Karena melihat banyaknya ikhwan dan akhaawat yang masih suka duduk di majelisnya ahlul bid’ah, atau mereka yang tidak mengikuti sunnah dan manhaj salaf, maka apakah memang ada larangan duduk bermajelis dan menimba ilmu dari mereka ?
Telah terfitnah sebagian kaum muslimin oleh ahlul bid’ah karena mereka melihat apa yang ada pada ahlul bid’ah tersebut seperti sikap zuhudnya, terlihat seakan-akan khusyu’, mudahnya menangis, atau yang lainnya dari banyaknya ibadah yang mereka lakukan. Namun hal tersebut bukanlah satu ukuran yang benar untuk mengetahui al-haq (kebenaran).
Imam al-Auza’i rahimahullah berkata :
“Telah sampai kepadaku bahwa barangsiapa mengada-adakan satu bid’ah yang sesat, maka syaitan akan membuatnya cinta untuk beribadah atau meletakkan rasa khusyu’ dan mudah untuk menangis agar ia dapat memburunya” [lihat Ushuulus-Sunnah oleh Imam Ahmad bin Hanbal hal 30-37].
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim tersebut sesudah teringat (akan larangan itu)” [QS. Al-An’aam: 68].
Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata :
“Dalam ayat ini terkandung nasihat yang agung bagi mereka yang membolehkan duduk bermajelis dengan ahlul bid’ah, yaitu dengan orang-orang yang suka mengubah-ubah perkataan Allah, mempermainkan Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya, serta mengembalikan pemahaman al-Qur’an dan as-Sunnah kepada hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan bid’ah mereka yang rusak. Maka, jika seseorang tidak mampu mengingkari atau mengubah kebid’ahan mereka, paling tidak dia harus meninggalkan majelis mereka, dan tentu ini mudah baginya, tidak susah. Dan terkadang orang-orang yang menyimpang tersebut menjadikan kehadiran seseorang bersama mereka (meskipun orang tersebut bersih dari kebid’ahan yang mereka lakukan) sebagai syubhat, dengannya mereka mengaburkan (permasalahan) atas orang-orang awam. Jadi, dalam kehadirannya (di majelis mereka) terdapat tambahan mudharat dari sekedar mendengarkan kemungkaran” [lihat Tafsir Fathul Qadir II/185].
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur-an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam” [QS. An-Nisaa’: 140].
Imam ath-Thabari rahimahullah berkata :
“Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas tentang larangan untuk ikut di dalam majelis ahlul bid’ah dari setiap macam pelaku kebid’ahan dan orang-orang fasik yang mereka berbicara tentang kebathilan” [lihat Tafsir ath-Thabari IV/328].
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata :
“Apabila telah tetap (perintah) menjauhi para pelaku kemaksiatan, maka menjauhi para pelaku kebid’ahan lebih utama (diperintahkan)” [lihat Tafsir al-Qurthubi V/418].
*Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :*
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ اْلأَصَاغِرِ
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah seseorang menimba ilmu dari al-Ashaaghir” (HR. Abdullah bin Mubarak dalam Kitab Zuhudnya no.61 dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir juz 22 hal 361-362, lihat Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir no.2207).
Abdullah Ibnul Mubarak rahimahullah berkata bahwa kata al-Ashaaghir dalam hadits tersebut adalah “Ahlul Bid’ah“* [lihat Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah I/95 no. 102 dan Silsilah ash-Shahihah no.695).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata :
“Ini adalah sifat yang sesuai dengan yang disifatkan. Ahli bid’ah adalah kecil meskipun mereka menganggap besar diri-diri mereka dan setiap orang yang menyelisihi nash (dalil) maka dia kecil” (Syarah Hilyah Thalibil ‘Ilmi hal 136).
Lalu apakah tanda dari ahlul bid’ah itu ?
Imam Abu Hatim ar-Raazi rahimahullah berkata :
“Tanda ahlul bid’ah itu adalah (selalu) mencela ahlul atsar (pengikut jejak salafus shalih)” (lihat Aqidah Abi Hatim ar-Raazi hal 69).
Lihatlah perkataan para salaf terdahulu dibawah ini, bagaimana mereka sangat perhatian dan selalu mengingatkan umat dalam masalah ini.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata :
“Janganlah engkau duduk bermajelis dengan para pengikut hawa nafsu, karena bermajelis dengan mereka itu akan menyebabkan hati menjadi sakit” [lihat asy-Syari’ah no. 55 oleh al-Ajurri dan al-Ibaanah oleh Ibnu Baththah no. 619].
Al-Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin rahimahumallah berkata :
“Janganlah kalian bermajelis dengan ahlul ahwa ! Janganlah kalian berdebat dengan mereka ! Dan janganlah kalian mendengar dari mereka !” [lihat Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat al-Kubra VII/172 dan Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah I/133 oleh al-Lalika’i].
لا تجالس صاحب بدعة فانه يمرض قلبك
“Janganlah kalian duduk bersama ahli bid’ah, karena duduk dengan mereka bisa menularkan penyakit (syubhat) dalam hatimu” (Al-I’tisham I/60).
Dari Marhum bin Abdil Aziz al-Aththar, aku mendengar ayahku dan pamanku berkata, kami mendengar al-Hasan al-Bashri melarang bermajelis dengan Ma’bad al-Juhani (seorang tokoh Qodariyyah), ia (al-Hasan) berkata :
لا تجالسوه فإنه ضال مضل
“Jangan kalian bermajelis dengannya ! Karena ia sesat dan menyesatkan” [lihat as-Sunnah II/391 oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dan Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah IV/637 oleh al-Lalika’i].
Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata :
“Barangsiapa mendengarkan ahlul bid’ah dengan pendengarannya, padahal dia mengetahui, maka ia keluar dari penjagaan Allah dan (urusannya) diserahkan kepada dirinya sendiri“
Setelah membawakan perkataan Sufyan ats-Tsauri di atas, al-Hafidz adz-Dzahabi berkata: “Kebanyakan para imam Salaf berpendapat dengan tahdzir ini, mereka melihat bahwa hati itu lemah dan syubhat-syubhat itu menyambar-nyambar” [lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ VII/261].
Mubasyir bin Isma’il al-Halabi rahimahullah berkata :
Pernah dikatakan kepada al-’Auzai : “Sesungguhnya ada seseorang yang mengatakan : Aku akan bermajelis dengan ahlus sunnah dan aku akan bermajelis (juga) dengan ahlul bid’ah“. Maka al-’Auza’i berkata : “Orang ini mau menyamakan antara yang haq dan yang bathil” [lihat al-Ibaanah II/456 oleh Ibnu Baththah].
Imam al-’Auza’i rahimahullah berkata :
“Barang siapa yang menutupi bid’ah-nya dari kami, tidaklah samar bagi kami pergaulannya” [lihat al-Ibaanah II/479 oleh Ibnu Baththah].
Ma’mar berkata : Suatu ketika Ibnu Thowus sedang duduk, kemudian datang seorang Mu’tazili lalu berbicara, Ibnu Thawus lalu memasukkan dua jari ke telinganya dan berkata kepada anaknya : “Wahai anakku, masukkan dua jarimu ke dua telingamu dan kencangkanlah ! Jangan engkau dengarkan apa yang ia katakan sedikitpun !” [lihat Hilyatul Auliyaa’ 1/218 dan Siyar A’laamin Nubalaa’ 11/285].
Abu Qilabah rahimahullah berkata :
لا تجالسوا أهل الأهواء، ولا تجادلوهم، فإني لا آمن أن يغمسوكم في الضلالة، أو يلبسوا عليكم في الدين بعض ما لبس عليهم
“Janganlah kalian duduk bersama ahlu ahwa’ (ahlul bid’ah) dan janganlah mendebat mereka dikarenakan sesungguhnya aku tidak merasa aman (khawatir) mereka akan menanamkan kesesatan kepada kalian atau menanamkan keraguan kepada kalian dalam perkara agama, yaitu dengan sebagian kerancuan yang ada pada mereka” (lihat asy-Syari’ah oleh al-Ajurry hal 56 dan al-Ibaanah oleh Ibnu Batthah II/437).
Mufadhdhol bin Muhalhal as-Sa’di rahimahullah berkata :
“Seandainya ahlul bid’ah itu, jika engkau duduk bersamanya, lalu ia berbicara dengan bid’ahnya maka engkau akan mentahdzirnya dan lari darinya. Akan tetapi ia berbicara kepadamu dengan hadits-hadits sunnah pada majelisnya yang tampak, lalu bid’ahnya masuk kepadamu, kemudian bid’ah itu mengenai hatimu, maka kapan bid’ah itu akan keluar dari hatimu ?” [lihat Ibnu Baththoh dalam al-Ibaanah].
Imam Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang bertugas mencari majelis-majelis dzikir, maka lihatlah bersama siapakah majelismu itu, janganlah bersama ahlul bid’ah, karena Allah Ta’ala tidak melihat kepada mereka. Dan salah satu tanda nifaq adalah seseorang bangun dan duduk bersama ahlul bid’ah. Aku mendapati sebaik-baik manusia (yakni tabi’in), mereka semuanya adalah Ahlus Sunnah dan mereka melarang (yakni memperingatkan umat) dari ahlul bid’ah” [lihat Hilyatul Auliyaa’ VIII/104 dan I’tiqaad Ahlis Sunnah 1/138).
Beliau juga berkata :
“Jauhilah olehmu duduk dengan orang yang dapat merusak hatimu (aqidahmu) dan janganlah engkau duduk bersama pengikut hawa nafsu (ahlul bid’ah) karena sungguh aku khawatir kamu terkena murka Allah” [lihat Ibnu Baththoh dalam Al-Ibaanah II/462-463 no. 451-452) dan al-Lalika’i dalam Syarhul Ushul 262].
Imam Ibnul Mubarak rahimahullah berkata :
ليكن مجلسك مع المساكين، وإياك أن تجلس مع صاحب بدعة
“Hendaklah majelismu itu bersama orang-orang miskin dan berhati-hatilah kamu dari duduk dengan ahlul bid’ah” [lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ VIII/399].
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
أهل البدع ما ينبغي لأحد أن يجالسهم ولا يخالطهم ولا يأنس بهم
“Ahli bid’ah itu, tidaklah pantas bagi seseorang untuk bermajelis dengan mereka dan bercampur dengan mereka serta bersikap lunak kepada mereka” [lihat al-Ibaanah II/475 oleh Ibnu Baththah].
Sebagian orang berkata kepada Imam Ahmad bahwa berat baginya untuk berkata si B itu begini dan si C itu begitu (dalam rangka memperingatkan umat dari kebid’ahannya), maka Imam Ahmad pun berkata : “Jika kamu diam dan aku juga diam, maka kapan orang bodoh itu tahu mana yang benar dan mana yang salah ?” (Majmu’ Fatawa 28/231).
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya :
“Mana yang lebih engkau sukai, seseorang berpuasa, shalat dan beri’tikaf atau dia membicarakan (penyimpangan) ahlul bid’ah ?” Maka beliau menjawab : “Kalau dia berpuasa, shalat dan beri’tikaf maka hal itu untuk dirinya sendiri, tapi kalau membicarakan (penyimpangan) ahlul bid’ah maka ini untuk dirinya dan kaum muslimin dan ini lebih utama“.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
“Seandainya Allah tidak memilih orang yang dapat menolak bahaya ahlul bid’ah maka rusaklah agama ini. Dan kerusakannya lebih dahsyat dari pada kerusakan yang ditimbulkan oleh musuh dari kalangan ahli perang, karena mereka jika telah menguasai tidak akan memulai dengan merusak hati serta agama kecuali terakhir. Adapun ahli bid’ah mereka langsung merusak hati” (lihat Majmu’ Fatawa 28/231-232).
Abul Qosim Ismail bin Muhammad bin Fadl at-Taymi al-Asbahany rahimahullah berkata :
“Amalan meninggalkan majelis-majelis ahlul bid’ah dan meninggalkan pergaulan dengan mereka adalah sunnah, supaya hati-hati kaum muslimin yang lemah tidak terpikat dengan sebagian bid’ah mereka, sampai manusia mengetahui bahwasanya mereka adalah ahlul bid’ah. Dan juga jangan sampai bermajelis dengan mereka sebagai perantara untuk menampakkan bid’ah mereka ataupun berdalam-dalam pada perkataan yang tercela. Menjauhi pelaku bid’ah terpuji agar diketahui bahwasanya mereka menyimpang dari jalannya para sahabat رضي الله عنهم” (lihat al-Hujjah fii Bayaanil Muhajah wa Syarah Aqidah Ahlis Sunnah II/550).
Kalaupun seseorang tetap bergaul dengan ahlul bid’ah karena kesombongannya dengan ilmunya dan ia yakin tidak akan terpengaruh, maka ketahuilah, kehadirannya di majelis-majelis ahlul bid’ah atau majelis-majelis yang menyebarkan kesesatan terdapat bahaya-bahaya yang lain.
Dampak negatif akibat dari duduk bermajelis dan bergaul dengan ahlul bid’ah antara lain
? Orang yang duduk bermajelis dengan ahlul bid’ah akan terkena syubhat mereka dan tidak bisa membantahnya, yang akhirnya dia pun terjerumus dalam kesesatan dan kebid’ahan mereka.
? Duduk bermajelis dengan mereka (ahlul bid’ah) bertentangan dengan perintah Allah untuk tidak duduk bersama di majelis mereka dan menentang Rasulullah yang juga telah melarang bermajelis dengan mereka serta menyimpang dari jalan para sahabat.
? Duduk bermajelis dengan ahlul bid’ah akan menumbuhkan rasa kecintaan kepada mereka, padahal Allah telah memerintahkan untuk membenci dan memusuhi mereka.
? Duduk bermajelis dengan ahli bid’ah dapat membahayakan bagi ahli bid’ah itu sendiri.
Karena diantara hikmah menjauhi mereka adalah agar mereka jera dan kemudian rujuk (keluar) dari kebid’ahannya. Adanya orang yang dekat dengan mereka akan menjadi sebab jauhnya mereka dari keinginan untuk bertaubat, karena merasa jalan yang ditempuhnya adalah kebenaran.
? Duduk bermajelis dengan mereka (ahlul bid’ah) dapat menjadi sebab orang lain berburuk sangka kepadanya, meskipun ia tidak terpengaruh dengan bid’ah-bid’ah mereka dan tidak setuju dengan mereka.
(lihat Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Ahwaa’ wal Bida’ II/550-551 oleh Syaikh DR.Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili).
Inilah sebagian dari keburukan yang kita ketahui. Hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tahu betapa banyak mafsadah yang muncul akibat duduk bermajelis dan berteman dengan ahlul bid’ah. Mudah-mudahan ini cukup sebagai nasihat bagi orang yang menginginkan keselamatan agamanya.
Jika datang larangan dari para ulama untuk bermajelis dengan ahlul bid’ah, maka maknanya bukan berarti seseorang yang berilmu dengan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya tidak perlu mendakwahkan mereka kepada kebaikan, tidak membantah mereka dan tidak mendekati majelis-majelis mereka untuk tujuan ini, AKAN TETAPI maksud para ulama di sini adalah kekhawatiran bagi orang yang tidak mampu untuk menolak syubhat-syubhat mereka (ahlul bid’ah) dari dirinya sehingga akan berpengaruh pada hatinya.
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu berkata :
“Agamamu ! Agamamu ! Sesungguhnya ia adalah darah dagingmu, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambilnya. Ambillah dari orang-orang yang istiqomah (di atas sunnah) dan jangan mengambil dari orang-orang yang melenceng (dari sunnah)” (lihat Al-Kifaayah fii ‘Ilmir Riwayah oleh al-Khathib al-Baghdadi hal 121).
Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya ilmu itu adalah agama, maka hendaklah kalian berhati-hati dari siapa kalian mengambil agama ini” (lihat Muqaddimah Shahiih Muslim Bisyarhin Nawawi I/126).
Kita boleh menerima nasihat dari siapa saja jika memang itu benar (meskipun pelaku maksiat), tetapi kita tidak boleh menuntut ilmu dan duduk bermajelis kepada ahlul bid’ah, tetapi haruslah dengan orang yang agamanya, aqidahnya, ibadah dan manhajnya benar.
Ustadz Najmi Umar Bakkar, حفظه الله تعالى