Ilmu agama bukan untuk dibanggakan, atau hanya untuk pengetahuan… Tapi dia menuntut Anda untuk diamalkan.
Dalam sebuah tulisannya, Tajuddin Assubki -rohimahulloh- yang wafat tahun 771 H / 1370 M seakan menjelaskan keadaan sebagian penuntut ilmu di masa kita ini, beliau mengatakan:
“Diantara mereka (yang berilmu agama), ada segolongan orang yang memang tidak meninggalkan amal-amal wajib, tapi senang ilmu dan PERDEBATAN, dia senang bila dikatakan: “si fulan sekarang adalah pakar fikih di daerah ini”, kesenangannya terhadap hal-hal itu sampai mendarah daging, hingga kesibukannya untuk itu menghabiskan sebagian besar waktunya.
Dan dia pun menyepelekan AlQur’an, lupa dengan hapalan Qur’annya, tapi meski seperti itu dia tetap bangga, dan mengatakan: “Kamilah para ulama.”
Apabila dia mendirikan sholat fardhu, dia memang sholat 4 reka’at, tapi tidaklah dia mengingat Allah di dalam sholatnya kecuali sedikit, sholatnya dicampuri dengan memikirkan permasalahan dalam bab haidh dan jinayat yang pelik…
Lalu bila kamu menanyakan kepada salah seorang dari mereka: “Apakah kamu sudah sholat Sunnah Zhuhur ?” Dia akan mengatakan kepadamu: “Imam Syafi’i telah mengatakan: menuntut ilmu lebih afdhol daripada sholat sunnah.“
Atau bila kamu mengatakan kepadanya: “Khusyu’ kah kamu dalam sholatmu ?”. Dia akan mengatakan: “Khusyu’ tidaklah termasuk syarat sah sholat.”
Atau bila kamu katakan kepadanya: “Kamu lupa hapalan Qur’anmu ?”. Dia akan mengatakan kepadamu: “Tidak ada yang berpendapat bahwa melupakan hapalan Qur’an itu dosa besar, kecuali penulis kitab Al-‘Uddah, dan mana dalil pendapatnya itu ?!”.
Maka katakanlah kepadanya: “Wahai pakar fikih, memang perkataan itu benar, tapi untuk tujuan kebatilan”, karena Imam Syafi’i tidaklah menginginkan dari perkataannya itu apa yang kau inginkan… dan dikhawatirkan orang yang keadaannya seperti ini, akan keluar total dari agamanya.
[Kitab: Mu’idun Ni’am wa Mubidun Niqom, Tajuddin Assubki, hal: 84-85].
Ustadz DR. Musyaffa’ Ad Dariny MA, حفظه الله تعالى
da0703152132