* Adakah Tahlilan Kematian Dalam Islam ? *
Takziyah merupakan sesuatu yang disunnahkan, yaitu dengan cara menasihati, menghibur, mendoakan, memberi bantuan kepada keluarga mayit dll. Dan bukannya dilakukan dengan cara “sengaja” untuk berkumpul-kumpul dengan diagendakan dan direncanakan seperti yang dilakukan oleh kaum muslimin dengan nama acaranya “Tahlilan”.
Perhatikan keterangan di bawah ini :
(1). Dari Jabir bin Abdillah Al-Bajali ia berkata :
“Kami (para sahabat) menganggap bahwa berkumpul-kumpul di (rumah) keluarga mayit dan membuatkan makanan sesudah mayit ditanam merupakan bagian dari NIYAAHAH (meratapi mayit)” (HR.Ahmad II/204 no.6905, Ibnu Majah no.1612 dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir no.2278, hadits ini dishahihkan oleh para ulama seperti Imam an-Nawawi, Ibnu Katsiir, al-Buushiiriy, Ibnu Hajar al-Haitsami, asy-Syaukani, Ahmad Syakir, al-Albani dll).
(2). Jarir pernah bertamu kepada Umar, lalu Umar bertanya : “Apakah mayit kalian diratapi ?” Jawab Jarir : “Tidak”. Lalu Umar bertanya lagi : “Apakah orang-orang berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan ?”. Jawab Jarir : “Ya”. Maka Umar berkata : “Yang demikian adalah RATAPAN” (Al-Mughni III/497 oleh Imam Ibnu Qudamah dengan tahqiq Syaikh DR.Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki dan Mushannaf Ibnu Abi Syaibah II/487).
Imam asy-Syafi’i berkata :
“Dan aku membenci al ma’tam, yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun di situ tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan” (Al-Umm II/638 dengan tahqiq DR.Rif’at Fauzi Abdul Muthalib).
Ini baru masalah berkumpul saja, lalu bagaimana jika keluarga mayit menyediakan makanan lalu dilanjutkan dengan apa yang kita namakan di sini sebagai tahlilan ?!
Imam Ahmad bin Hambal berkata :
“Ini termasuk perbuatan masyarakat jahiliyah” (Taudhihul Ahkaam Syarah Bulughul Maram III/271 oleh Syaikh Abdullah al-Bassam).
Imam An-Nawawi berpendapat dengan menukil perkataan penulis kitab asy-Syaamil dan ulama lainnya :
“Adapun hidangan yang dibuat keluarga mayit dan berkumpulnya manusia untuk hidangan itu, maka hal itu tidaklah dinukil sedikitpun keterangan (dalil), tidak disunnahkan dan itu adalah bid’ah” (Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab V/282 dan Raudhatuth Thaalibiin II/145).
Imam as-Suyuthi berkata :
“Termasuk perkara bid’ah adalah berkumpul-kumpulnya orang-orang untuk ta’ziyah kepada keluarga mayit” (Al-Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtidaa’ hal 288 dengan tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman).
Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna berkata :
“Telah sepakat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah HARAM karena meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para Shahabat telah memasukkannya (yakni berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit) bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram” (Fathur Rabbani Tartib Musnad Imam Ahmad bin Hambal 8/95-96) .
Kemudian Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna di akhir syarahnya atas hadits Jarir menegaskan :
“Maka, apa yang biasa dikerjakan oleh kebanyakan orang sekarang ini yaitu berkumpul-kumpul (di tempat ahli mayit) dengan alasan ta’ziyah dan mengadakan penyembelihan, menyediakan makanan, memasang tenda dan permadani dan lain-lain dari pemborosan harta yang banyak dalam seluruh urusan yang bid’ah ini, yang mana mereka tidak bermaksud kecuali untuk bermegah-megah dan pamer supaya orang-orang memujinya bahwa si fulan telah mengerjakan ini dan itu dan menginfakkan hartanya untuk tahlilan bapak-nya. Semuanya itu adalah HARAM menyalahi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan salafush shalih dari para shahabat dan tabi’in dan tidak pernah diucapkan oleh seorangpun juga dari Imam-Imam agama (kita).
KESIMPULAN
(1). Berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit hukumnya adalah “BID’AH” dengan kesepakatan para shahabat dan seluruh imam dan ulama termasuk didalamnya imam empat.
(2). Takziyah merupakan sesuatu yang disunnahkan, yaitu dengan cara menasihati, menghibur, mendoakan, memberi bantuan kepada keluarga mayit dll. Dan bukannya dilakukan dengan cara “sengaja” untuk berkumpul-kumpul dengan diagendakan dan direncanakan seperti yang dilakukan oleh kaum muslimin dengan nama acaranya “Tahlilan”.
(3). Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kaum kerabat/sanak famili dan para tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka untuk mereka makan dalam sehari semalam.
Dari Abdullah bin Ja’far ia berkata : “Ketika datang seorang pembawa berita kematian Ja’far saat ia terbunuh, Nabi bersabda : “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena sesungguhnya telah datang kepada mereka sesuatu yang menyibukkan mereka (yakni musibah kematian)” (HR. Abu Dawud II/59, at-Tirmidzi II/134, Ibnu Majah I/490, al-Hakim I/372, al-Baihaqi IV/61, Ahmad I/75, ad-Daaraquthni 194 dan 197, hadits dihasankan oleh Imam al-Albani dalam Ahkaamul Janaaiz hal 211).
Imam asy-Syafi’i berkata :
“Aku menyukai bagi para tetangga mayit dan sanak familinya membuat makanan untuk ahli mayit pada hari kematiannya dan malam harinya yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, karena sesungguhnya yang demikian adalah (mengikuti) sunnah (Nabi)…. “ [Al-Umm I/317]
Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang masalah ini beliau menjawab :
“Dibuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit ) dan tidaklah mereka (ahli mayit ) membuatkan makanan untuk para penta’ziyah” [Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal 139]
(4). Kaum muslimin saat ini sengaja berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dengan cara ditentukan harus pada malam harinya + adanya tahlilan dengan bacaan dan dzikir tertentu dan tidak boleh yang lainnya + harus pada hari-hari tertentu seperti hari ke 1, 2, 3, 7, 40, 100 dst dan tidak boleh sembarang hari dan ini jelas-jelas termasuk perbuatan “BID’AH”, apalagi jika sampai memberatkan keluarga mayit yang miskin dan sedang bersedih.
(5). Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat sangat membenci bid’ah ?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat an-Nasaa’i dikatakan :
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka”
…مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“…barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” (HR. Abu Dawud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676 dll)
“Sesungguhnya setiap amal mempunyai kesemangatan dan setiap kesemangatan mempunyai masa jenuh, maka barangsiapa masa jenuhnya menuju kepada Sunnahku maka ia benar-benar telah mendapat petunjuk dan barangsiapa masa jenuhnya kepada yang selain itu (yaitu bid’ah), maka ia benar-benar binasa” (HR. Al-Baihaqi, lihat Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir no. 2152)
“Dijadikan kehinaan dan kerendahan atas orang-orang yang menyelisihi Sunnahku…” (HR. Ahmad II/50, 92 dan Ibnu Abi Syaibah V/575 no.98 dalam Kitaabul Jihad, dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Tahqiq Musnad Ahmad).
“Tidak ada yang tertinggal dari sesuatu (amal) yang dapat mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka, melainkan telah dijelaskan kepada kalian” (HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, hadits dari Abu Dzar, lihat Ash-Shahihah IV/416)
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718, hadits dari Aisyah).
Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu berkata :
“Sunnah adalah yang telah disunnahkan Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu menjadikan pendapat akal sebagai sunnah bagi umat” (Al-I’tisham I/76).
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata :
“Tidaklah seseorang selalu mengikuti pendapat akalnya dalam hal-hal bid’ah kemudian meninggalkannya, kecuali kepada hal-hal yang lebih buruk darinya” (Al-I’tisham I/92).
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata :
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 8770)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata :
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik” (Al-Ibanah Al-Kubro li Ibni Baththoh 1/219 dan ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal 20).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :
“Tetaplah engkau istiqamah dan berpegang dengan atsar serta jauhilah bid’ah” (Al-I’tisham I/112 oleh Imam asy-Syathibi).
“Sesungguhnya perkara yang paling dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah bid’ah” (Al-Baihaqi dalam as-Sunan IV/316).
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata :
“Berhati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan, karena perkara yang diada-adakan (dalam agama) adalah sesat” (Hilyatul Auliyaa’ 1/233).
Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata :
كُلُّ عِبَادَةٍ لَمْ يَتَعَبَّدْ بِهَا أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فلاَ تَتَعَبَّدُوْا بِهَا ؛ فَإِنَّ الأَوَّلَ لَمْ يَدَعْ لِلآخِرِ مَقَالاً ؛ فَاتَّقُوا اللهَ يَا مَعْشَرَ القُرَّاءِ ، خُذُوْا طَرِيْقَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
“Setiap ibadah yang tidak pernah diamalkan oleh para sahabat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, janganlah kalian beribadah dengannya. Karena generasi pertama tidak menyisakan komentar bagi yang belakangan. Maka bertakwalah kalian kepada Allah wahai para pembaca al-Qur’an (orang-orang alim dan yang suka beribadah) dan ikutilah jalan orang-orang sebelummu” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah).
Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata :
“Sederhana (sedikit) dalam mengamalkan sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh (banyak) menjalankan (tetapi) bid’ah” (Ilmu Ushulil Bida’ hal 55 dan al-Lalika’i I/88).
(6). Takutlah dengan firman Allah Ta’ala :
وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ
لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ
ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya” (QS. Al-Haqqah [69]: 44-46)
Ayat ini dapat digunakan sebagai hujjah ancaman kepada ahli bid’ah yang menyandarkan amalan bid’ah mereka kepada agama.
Perhatikan pada ayat ini, Rasul saja mendapatkan ancaman serius yang menakutkan dari Allah jika beliau mengada-adakan suatu perkara dalam agama yang tidak Allah izinkan, lalu bagaimana dengan nasib pelaku kebid’ahan selain beliau ?
Wahai saudaraku…
Tinggalkan kebid’ahan dalam urusan agama yang mulia dan sudah sempurna ini…
Semoga Allah memberikan hidayah dan taufiq kepadamu…
✍️ Ust Najmi Umar Bakkar