Saat Semua Berpaling – Kisah Ka’ab bin Malik, Rodhiyallahu ‘Anhu… Part # 5

Telah tiba hukuman (baca PART # 4) bagi Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam memerintahkan kepada seluruh muslim di kota Madinah untuk mendiamkan Ka’ab dan kedua mu’minin lainnya yang tidak ikut Perang Tabuk, yakni Murarah bin Rabi’ah al-‘Amiri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi sebagai wujud hukuman kepada Ka’ab untuk selama 50 hari.

Seketika itu kota Madinah berubah bagi mereka bertiga. Ka’ab serasa bukan tinggal di kota Madinah. Setiap orang yang akan jalan berpas-pasan dengan Ka’ab, seketika menjauh. Setiap orang tidak sengaja eye contact dengan Ka’ab, seketika berpaling.

Berbeda dengan Ka’ab yang lebih tahan banting dengan kondisi isolasi sosial tersebut karena paling muda di antara kedua sahabatnya; Murarah bin Rabi’ah al-‘Amiri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi menghabiskan waktu-waktu hukuman dengan di rumah, menangis. Menangisi kesalahan dan kekhilafan yang dilakukannya. Tiada waktu yang berlalu bagi mereka tanpa meratapi dengan penyesalan.

Sulit dipungkiri kita tidak dapat mengambil ibrah dari apa yang dilakukan Murarah & Hilal. Kedua orang ini adalah alumni Perang Badr. Sebagaimana apa yang telah kita ketahui apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala katakan kepada muslimin yang telah mengikuti jalan juang pada Perang Badr;

“Sungguh Allah telah berfirman kepada orang-orang yang ikut Perang Badar, ‘Berbuatlah sesuka kalian, sungguh Aku telah mengampuni kalian’.” (HR Bukhari no. 4066, Muslim No. 4550).

Murarah dan Hilal, sosok kedua sahabat yang telah diampuni Allah Subhanahu wa Ta’ala atas partisipasinya di perang Badr, masih meratapi kesalahan dan menangisi sesal perbuatan atas khilaf tidak ikut ke perang Tabuk.

Lalu bagaimana dengan diri kita? Apakah kita sudah ada jaminan ampunan dari Allah? Lalu kita belum pernah menangisi dosa-dosa di masa lalu? Murarah & Hilal hanya melalukan 1 kesalahan atas absensi di Perang Tabuk, itu pun ditebus dengan kejujuran kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam. Mereka depresi berat khawatir akan dosa-dosanya dengan mengunci diri di rumah karena takut dirinya masuk ke dalam golongan orang-orang munafik.

Dan bagaimana dengan kita? Berapa sholat yang pernah kita tinggalkan di masa lalu? Berapa hari puasa Ramadhan yang kita remehkan tidak kita tunaikan?

Ibnu Mas’ud Rahimahullah berkata:

إن المؤمن يرى ذنوبه كأنه قاعد تحت جبل يخاف أن يقع عليه, وإن الفاجر يرى ذنوبه كذباب مر على أنفه فقال به هكذا فذبه عنه

“Sesungguhnya seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia sedang duduk di bawah gunung dan ia takut gunung tersebut jatuh menimpanya. Dan seorang fajir memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di hidungnya lalu ia berkata demikian (mengipaskan tangannya di atas hidungnya) untuk mengusir lalat tersebut.” (Bukhari)

Tak ubahnya Ka’ab, bathin dirinya menderita karena dijauhkan para sahabat-sahabatnya. Ka’ab membawa dirinya berjalan ke pasar, namun tiada kenalan, teman bahkan para sahabat tiada yang mau membalas salam darinya. Tak putus asa, Ka’ab mencoba memutuskan untuk bertemu Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam. Karena dirinya yakin, kasih sayang Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam kepada umatnya melebihi cinta kepada dirinya sendiri.

Sesampainya di depan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam yang baru saja menyelesaikan sholat, Ka’ab menghampiri dan mengucapkan salam. Serta merta tiada balasan salam yang meluncur kepada Ka’ab. Sekalipun Ka’ab telah dengan teliti penuh harap menyimak gerak bibir Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, namun tiada sambut gerak salam atau ucap kepada Ka’ab.

Tak putus akal, Ka’ab berupaya kembali menarik perhatian Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam. Ka’ab memutuskan untuk sholat persis di sebelah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam. Tujuannya; Ka’ab ingin melirik curi pandang selagi sholat ke arah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, dengan harapan besar ada pandangan balasan kedirinya. Namun didapatinya tiada pandang balas ke arah Ka’ab dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam.

Belakangan setelah kisah ini berlalu, Ka’ab baru mengetahuinya; ternyata pada saat Ka’ab melanjutkan fokus pada sholatnya diwaktu samping Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, terdapat pandang balasan dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dengan penuh kasih sayang kepada Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu.

Inilah bukti kasih sayang Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam. Marah yang Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam adalah marah dengan penuh kasih sayang. Demi pendidikan ke sahabatnya. Bukan meluncur di atas rasa sakit hati karena Ka’ab telah tidak mengikuti perintahnya mengikuti perang Tabuk, melainkan tergerak atas perintah Allah Jalla Jalaluhu.

Inilah teladan yang diberikan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, bagaimana pendidikan kepada sahabat dengan kasih sayang. Indahnya jika dapat diaplikasikan nasehat dan pendidikan penuh kasih sayang kepada saudara-saudara seiman kita. Mengkritik dengan santun dan bahasa yang hikmah. Menasehati saudari seiman yang belum berhijab sesuai syariat dengan kasih sayang, tidak menjatuhkan.

Kembali pada kondisi Ka’ab, dirinya menjalani hari kian terasa sesak di dada. Pengucilan sosial dirinya semakin membuat sempit dadanya. Namun tak membuat sempit pikirannya, Ka’ab mengambil akal untuk mencari figur lainnya yang harapnya dapat membalas interaksi dengan dirinya. Yakni sepupunya yang disayang, Abu Qatadah RadhiAllahu’anhu.

Ka’ab menghampiri rumah Abu Qatadah. Diucapkan salam di depan pintu rumahnya, namun tiada balasan dari balik pintu rumah sepupunya. Tak mau menelan asumsi Abu Qatadah tidak di rumahnya, Ka’ab memanjat rumah Abu Qatadah dan mendapati sepupunya sedang di rumahnya mengacuhkan dirinya.

Ka’ab mengucapkan salam kepada Abu Qatadah. Demikiannya karena perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, Abu Qatadah memilih menaatinya dan mendiamkan Ka’ab. Mendapati sepupunya mengambil tindakan serupa dengan mu’minin lainnya seantero Madinah, Ka’ab melanjutkan salamnya dengan melempar pertanyaan kepada orang yang paling disayangnya setelah Rasulullah Shallallahu’alalihi wa Sallam:

“Hai Abu Qatadah, saya hendak bertanya padamu kerana Allah, apakah engkau mengetahui bahwa saya ini mencintai Allah dan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam?”

Masih tiada suara sambutan yang membalas pertanyaan Ka’ab, yang tak lain pertanyaan yang dilontarkan Ka’ab semata dengan harapan untuk diyakinkan bahwa dirinya bukanlah termasuk orang munafik. Diulanginya hingga 3 kali kepada Abu Qatadah, namun tiada respon yang didapatinya kecuali keheningan.

Namun sontak terkejut hati Ka’ab, Abu Qatadah menjawab pertanyaan Ka’ab dengan penuh hikmah:

“Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui tentang itu.”

Begitu mendapati sepupu kesayangannya yang sekaligus sahabatnya tidak memberikan kesaksian kepada dirinya, Ka’ab langsung mendapati dirinya dalam kegamangan status dirinya, tak ayal terbit pertanyaan di hatinya, “jangan-jangan saya munafik? Separah itukah saya?”
Kelebat pertanyaan demi pertanyaan menghampiri pikirannya hingga tanpa sadar air mata jatuh dari mata Ka’ab, dan meninggalkan sepupunya itu. Perjalanan pulang Ka’ab dalam kegalauan. Walau berat pula bagi Abu Qatadah memberikan perlakuan tersebut kepada Ka’ab, Abu Qatadah tetap setia kepada perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam. Sekalipun dirinya tahu persis kualitas ibadah Ka’ab, sekalipun dirinya tahu persis perangai kesetiaan Ka’ab pada Islam dan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, dengan berat hati Abu Qatadah memberikan tanggapan sedemikian dinginnya.

Cuplikan adegan di rumah Abu Qatadah dapatlah terbetik ibrah bagi kita, yakni bagaimana sikap Abu Qatadah kepada Ka’ab; Sahabat adalah segalanya. Apalagi sahabat yang berada di jalan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun masih terdapat prioritas di atas itu, yakni Allah dan Rasul-Nya.

Kesetiakawanan dan kasih sayang Abu Qatadah yang membuat berat berbuat demikian kepada Ka’ab, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ

Artinya:
”Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama umat Islam …” (QS: Al Fath: 29).

Ka’ab bukanlah sembarang muslim di mata Abu Qatadah, dirinya adalah sahabatnya. Dan kasih sayangnya didasari dari gerak iman di hatinya. Namun di atas itu, ketika perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam datang, Abu Qatadah menuruti dan dengan berat hati memberikan perlakuan demikiannya kepada Ka’ab. Sekalipun tidak ada orang lain yang menyaksikan, Abu Qatadah dapat saja melunakkan hatinya dari perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dan berinteraksi dengan leluasa kepada Ka’ab, karena terlindung tembok rumahnya. Namun Abu Qatadah memilih setia dan melaksanakan pada perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam.

Sepulangnya dari rumah Abu Qatadah, Ka’ab melewati pasar dan tak sengaja melihat sekelompok petani yang datang dari luar kota Madinah. Serta merta, sekelompok petani yang dilihatnya, ternyata sedang mencari dirinya. Ka’ab mengetahui dengan persis bagaimana petani-petani tersebut bertanya kepada para pedagang satu per satu lokasi dirinya. Namun begitu tahu yang ditanya adalah dirinya, para pedagang tidak ada yang membalas dengan ucapan, tapi hanya menunjuk ke posisi Ka’ab berada. Sulit dipungkiri bahwa hal yang dilihatnya pun menambah derita hati Ka’ab.

Setibanya para petani tersebut di depan Ka’ab, mereka menyerahkan sepucuk surat yang didapatinya dari Raja Ghassan, yang beragama nasrani. Yang isinya sebagai berikut:

“Telah sampai kepada kami, bahwa sahabat Anda mendiamkan Anda. Selain dari itu, bahwa sahabatmu sudah bersikap dingin terhadapmu. Allah tidak menjadikan kau hidup terhina dan sirna. Maka, ikutlah dengan kami di Ghassan, kami akan menghiburmu!”

Pesan Raja Ghassan tepat ketika suasana kekalutan hati Ka’ab, dikucilkan satu Madinah. Tujuannya tak lain untuk memprovoksi Ka’ab untuk berpaling dan menetap di bawah fasilitas yang ditawarkan Raja Ghassan.

Apa tanggapan Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu ?

Bersambung di PART # 6
Baca kisah sebelumnya di
PART # 4
PART # 3
PART # 2
PART # 1

Muhammad Nuzul Dzikri, حفظه الله تعالى
Courtesy of The Rabbaanians
https://www.facebook.com/therabbaanians/photos/a.1433546910282441.1073741828.1433458263624639/1630510637252733/?type=3&theater

Video Kajian : Saat Semua Berpaling… Part # 5

Raihlah pahala dan kebaikan dengan membagikan link kajian Islam yang bermanfaat ini, melalui jejaring sosial Facebook, Twitter yang Anda miliki. Semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala membalas kebaikan Anda.