Ust. M Abduh Tuasikal Lc
Kuas dari bulu babi jadi bahan yg diperbincangkan saat ini. Realitanya, kuas semacam ini sudah banyak tersebar. Mungkin karena bulu babi dijual dengan harga relatif murah sehingga banyak digunakan untuk kuas. Kuas ini digunakan untuk berbagai keperluan termasuk pula untuk mengoles kue, di antara kuas tersebut adalah yg berlabel “bristle”. Apakah kuas seperti ini boleh digunakan? Bagaimana dengan bulu babi itu sendiri, apakah najis?
Menurut mayoritas ulama, bulu atau rambut babi itu najis, maka tidak boleh digunakan karena sama saja menggunakan sesuatu yang najis secara zatnya. Ulama Hanafiyah masih membolehkan penggunaannya jika dalam keadaan darurat. Sedangkan ulama Malikiyah menganggap bahwa bulu babi itu suci. Jika bulu tersebut dipotong, maka boleh saja digunakan, meskipun terpotongnya setelah babi tersebut mati. Alasannya, bulu atau rambut bukanlah bagian yg memiliki kehidupan. Sesuatu yg tidak memiliki kehidupan, maka tidaklah najis ketika mati. Namun dianjurkan untuk mencuci bulu tersebut jika ragu akan suci atau najisnya. Sedangkan jika bulu babi tersebut dicabut, maka tidaklah suci.
Jadi, ulama Malikiyah bersendirian dalam mengatakan sucinya bulu babi, berbeda dengan pendapat mayoritas ulama madzhab. Menurut Malikiyah, bila bulu tersebut dipotong, bukan dicabut, maka bulu tersebut tetap suci. Beda halnya jika dicabut karena akar dari tubuh babi tersebut najis, sedangkan atasnya tetap suci. Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَى حِينٍ
“Dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta & bulu kambing, alat-alat rumah tangga & perhiasan (yg kamu pakai) sampai waktu (tertentu)”(QS. An Nahl: 80). Ayat ini disebutkan dalam rangka menjelaskan nikmat yg telah diberi. Yg dimaksudkan dalam ayat ini mencukup bulu ketika masih hidup ataupun telah mati.
Baca selengkapnya di:
http://rumaysho.com/hukum-islam/thoharoh/4365-problema-kuas-dari-bulu-babi.html