MENAFIKAN ALLAH DI ATAS ARSY-NYA, BUKAN AKIDAH AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH… karena itu bertentangan dengan Alqur’an, Assunnah, Ijma’ Sahabat, dan fitrah alami manusia.
Apapun retorika yang dipakai… dan siapapun yang menjadi rujukan… jika itu menyelisihi Alqur’an, Assunnah, dan Ijma’ para sahabat = maka tetap saja harus ditinggalkan, karena itu kebatilan.
Sudah sangat tegas Allah berfirman (yang artinya):
“Allah yang maha penyayang itu berada di atas Arsy” [QS. Thaha: 5].
Peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang sangat masyhur, juga sangat tegas menjelaskan bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- akhirnya di bawa ke atas menghadap Allah, untuk menerima syariat shalat lima waktu.
Dan ketika itu beliau melewati langit pertama hingga langit ketujuh, kemudian naik lagi hingga menemui Rabbnya -subhanahu wa ta’ala.. ini jelas menunjukkan bahwa Allah berada di atas makhluk-Nya, tidak ada yang lebih tinggi dari-Nya.
Sahabat Ibnu Mas’ud -radhiallahu anhu- juga berkata:
“Jarak antara langit dunia dengan langit setelahnya adalah jarak perjalanan 500 tahun, jarak antara setiap dua langitnya adalah 500 tahun, jarak antara langit ketujuh dengan Alkursi adalah 500 tahun, jarak antara Al-kursi dengan air adalah 500 tahun, dan Arsy di atas air itu, dan Allah -jalla dzikruhu- di atas Arsy, tapi Dia mengetahui apapun yang antum lakukan“.
[HR. At-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Kabir: 8987, sanadnya hasan].
Bahkan Ibnu Abdil Barr -rohimahulloh- (wafat 463 H) telah mengatakan, bahwa seluruh ulama dari generasi Sahabat dan Tabi’in mengatakan bahwa Allah itu di atas Arsy. [Lihat: Attamhid 7/138-139].
Jika Anda masih sulit menerima keterangan ini, cobalah merenung saat Anda berdo’a, mengapa tangan Anda menengadah ke atas ? Mengapa juga hati Anda menghadap ke atas ? bisakah Anda mengingkari fitrah ini.
Dan masih banyak lagi, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas, berada di atas Arsy-Nya… TIDAK SEPANTASNYA ORANG YANG MENGAKU BERAKIDAH AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH MENOLAK KETERANGAN INI, HANYA KARENA AKALNYA TIDAK MAMPU MEMAHAMINYA DENGAN BAIK DENGAN BAIK dan dengan tetap mensucikan Allah dari menyerupai makhluk-Nya.
Harusnya kita menerima kabar langit yang bersanad shahih tersebut dengan apa adanya, memaknainya sesuai dengan kemuliaan dan keagungan Allah ta’ala, dengan tanpa mentakwilnya, atau menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
Seringkali orang menolak nash syariat, karena adanya kaidah yang dia anggap bertentangan dengan nash tersebut, contoh mudahnya: sebagian orang menolak ketentuan hukum waris dalam Alqur’an, karena membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan, hal itu dia anggap bertentangan dengan kaidah keadilan Allah.
Padahal sebenarnya “KEADILAN” itu tidak harus berarti persamaan, tapi keadilan adalah memberikan sesuatu sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masing-masing. Tentunya kebutuhan anak laki-laki jauh lebih banyak daripada kebutuhan anak perempuan.
(Anak laki-laki saat menikah harus memberikan mahar, sedang yang perempuan malah mendapatkan mahar… saat sudah menikah, anak laki-laki harus menafkahi isterinya, sedang anak perempuan, malah mendapatkan nafkah dari suaminya… saat ada yang terjatuh dalam pembunuhan secara tidak sengaja, saudara laki-laki harus menanggung diyat-nya, sedang yang perempuan tidak).
Hal ini juga terjadi dalam bab sifat-sifat Allah, sebagian orang menolak kabar tentang sebagian sifat Allah, karena dalam pandangan dia, hal itu tidak sesuai dengan kaidah bahwa Allah tidak menyerupai makhluk-Nya.
Padahal kriteria “TIDAK MENYERUPAI MAKHLUK” itu tidak berarti harus menafikan atau mentakwil sifat tersebut, tapi bisa juga dengan menetapkan sifat itu sesuai kemuliaan dan keagungan Allah, yang sangat jauh berbeda dengan makhluk-Nya… Dan inilah yang harusnya diambil oleh seorang hamba yang menjunjung tinggi Firman Allah dan Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ibnul Qoyyim -rahimahullah- telah menyebutkan perkataan yang pantas ditorehkan dengan tinta emas dalam hal ini, beliau mengatakan:
“Adapun kita membuat suatu kaidah, dan kita katakan itulah hukum asalnya, kemudian kita menolak Assunnah (Hadits) karena alasan menyelisihi kaidah itu, maka demi Allah (ini tidak boleh sama sekali), sungguh merusak SERIBU kaidah yang tidak dibuat Allah dan Rasul-Nya lebih wajib bagi kita, daripada menolak SATU hadits“. [I’lamul Muwaqqi’in 2/252].
Dan jauh sebelum itu, Imam Syafi’i -rahimahullah- telah mengatakan:
“Tidak boleh ada qiyas, bila sudah ada khabar“. [Ar-Risalah, hal: 599].. dan itu berarti: “Tidak boleh ada ijtihad, bila sudah ada nash yang menjelaskan”, karena qiyas dan ijtihad menurut beliau adalah dua kata yang satu makna. [Ar-Risalah, hal 477].
Sehingga bila sudah ada nash yang menjelaskan tentang dimana keberadaan Allah dan sifat-sifat Allah lainnya, maka tunduklah kepada nash-nash itu, dan buanglah semua ijtihad kita.. lalu nafikan semua konsekuensi batil yang berasal dari kepala kita yang lemah ini.
Karena nash yang haq, pasti punya konsekuensi yang haq, dan itulah yang harusnya diambil.
Bila Anda menemukan konsekuensi yang batil dari nash yang haq, maka yakinlah bahwa konsekuensi yang batil itu pasti dari akal Anda yang lemah, dan itulah yang harus Anda buang.
Nash yang haq tidak mungkin menunjukkan kebatilan bila dipahami dengan baik dan lurus.
Inilah manhaj ulama salaf kita, manhaj ahlussunnah waljama’ah dalam bab sifat-sifat Allah ta’ala. wallahu a’lam.
Silahkan dishare… semoga bermanfaat.
Ustadz DR Musyaffa’ Ad Dariny MA, حفظه الله تعالى