Fadhilatusy Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili, حفظه الله تعالى
✔ Definisi Sya’ban
Sya’ban adalah nama untuk bulan kedelapan dari penanggalan arab yang jatuh diantara bulan Rojab dan Ramadhan. Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Itulah bulan yang dilalaikan oleh manusia yang jatuh diantara bulan Rojab dan Ramadhan” (HR. Ahmad, An-Nasa’i, dan dishahihkan oleh pentahqiq kitab Al-Musnad).
Kata “Sya’ban” itu sendiri bermakna berpencar. Ada dua pendapat ulama tentang sebab penamaan ini:
1. Dahulu orang-orang arab berpencar di bulan ini karena mencari air atau untuk berperang. Ibnu Faris berkata: “Dinamakan bulan Sya’ban karena mereka (orang arab) berpencar untuk mencari air.” Imam An-Nawawi rohimahullahu berkata: “Dinamakan Sya’ban karena mereka berpencar di bulan ini disebabkan banyaknya peperangan.”
2. Ada pula yang mengatakan dinamakan Sya’ban karena muncul diantara bulan Rojab dan Ramadhan. Tsa’lab berkata: “Sebagian mengatakan sebab dinamakan Sya’ban karena muncul diantara bulan Ramadhan dan Rojab.”
✔ Amalan Yang Disyariatkan di Bulan Sya’ban
⚫ MEMPERBANYAK PUASA
Di dalam hadits disebutkan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dahulu banyak melakukan puasa di bulan Sya’ban bahkan beliau lebih banyak berpuasa dibanding bulan-bulan selainnya. Diriwayatkan oleh Aisyah rodhiyallahu ‘anha bahwa beliau pernah berkata: “Dahulu Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa (di bulan Sya’ban) sehingga kami mengatakan beliau tidak pernah berbuka. Dan beliau berbuka hingga kami mengatakan beliau tidak berpuasa. Tidak pernah aku melihat Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa satu bulan penuh selain Ramadhan. Dan beliau tidak pernah memperbanyak puasa selain di bulan Sya’ban.” (Shahih Bukhari bersama Fathul Bari 4/213 no.1969 dan Shahih Muslim 2/810 no.1156)
Di dalam riwayat lain dari Aisyah rodhiyallahu ‘anha beliau berkata: “Tidak pernah Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dalam suatu bulan lebih banyak dari bulan Sya’ban. Bahkan beliau puasa Sya’ban sebulan penuh.” (HR. Bukhari 4/213 no.1970)
Imam Tirmidzi menukil ucapan Abdullah bin Mubarak rahimahumallahu, beliau mengatakan: “Di dalam bahasa Arab diperbolehkan untuk mengatakan dia berpuasa sebulan penuh jika dia banyak berpuasa di bulan tersebut.” Imam Tirmidzi mengatakan: “Abdullah bin Mubarak bermaksud menggabungkan kedua hadits di atas.” (Sunan Tirmidzi 3/105)
Hadits ini menunjukkan akan kekhususan bulan Sya’ban untuk memperbanyak puasa di dalamnya dibanding bulan-bulan lain. Ini menunjukkan akan keutamaan puasa di dalamnya dibanding puasa di bulan lain.
Ibnu Rojab rohimahullahu berkata: “Puasa di bulan Sya’ban lebih utama dibanding puasa di bulan-bulan haram. Dan sebaik-baik ibadah sunnah adalah jika telah mendekati bulan Ramadhan baik sebelum atau sesudahnya. Perumpamaannya seperti ibadah sunnah rawatib yang mengiringi ibadah wajib sebelum atau sesudahnya. Dan hal ini untuk menyempurnakan kekurangan dalam ibadah wajib. Demikian pula dengan puasa sebelum dan sesudah Ramadhan. Sebagaimana ibadah sunnah rawatib itu lebih afdhal daripada ibadah sunnah yang mutlak seperti dalam shalat maka puasa sebelum dan sesudah Ramadhan itu lebih afdhal daripada puasa yang jauh darinya.” (Lathaif Al-Ma’arif hal. 129)
Ibnu Rojab rohimahullah diatas menyebutkan bahwa puasa Sya’ban itu seperti sunnah qobliyah Ramadhan dan puasa Enam hari Syawwal seperti sunnah ba’diyah Ramadhan. Dari sini nampak hikmah syariat dalam mensyariatkan untuk memperbanyak puasa di bulan Sya’ban sebagaimana dalam banyak riwayat.
Diantara yang paling shahih apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadits Usamah bin Zaid dia berkata: “Wahai Rosulullah, aku tidak pernah melihat anda banyak berpuasa (sunnah) lebih dari Sya’ban”. Beliau menjawab: “Itulah bulan yang manusia melalaikannya yang jatuh diantara bulan Rojab dan Ramadhan. Itulah bulan diangkatnya amalan-amalan kepada Allah Robb semesta alam. Dan aku suka amalanku diangkat dalam keadaan aku sedang berpuasa.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i serta dihasankan oleh pentahqiq kitab Musnad)
✔ Bid’ah yang terjadi di Bulan Sya’ban
1. Bid’ah sholat alfiyah. Ini adalah bid’ah di malam pertengahan Sya’ban yaitu melaksanakan shalat seratus roka’at dengan berjamaah. Sang imam membaca surat Al-Ikhlas 10 kali disetiap roka’at. Atau sepuluh roka’at tapi Imam membaca surat Al-Ikhlas 100 kali setelah membaca Al-Fatihah. Ini adalah bid’ah yang mungkar.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahullahu berkata: “Adapun hadits marfu’ kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam tentang sholat (alfiyah) ini maka ini dusta dan palsu menurut kesepakatan ulama ahli hadits.“
Ibnu Al-Qayyim rohimahullahu berkata: “Yang aneh adalah orang-orang yang pernah mencium bau ilmu tentang sunnah tapi tertipu dengan lelucon ini dan dia pun mengerjakan sholat tersebut.”
2. Mengkhususkan malam Nisfu/pertengahan Sya’ban dengan mengerjakan sholat dan melaksanakan puasa di siang harinya. Mereka berdalil dengan hadits “Apabila telah datang malam Nisfu Sya’ban maka kerjakanlah sholat dan berpuasalah pada waktu siangnya”. Ini adalah hadits yang tidak ada asalnya. Kita tidak boleh mengamalkan kecuali yang shahih haditsnya. Maka jelas kebid’ahan menghidupkan malam Nisfu Sya’ban. Kalau ada orang berpuasa pada tanggal 15 Sya’ban dengan niat menghidupkan Nisfu Sya’ban maka ini adalah bid’ah. Adapun jika dia berpuasa tanggal 15 tersebut dengan meniatkan untuk puasa Ayyaam Al-Biidh (13,14 dan 15 disetiap bulan hijriah) dengan didahului oleh puasa dua hari sebelumnya (13 dan 14) maka ini adalah sunnah yang telah dijelaskan dalam hadits-hadits shahih. Akan tetapi puasa Ayyaam Al-Biidh bukan hanya di Bulan Sya’ban saja tapi disyariatkan di setiap bulannya.
3. Sholat 6 roka’at di malam Nisfu Sya’ban dengan tujuan untuk mencegah bala’ serta memperpanjang usia. Dengan membaca surat Yaasin dan do’a. Ini adalah bid’ah yang tidak berdasarkan dalil dari syariat bahkan ulama telah menjelaskan akan kebid’ahannya.
Imam An-Nawawi rohimahullahu berkata: “Sholat yang dikenal dengan sholat Roghoib yaitu 12 roka’at dikerjakan antara maghrib dan isya’ di malam Jumat pertama bulan Rojab dan sholat malam Nisfu Sya’ban 100 roka’at. Kedua sholat tersebut merupakan bid’ah dan perbuatan mungkar yang jelek. Jangan sampai tertipu dengan disebutkannya kedua sholat tersebut dalam kitab “Quut Al-Quluub” dan “Ihya’ Ulumuddin”. Dan jangan pula tertipu dengan hadits yang menyebutkan kedua sholat tersebut, karena haditsnya batil. Dan jangan tertipu dengan sebagian fatwa ulama yang ditulis di lembaran-lembaran kertas tentang sunnahnya kedua sholat tersebut. Karena ini adalah suatu kesalahan.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 4/56)
Ditulis oleh,
Ustadz Abdurrahman Thoyyib Lc, حفظه الله تعالى
[1] Makalah ini diterjemahkan dengan sedikit ringkasan oleh Abu Nafisah Abdurrahman Thoyyib dari www.al-rehaili.net.
[2] Maqaayis Al-Lughah 3/192.
[3] Tahrir Alfaadz At-Tanbiih hal.120.
[4] Lisan Al-Arab 1/502.
[5] Iqtidha’ shirat Al-Mustaqim li mukhalafati ashhabil jahiim 2/146.
[6] Al-Manaar Al-Muniif hal.99
[7] Al-Majmu’ Syarhu Al- Muhadzdzab 4/56
da1804181025