Ust. Kholid Syamhudi, حفظه الله
Makan dengan tangan kiri ternyata mendapat do’a jelek dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan ancaman bagi pelakunya. Dan ini sekaligus menunjukkan haramnya makan dengan tangan kiri.
Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan, Salamah bin Al Akwa’ berkata,
أَنَّ رَجُلاً أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِشِمَالِهِ فَقَالَ « كُلْ بِيَمِينِكَ ». قَالَ لاَ أَسْتَطِيعُ قَالَ « لاَ اسْتَطَعْتَ ». مَا مَنَعَهُ إِلاَّ الْكِبْرُ. قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ.
“Ada seorang laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya. Lalu Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, ‘Makanlah dengan tangan kananmu!’ Dia malah menjawab, ‘Aku tidak bisa.’ Beliau bersabda, ‘Benarkah kamu tidak bisa?’ -dia menolaknya karena sombong-. Setelah itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya.” (HR. Muslim no. 2021)
Imam Nawawi rahimahullah memberikan beberapa faedah dari hadits di atas sebagai berikut:
1- Dalam hadits disebutkan bahwa orang tersebut menolak perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sombong. Hal ini menunjukkan bahwa tidak tepat jika ia disebut munafik karena dikatakan sombong tidak selamanya dicap munafik dan kufur.
2- Perkara di atas termasuk maksiat jika memang perintah makan dengan tangan kanan adalah perintah wajib.
3- Hadits di atas menunjukkan bolehnya berdo’a jelek pada orang yang menyelisihi syari’at tanpa uzur.
4- Dalam setiap keadaan, kita diperintahkan untuk beramar ma’ruf nahi munkar.
5- Kita dianjurkan mengajarkan adab makan bagi orang yang belum tahu atau menyelisihi adab yang diajarkan oleh Islam.
Lihat faedah-faedah di atas dalam Syarh Shahih Muslim, 13: 174.
Hukum Makan dengan Tangan Kiri
Hadits di atas menunjukkan haramnya makan dengan tangan kiri. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Seandainya hukum makan dengan tangan kanan tidaklah wajib, lantas mengapa yang melanggar demikian didoakan jelek?! Do’a dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas adalah hukuman. Hukuman seperti ini tidaklah dikenakan kecuali pada perkara yang haram.” (Syarh ‘Umdatil Ahkam, hal. 52).
Referensi:
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.
Syarh ‘Umdatil Ahkam, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darut Tauhid, cetakan pertama, tahun 1431 H.