Al-Imam Ibnul Qoyyim rohimahullah berkata,
وأما عبودية النعم فمعرفتها والاعتراف بها أولا، ثم العياذ به أن يقع في قلبه نسبتها وأضافتها إلى سواه وإن كان سببا من الأسباب، فهو مسببه ومقيمه، فالنعمة منه وحده بكل وجه واعتبار، ثم الثناء بها عليه ومحبته عليها وشكره بأن يستعملها في طاعته
Adapun bentuk ibadah ketika mendapat kenikmatan adalah :
1. meyakini dan mengakui bahwa itu adalah suatu kenikmatan.
2. berlindung kepada Allah agar tidak terbetik dalam hatinya untuk menyandarkan nikmat tersebut kepada selain-Nya, meskipun hal itu adalah sebab. Dialah Allah yang mentakdirkannya sebagai sebab. Semua nikmat hanya berasal dari-Nya semata dari segala sisi.
3. selanjutnya adalah memuji, mencintai, dan bersyukur kepada Allah; dengan menggunakan nikmat tersebut untuk taat kepada-Nya.
ومن لطائف التعبد بالنعم أن يستكثر قليلها عليه، ويستقل كثير شكره عليها، ويعلم أنها وصلت إليه من سيده من غير ثمن بذله فيها، ولا وسيلة منه توسل بها إليه، ولااستحقاق منه لها، وأنها لله فى الحقيقة لا للعبد، فلا تزيده النعم إلا انكسارا وذلا وتواضعا ومحبة للمنعم
4. (kemudian) di antara bentuk keindahan ibadah saat mendapatkan kenikmatan adalah dia menganggap bahwa sedikit nikmat yang dia dapatkan sudah terasa banyak. Demikian pula dia menganggap bahwa banyaknya rasa syukur yang dia lakukan, masih terasa sedikit.
5. dia menyadari bahwa nikmat dari Allah tersebut sampai kepadanya dengan cuma-cuma; tanpa dia menempuh suatu sarana untuk memperolehnya; dan dia tidak pula merasa sebagai pihak yang berhak untuk mendapatkannya.
6. dia memahami bahwa nikmat tersebut hakikatnya adalah milik Allah, bukan kepunyaan hamba. Oleh sebab itu, tidaklah nikmat bertambah kepadanya melainkan bertambah pula kerendahan, penghambaan, tawadhu, dan rasa cintanya kepada Dzat Pemberi Nikmat.
وكلما جدد له نعمة أحدث لها عبودية ومحبة وخضوعا وذلا، وكلما أحدث له قبضة أحدث له رضى، وكلما أحدث ذنبا أحدث له توبة وانكسارا واعتذارا، فهذا هو العبد الكيس، والعاجز بمعزل عن ذلك
– Setiap kali ada nikmat yang baru, dia menambah ibadah, cinta, ketundukan, dan kerendahan kepada-Nya.
– Setiap ada nikmat yang dicabut, dia munculkan rasa ridho kepada-Nya.
– Setiap kali melakukan dosa, dia mempersembahkan taubat, sangat menyesal, dan memohon ampun kepada-Nya.
Inilah hamba yang cerdas.
Adapun orang yang lemah, jauh dari bayangan untuk bisa melakukan semua itu.
(Al-Fawaid, hlm. 164-165)