Kajian kita kali ini akan membahas sebuah kisah kepahlawanan dari salah satu sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, yakni Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu. Dimana kisah ini terjadi pada salah satu momen peperangan besar kaum muslim melawan bangsa Romawi yang terjadi pada tahun 9 hijriah.
Namun kisah ‘kepahlawanan’ ini bukanlah menceritakan pengorbanan seorang panglima di medan perang, bukanlah menceritakan seorang pemanah handal yang heroik menumpas musuh, apalagi pasukan garda depan, tapi uniknya karena justru yang dikisahkan adalah kesalahan seorang sosok sehingga ia tidak memiliki andil dalam peperangan ini.
Kisah ini menceritakan bagaimana Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu tidak ikut berangkat dalam kafilah perang Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, karena sebuah kekhilafan. Tapi justru kesalahan beliau di perang Tabuk inilah yang mencatatkan namanya sebagai seorang pahlawan. Beliau menjadi inspirator, khususnya bagi orang-orang yang pernah membuat kesalahan dalam hidupnya.
Dialah Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu. Seorang pemuda dari kaum Anshar yang tidak pernah absen ajakan jihad oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam kecuali perang badar. Dimana dirinya pun pernah menjadi satu dari 70 penduduk Madinah yang mengikuti bai’at Aqobah, janji setia kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Namun dirinya melakukan sebuah kelalaian yang fatal ketika momen ajakan perang Tabuk. Meski demikian, atas kesalahan yang dilakukannya dirinya mendapatkan hukuman, serta merta karena ketepatan sikapnya, justru telah mengantarkan dirinya from Zero to Hero.
Dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu. Menceritakan ketika peristiwa ajakan perang Tabuk dirinya dalam kondisi yang sehat dan dalam kondisi yang lebih sejahtera dari waktu-waktu sebelumnya, dimana dirinya memiliki dua ekor kuda, serta tidak ada uzur yang membatalkan dirinya untuk ikut perang Tabuk.
Ketika rombongan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam beserta sahabat harus berjalan sejauh 620-an km ke Tabuk dari Madinah dengan medan yang melelahkan dan di cuaca musim panas tanah Arab bersuhu tinggi sedikitnya 50⁰ celcius, di Madinah sedang panen kurma yang melimpah.
Pun ajakan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam ke Tabuk langsung disambut gembira dan semangat oleh para sahabat. Panen kurma yang melimpah tak membuat silau para sahabat untuk enggan menyambut ajakan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Mereka rela berjalan jauh meninggalkan nikmat dunia untuk ke medan yang dahsyat untuk berhadapan dengan pasukan Romawi dan berjihad untuk Allah jalla jalaluhu. Karena para sahabat yang berlomba-lomba memenuhi seruan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam adalah orang-orang yang mengambil sikap zuhud kepada dunia. Mereka yang memiliki keimanan.
Sama halnya pada diri Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu, beliau langsung menyiapkan diri untuk menyambut seruan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Perbekalan pun disiapkannya. Namun yang terjadi adalah justru persiapannya kian tertunda karena perihal-perihal sepele. Hingga kian semakin tertundanya, sampai Ka’ab menemukan dirinya telah tertinggal oleh rombongan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam ke Tabuk.
Penyebab sepele tertundanya menyiapkan perbekalannya pun disikapinya dengan sikap yang menyepelekan pula, “Kalau aku mau, semua ini bisa kupersiapkan segera.”
Disinilah kunci dari kekhilafan yang dilakukan Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu. Dirinya lalai terlalu yakin dengan kemampuan yang dimiliki dirinya. Dirinya kurang bergantung kepada ALLAH dan mengucapkan kata “insya Allah”.
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman di dalam surat Al Kahfi ayat 23 dan 24:
. وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَٰلِكَ غَدًا
. إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚوَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَىٰ أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَٰذَا رَشَدًا
Artinya: Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi,(23) kecuali (dengan menyebut): “Insya-Allah”. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini”.(24) (QS: AL Kahfi: 23-24)
Jangan sampai Anda akan melakukan sebuah aktivitas, dengan mengucapkan “Aku bisa melakukannya”, tanpa mengucapkan kata “insya-Allah.” Jangan sampai Anda menggantungkan diri Anda kepada kekuatan Anda. Kita harus selalu bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jangan pernah merasa diri besar atas prestasi-prestasi yang telah diraih. Jangan pernah merasa diri cukup ilmu atas telah hadir di kajian-kajian ilmu agama. Jangan pernah merasa paling mampu dalam keahlian yang kita miliki. Karena ketahuilah, semua hal itu dicapai atas izin ALLAH.
Kita juga dapat mengambil pembelajaran; janganlah gemar menunda-nunda suatu urusan kebaikan. Sebagian ulama berkata; “Menunda-nunda adalah salah satu bala tentara iblis.”
Demikiannya Ka’ab tersadar, tidak ada satupun orang beriman yang beliau temui di kota Madinah. Ka’ab menemukan dirinya di tengah-tengah orang munafik. Karena para sahabat dan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam sudah sampai ke Tabuk. Iman di dalam hatinya menjerit dan membuat Ka’ab terperangah dan merenungi nasibnya.
Menarik nasib Ka’ab tertinggal di Madinah bersama orang-orang munafik, dapatlah kita mengambil pembelajaran dengan diri kita, ketika kita mendapati diri ini masih berkecimpung di lingkungan yang buruk dan dikelilingi oleh pelaku maksiat. Adakah iman kita menjerit? Jika tidak ada, selamat: kita akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat nanti. Na’udzubillah min dzalik.
Bersambung di PART # 2
Muhammad Nuzul Dzikri, حفظه الله تعالى
Courtesy of The Rabbaanians
https://www.facebook.com/therabbaanians/photos/a.1433546910282441.1073741828.1433458263624639/1620667594903704/?type=3&theater
Video Kajian : Saat Semua Berpaling… Part # 1