan, membaca istighfar, dzikir dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.

11. Tidak meninggalkan shalat fardhu secara berjamaah di masjid (bagi laki-laki).

12. Mempelajari apa saja perangkap dan tipu daya syaithan yang menjerumuskan kepada dosa.

13. Berusaha untuk memperbanyak puasa sunnah dan shalat malam.

14. Bersegera untuk menikah dengan pasangan yang shalih atau shalihah.

15. Mencari guru yang nasihat-nasihatnya selalu membekas dan memberikan sentuhan-sentuhan rasa takut kepada Allah dan mengingatkan hati akan akhirat.

16. Sering kali membaca kisah-kisah dari penghuni Surga dan penghuni Neraka.

17. Sering kali membaca kisah-kisah akhir hayat dari pelaku dosa dan maksiat.

18. Menumbuhkan rasa takut akan datangnya maut secara tiba-tiba sebelum sempat bertaubat, dan sering kali ziarah kubur, untuk mengingat kematian dan akhirat serta melembutkan hati.

19. Memperbanyak mendatangi majelis-majelis ta’lim yang membahas tentang tazkiyatun nufus yang dapat menggugah dan menggetarkan jiwa.

20. Mencegah jiwa dari kesenangan yang halal dan diperbolehkan, supaya ia terbiasa meninggalkan yang haram.

21. Berusaha untuk menundukkan pandangan pada perkara yang tidak halal untuk di lihat.

22. Memikirkan kekurangan-kekurangan seseorang yang sedang disukai, yang belum halal baginya.

23. Tidak berinteraksi dengan yang bukan mahram, kecuali jika ada keperluan yang sangat.

24. Tidak berlebihan dalam makan dan minum, atau sementara tidak memakan makanan atau meminum minuman yang bisa mempercepat timbulnya syahwat yang tinggi.

25. Menghukum diri sendiri dengan berpuasa atau bersedekah setiap jiwa terkalahkan oleh hawa nafsu.

26. Selalu berusaha ikhlas mengharapkan wajah Allah semata dalam setiap gerak dan diam, sembunyi-sembunyi dan terang-terangan.

27. Selalu memandang sedikit amal shalih yang pernah dikerjakan, meskipun hakikatnya banyak.

28. Memahami hakikat dunia yang hina dan tidak kekal, serta yakin akan kehidupan akhirat yang lebih baik dan abadi.

29. Selalu menanamkan rasa cinta kepada Allah, sehingga akan meninggalkan maksiat karena cintanya itu.

30. Bersungguh-sungguh dan terus-menerus dalam mengamalkan semua kiat-kiat diatas.

Hindarilah Maksiat…Nikmatnya Sesaat…
Tapi Penyesalannya…Sepanjang Hayat…

Hari yang paling baik adalah ketika tidak berbuat dosa dan maksiat kepada Allah Ta’ala, dan amal yang paling baik adalah amal yang diterima oleh Allah Ta’ala, dan waktu yang paling baik adalah waktu di saat wafat dalam keadaan husnul khatimah…

Ustadz Najmi Umar Bakkar, حفظه الله تعالى

Ancaman Berdusta Atas Nama Allah dan Rasul…

Perkataan dalam agama yang “Tidak Ada Keterangannya” di dalam al-Qur’an, hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, perkataan para sahabat Nabi dst tidak boleh dijadikan sandaran dalam berdalil atau disebarluaskan !

Pada saat ini semakin banyak orang yang tidak berhati-hati dalam menukil tulisan, pembicaraan, artikel dll, baik di group WA, Telegram, Facebook atau media sosial lainnya, tanpa memastikan terlebih dahulu tentang kebenarannya, sehingga mereka sering kali dengan mudahnya menshare dari hadits palsu, bathil, tidak ada asal usulnya, munkar, dho’iifun jiddan dll. Hal itu jelas dapat menyesatkan manusia dan memfitnah mereka serta membawa kepada kedustaan.

Dan ini merupakan perbuatan dosa besar, karena menyandarkan suatu perkataan dusta kepada Allah dan Rasul-Nya, padahal Allah dan Rasul-Nya tidak pernah berkata seperti itu.

Tidakkah takut dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي قَالَا الَّذِي رَأَيْتَهُ يُشَقُّ شِدْقُهُ فَكَذَّابٌ يَكْذِبُ بِالْكَذْبَةِ تُحْمَلُ عَنْهُ حَتَّى تَبْلُغَ الْآفَاقَ فَيُصْنَعُ بِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Semalam aku melihat dua orang mendatangiku (yaitu dua malaikat yang menjelma menjadi dua lelaki), mereka berdua berkata : “Orang yang engkau lihat dirobek sisi mulutnya hingga pipinya adalah seorang pendusta yang berdusta dengan satu dusta, lantas dusta tersebut disebarkan hingga mencapai penjuru ufuq, maka dia disiksa demikian hingga hari kiamat” (HR. Bukhari no.6096, hadits dari Samuroh bin Jundub)

Allah Ta’ala telah mengingatkan kita agar senantiasa dan selalu mengecek kebenaran suatu berita :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

(1). “Wahai orang-orang yang beriman ketika datang kepada kalian orang yang fasik dengan membawa suatu berita maka tabayyunlah (carilah kebenaran berita itu)…” (QS. Al-Hujurat : 6)

(2). “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al-Israa’ : 36)

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ , إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ

(3). “Dan tiadalah yang diucapkan (Rasul) itu (yaitu Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. An-Najm : 3-4)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

(4). “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia mengambil tempat duduknya di Neraka” (HR. Bukhari no. 107 dan Muslim no. 3, hadits dari Abu Hurairah).

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

(5). “Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta atas nama orang lain. Karena barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia mengambil tempat duduknya dari Neraka” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4, hadits dari al-Mughirah)

إِنَّ الَّذِي يَكْذِبُ عَلَيَّ يُبْنىَ لَهُ بَيْتٌ فىِ النَّارِ

(6). “Sesungguhnya orang yang berdusta atas namaku akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di dalam Neraka” (HR. Ahmad II/ 32, 103, 144, hadits dari Ibnu Umar, lihat Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir no. 1694 dan Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 1618)

سَيَكُوْنُ فىِ آخِرِ الزَّمَانِ نَاسٌ مِنْ أُمَّتىِ يُحَدِّثُوْنَكُمْ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوْا أَنْتُمْ وَ لاَ آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَ إِيَّاهُمْ

(7). “Pada akhir zaman nanti akan ada orang-orang dari umatku yang memberitakan kepada kalian suatu hadits yang tidak pernah didengar oleh kalian dan juga oleh bapak-bapak kalian. Oleh karena itu berhati-hatilah kalian kepada mereka. Sehingga mereka tidak akan bisa menyesatkan kalian dan juga tidak bisa menebar fitnah kepada diri kalian” (HR. Muslim no.7, hadits dari Abu Hurairah)

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

(8). “Cukuplah seseorang dianggap pendusta ketika dia menceritakan (menyebarkan) setiap apa saja yang dia dengar” (HR. Muslim no.5 dan Abu Dawud no.4992, lihat ash-Shahiihah no.205).

Imam Ibnu Hibban berkata : “Di dalam hadits ini ada ancaman bagi seseorang yang menyampaikan setiap apa yang dia dengar sampai dia tahu dengan seyakin-yakinnya bahwa hadits atau riwayat itu adalah shahih” (Kitab Majruhin minal Muhadditsin I/16-17).

Imam an-Nawawi dalam Kitab Syarah Shahih Muslim berkata :

وَأَمَّا مَعْنَى الْحَدِيث وَالْآثَار الَّتِي فِي الْبَاب فَفِيهَا الزَّجْر عَنْ التَّحْدِيث بِكُلِّ مَا سَمِعَ الْإِنْسَان فَإِنَّهُ يَسْمَع فِي الْعَادَة الصِّدْق وَالْكَذِب ، فَإِذَا حَدَّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ فَقَدْ كَذَبَ لِإِخْبَارِهِ بِمَا لَمْ يَكُنْ

Makna hadits dan atsar yang ada dalam bab ini adalah peringatan agar tidak menyampaikan apa saja yang didengarnya. Karena biasanya berita itu ada yang benar dan ada yang dusta. Maka apabila ia membicarakan semua yang didengarnya maka sungguh dia telah dusta karena menyampaikan apa yang sebenarnya tidak ada

Berhati-hatilah dalam menulis, berbicara dan menyebarkan berita yang seperti itu, karena orang itu akan tertuduh sebagai “PENDUSTA“.

Allah Ta’ala berfirman :

قُتِلَ الْخَرَّاصُونَ

(9). “Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta” (QS. Adz-Dzaariyaat : 10)

فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا لِيُضِلَّ النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

(10). “Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa ilmu ? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS. Al-An’aam : 144).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

(11). “Sesungguhnya kedustaan itu akan menjerumuskan kepada kejahatan dan kejahatan itu akan menjerumuskan ke dalam Neraka. Seseorang yang biasa berdusta maka di sisi Allah ia akan dicap sebagai PENDUSTA” (HR. Bukhari no.6094 dan Muslim no.2606, hadits dari Abdullah bin Mas’ud).

إِيَّاكُمْ وَ كَثْرَةَ اْلحَدِيْثِ عَنىِّ فَمَنْ قَالَ عَلَيَّ فَلْيَقُلْ حَقًّا أَوْ صِدْقًا وَ مَنْ تَقَوَّلَ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

(12). “Waspadalah kalian dari banyak menyampaikan hadits dariku. Barangsiapa yang hendak berkata maka berkatalah yang benar atau yang hak. Dan barangsiapa yang berucap atas namaku yang TIDAK pernah aku ucapkan maka bersiaplah tempatnya di Neraka” (HR. Ibnu Majah no.35, Ahmad V/ 297 dan ad-Darimi I/ 77, hadits dari Abu Qatadah, lihat Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir no.2684 dan Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no.1753)

Berhati-hatilah, sudah banyak ikhwan dan akhawat yang tergelincir…

Berhati-hatilah, karena Allah akan menghisab apa yang ditulis dan di sebarkan…

Ini adalah permasalahan besar, hendaklah berilmu terlebih dahulu sebelum beramal…

Maka dari itu, sebelum menyebarkan artikel perhatikanlah adab-adab berikut ini :

(1). Periksa terlebih dahulu kevalidan artikel tersebut.

(2). Bila bc itu berisi pesan agama, maka pastikan keshohihan isi bc tersebut baik dari sisi materi, dalil dan sisi pendalilannya. Bertanyalah pada orang yang berilmu.

(3). Bila hanya menukil artikel, maka berilah keterangan sumber artikel tersebut.

(4). Bila terlanjur salah dalam menyampaikan artikel maka segeralah meluruskan artikel tersebut dan tidak perlu malu, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah.

(5). Tidak semua yang didengar atau dibaca lantas langsung disebarkan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

Diharuskan bagi seorang yang ingin menilai suatu ucapan, perbuatan atau golongan untuk berhati-hati dalam menukil dan tidak memastikan kecuali (setelah) benar-benar terbukti, tidak boleh mencukupkan diri hanya dengan isu yang beredar, apalagi jika hal itu menjurus kepada celaan terhadap seorang ulama” (Dzail at-Tabr al-Masbuk hal 4 oleh as-Sakhawi, dari Qashash Laa Tatsbutu II/16 oleh Masyhur bin Hasan Salman).

Ustadz Najmi Umar Bakkar, حفظه الله تعالى 

Kala Dipuji…

Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berdoa saat dipuji :

اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ

Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri, dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangka, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no.4876)

Lihatlah contoh para ulama yang tidak merasa bahwa mereka itu pantas untuk dikagumi :

(1). Muhammad bin Waasi’ rahimahullah berkata :

Seandainya dosa itu punya bau maka tidak seorang pun dari kalian yang sanggup mendekatiku” (Al-Waro’ no. 527)

(2). Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata :

Jika ada yang mengetahui orang yang tidak ikhlas (orang yang riya’), maka lihatlah pada diriku” (Ta’thirul Anfas hal 299)

(3). Dawud ath-Tha’i rahimahullah berkata :

Jika manusia mengetahui sebagian kejelekanku, tentu lisan manusia tidak akan pernah lagi menyebutkan kebaikanku” (Ta’thirul Anfas hal 301)

(4). Ibnul Mubarok rahimahullah berkata :

Aku mencintai orang-orang shalih, meskipun aku tidak termasuk dari mereka. Dan aku membenci orang-orang thalih (pelaku dosa dan maksiat) meskipun sebenarnya aku lebih jelek dari mereka” (Hilyatul Auliyaa’ VIII/170)

(5). Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:

Kami memang orang-orang yang memiliki banyak kekurangan, seandainya bukan karena Allah yang menutupinya, tentu telah terbongkar aib-aib kami” (Hilyatul Auliyaa’ IX/181)

Ustadz Najmi Umar Bakkar, حفظه الله تعالى