Menyambung dari pembahasan kajian kita pekan kemarin (baca PART # 2), tibalah saatnya Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu untuk menghadap Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam guna menyampaikan penjelasan sebabnya Ka’ab tidak ikut berperang bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam.
Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu menceritakan dalam hadits yang telah disampaikan lalu, bagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam setibanya di Madinah mendengarkan alasan tidak ikut berperangnya dari sedikitnya 80 orang dari kaum munafik setelah selesainya sholat dua rakaat di masjid selesai shafarnya dari Tabuk.
Kedustaan demi kedustaan dari alasan yang disampaikan oleh kaum munafik pun tidak ada yang dibantah, namun tidak ada juga yang dibenarkan. Setelah beliau memberikan himbauan untuk senantiasa taat pada perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam kepada kaum munafik, bahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam ber-istighfar kepada Allah Jalla wa’ala untuk mengampuni kesalahan mereka.
Sampai tiba giliran Ka’ab bin Malik menghadap Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, dan tiada hal yang keluar dari ekspresi Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam kecuali sebuah senyuman orang yang sedang marah, kemudian bersabda:
“Kemarilah!”
Ka’ab pun mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dan duduk berhadap-hadapan dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, dan kemudian beliau membuka percakapan dengan santun kepada Ka’ab dengan sabda:
“Apakah yang menyebabkan engkau tertinggal bukankah engkau telah membeli unta untuk kendaraanmu?”
Lalu Ka’ab menjawab pertanyaan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam;
” Ya Rasulullah, sesungguhnya saya, demi Allah, andaikata saya duduk di sisi selain Rasulullah dari golongan ahli dunia, niscayalah saya rasa bahwa saya akan dapat keluar dari kemurkaannya dengan mengemukakan suatu alasan (palsu). Sebenarnya saya telah dikaruniai kepandaian dalam bercakap-cakap. Tetapi saya ini -demi Allah- yakin andai kata saya menyampaikan alasan palsu pada hari ini yang Rasulullah akan menerima dan ridha dengan alasanku itu, namun sesungguhnya Allah akan membuat Rasulullah marah terhadapku. Dan Sebaliknya jikalau saya menyampaikan alasan yang sebenarnya yang mungkin membuat Rasulullah marah terhadap diriku namun saya berharap akhir yang baik dari Allah ‘Azza wa jalla. Demi Allah, saya tidak punya alasan syar’i sedikitpun – sehingga tidak mengikuti peperangan itu. Demi Allah, sama sekali saya belum pernah merasa lebih kuat dan lebih ringan untuk mengikutinya itu, yakni di waktu saya tidak ikut perang tabuk.”
Demikiannya Ka’ab, lebih memilih jujur kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam daripada berbohong. Padahal dirinya dikenal dengan kepiawaiannya dalam bahasa dan berbicara, serta merta tak membuatnya mau mengambil tindakan berdusta untuk alasan tidak berperang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dengan menggunakan kepandaian berbicaranya. Karena Ka’ab lebih takut kepada Allah Jalla jalaluhu jika membohongi Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam.
Tentu banyak pembelajaran dari penyikapan Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu ke dalam kehidupan kita. Banyak pembohong yang tidak sampai terpikir hal seperti yang dipikirkan Ka’ab. Secanggih-canggih pembohong hanya melihat hal di depan dirinya saja. Dirinya tidak melihat konsekuensi dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sementara Ka’ab jelas memahami 100% konsekuensi berdusta kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ ۚ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ
Artinya: Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. (QS: Ibrahim: 42)
Allah Maha Mengetahui. Semua yang apa-apa kita perbuat Allah mengetahui, hingga ke isi hati kita. Demikiannya elegan cara Allah bersikap kepada pendusta, segala hukuman ditangguhkan sampai pada waktunya. Dan inilah yang tidak terpikirkan oleh para pembohong. Dan Allah membenci para pendusta. Karena dusta adalah pokok kemunafikan.
Ulama Hasan Al Bashri berkata;
“Inti kemunafikan yang diatasnya dibangun kemunafikan adalah kebohongan” (dzammul kadzib wa ahlih hal 20)
Dari Abu Hurairah RadhiAllahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa Sallam bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاث إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَ إِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَ إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik itu tiga apabila ia berucap berdusta, jika membuat janji berdusta, dan jika dipercayai mengkhianati” (HR. Bukhari).
Dan orang munafik tempatnya kelak adalah di neraka bawah. Karena kemunafikan adalah kekufuran.
Itulah yang dikhawatirkan Ka’ab bin Malik bin RadhiAllahu’anhu:
“Aku khawatir Allah membuat Anda (Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam) membenci kepada saya.”
Itulah konsekuensi dari berdusta. Sekalipun ada orang yang berdusta demi ridho orang yang didustakannya, kelak Allah akan membuat orang yang didustakannya menjadi benci pada si pendusta dengan sebab lainnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ ۖ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
Artinya:
Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (QS: Ali Imran: 54)
Karena jika bermain tipu daya, Allah Jalla jalaluhu akan balas dengan tipu daya pula. Dan Allah sebaik-baik pembuat makar.
Ka’ab sadar betul, untuk menjadi orang bertaqwa adalah dengan sabar dan kejujuran. Karena Ka’ab memilih akhir yang baik. Ka’ab memilih jalan kejujuran untuk mengharap dapat senantiasa bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالْعَاقِبَةُ للتقوى
Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa. (QS: At Thaha: 132).
Demikiannya, orang yang melakukan dusta itu hidupnya akan melelahkan. Karena dirinya akan terus berhadapan dengan dampak kebohongannya. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda:
…عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ
”Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga…” (HR: Ahmad)
Kita kembali ke kisah Ka’ab, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda setelah mendengar tutur jujur Ka’ab:
“adapun ka’ab ia telah berkata jujur. Oleh sebab itu bolehlah engkau berdiri sehingga Allah akan memberikan keputusannya tentang dirimu.”
Mendengar hal tersebut, pulanglah Ka’ab ke rumahnya. Serta merta diperjalanannya Ka’ab ditemui oleh beberapa orang dari sekampungnya, dari Bani Salimah. Mereka melakukan provokasi terus-terusan kepada Ka’ab. Mereka berkata:
“Demi Allah, kita tidak menganggap bahwa engkau telah pernah bersalah dengan melakukan sesuatu dosapun sebelum saat ini. Engkau agaknya tidak kuasa, mengapa engkau tidak mengemukakan alasan palsu saja kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam sebagaimana kepalsuan yang dikemukakan oleh orang-orang yang tertinggal yang lain-lain. Sebenarnya bukankah telah mencukupi untuk menghilangkan dosamu itu jikalau Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam suka memohonkan mengampunan kepada Allah untukmu.”
Demikiannya Ka’ab menjadi terpengaruh. Sampai-sampai dirinya ingin kembali lagi kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dan bermaksud ‘merevisi’ pernyataan sebelumnya.
Inilah pelajaran yang sangat berharga, bahwa kita makhluk lemah. Kita sangat terpengaruh dengan apa yang kita dengar. Kita sangat tepengaruh dengan apa yang kita lihat. Kita sangat terpengaruh dengan lingkungan kita. Sejenak kita refleksi kepada Kaab bin Malik RadhiAllahu’anhu, orang yang telah duapuluhan kali berperang di jalan Allah, orang yang ikut bai’at Aqobah, dan dalam sekejap akibat perkataan-perkataan yang buruk, dirinya menjadi terpengaruh. Lalu bagaimana dengan kita?
Bagaimana kita bisa istiqomah, jika kita masih berada di lingkungan yang jauh dari yang mengamalkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala?
Bagaimana kita bisa istiqomah, jika kita masih berada di lingkungan yang jauh dari yang mengamalkan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam?
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengulang mengenai pentingnya peran pendengaran dan penglihatan sedikitnya hingga 22 kali. Berikut beberapa firman-Nya:
خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya:
Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat. (QS. al-Baqarah: 7)
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Al-Isra’:36)
Karena mata dan telinga adalah informan terbaik bagi hati kita. Dan jika kedua indera tersebut senantiasa dipaparkan dengan informasi kesyirikan, maka hati akan hancur. Demikiannya orang sekaliber Ka’ab sekalipun, dapat lemah atas paparan pendengaran yang buruk.
Sementara bagi sebagian kita; optimis dapat isitqomah sementara jarang mendengar ayat-ayat Allah? Mustahil.
Oleh karena itu senantiasa jagalah penglihatan dan pendengaran kita, sebagai langkah menjaga hati tetap istiqomah di jalan Allah…
Bersambung di PART # 4
Baca kisah sebelumnya di
PART # 2
PART # 1
Muhammad Nuzul Dzikri, حفظه الله تعالى
Courtesy of The Rabbaanians
https://www.facebook.com/therabbaanians/photos/a.1433546910282441.1073741828.1433458263624639/1625812731055857/?type=3&theater
Video Kajian : Saat Semua Berpaling… Part # 3