Walau Al Qur’an telah sampai, bahkan wong arab asli, kalau gagal paham, tetap saja diberi ‘uzur.
Pada kisah berikut, begitu jelas keberadan gagal paham dan toleransi yang diberikan kepada pelakunya.
Sahabat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma mengisahkan bahwa suatu hari beliau mengutus sahabat Kholid bin Al Walid ke kabilah Bani Juzaimah, untuk menyeru mereka agar masuk Islam. Namun mereka tidak bisa mengucapkan kata : Aslamna (Kami Masuk Islam), sehingga mereka menanggapi seruan Khalid dengan berkata: Saba’na, Saba’na (kami berpindah ke agama baru, kami berpindah ke agama baru -maksud mereka yaitu agama Islam-).
Akibatnya Khalid memerintahkan agar sebagian mereka dibunuh dan sebagian lainnya ditawan. Beliau menyerahkan kepada setiap kami, seorang lelaki dari bani Juzaimah, hingga pada suatu hari, beliau memerintahkan agar setiap kita membunuh tawanannya. Aku berkata : Sungguh demi Allah, aku tidak akan membunuh tawananku, dan tidak seorangpun dari rombonganku yang mau membunuh tawanannya.
Setelah kami tiba di Madinah, berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, segera kami melaporkan kejadian ini kepada beliau, dan beliau segera mengangkat kedua tangannya lalu berkata:
( اللهم إني أبرأ إليك مما صنع خالد )
Ya Allah, aku berlepas diri dari perbuatan Kholid. (Bukhori dan lainnya)
Imam Ibnu Al Qayyim dan ahli sejarah lainnya menceritakan bahwa selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sahabat Ali bin Abi Thalib untuk membayarkan tebusan korban korban pembunuhan Kholid. (Zaadul Ma’ad 3/415 & Fathul Bari Ibnu Hajar 8/58)
Sebagian Ulama’ menjelaskan bahwa kata : Saba’na bukanlah hal asing bagi orang orang Quraisy, termasu Kholid bin Walid, karena dahulu setiap orang yang masuk Isla, seringkali dicibirkan oleh musyrikin Quraisy dengan sebutan : Saba’ta. Walau demikian, ketika Kholid membunuh mereka yang telah mengatakan kata tersebut, dan terbukti tindakannya salah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghukuminya dengan menegakkan hukum qishash.
Padahal diantara pasukan beliau ada beberapa sahabat yang menentang keputusannya tersebut. Walau demikian, tetap saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam memberinya uzur, dan tidak menghukumi Kholid dengan dipenggal lehernya, karena ternyata beliau gagal paham, alias diberi ‘uzur bil jahel.
Tiada keraguan bahwa Al Qur’an, telah sampai kepada sahabat Kholid bin Al Walid, walau demikian sekedar sampai kepadanya Al Qur’an ternyata belum cukup, sampai benar benar paham. Bagaimana halnya dengan orang-orang yang bahasa arab tidak bisa sama sekali, apalagi ilmu alat, semisal ushul fiqih dan yang serupa, dan ketika belajar atau ngaji, ternyata guru ngajinya guagal paham puool?
Bagaimana lagi halnya bila yang melakukan kesalahan adalah orang yang benar benar bodoh, bukan karena tidak mau belajar, namun sudah berusaha belajar, berguru, akan tetapi kebetulan gurunya ternyata juga bodoh, atau salah pemahaman.
Hukum membunuh orang Islam adalah suatu hal yang telah diketahui keharamannya oleh semua orang, apalagi sekelas Kholid bin Al Walid radhiallahu’ anhu.
Jangan lagi ada yang berkata: ini bukan masalah kesyirikan atau kekafiran, karena masalah yang sebenarnya terletak pada masalah : apakah sekedar sampainya Al Qur’an kepada seseorang maka otomatis telah dianggap tegak hujjah, walau belum atau bahkan gagal paham. Inilah sumber masalah yang menjadikan anda mengobral takfir, kepada semua orang yang berbuat kekufuran tanpa peduli dia bodoh atau pandai, dan masalah tersebut tidak ada bedanya atau masalah kekufuran atau lainnya.
Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri MA, حفظه الله تعالى