“Saya belum melakukan apa-apa”
Atau “Apa yang saya lakukan belum seberapa dan masih banyak kekurangan”
Bersyukurlah jika kalimat-kalimat diatas meluncur dengan fasih dari lubuk hati anda, karena inilah indikator diterimanya amal seorang hamba.
Amal yang diterima akan membentuk pribadi yang selalu merendahkan hati dan merasa penuh kekurangan walaupun segudang amal shalih telah ia torehkan dalam catatan kebaikannya.
Ia khawatir karena kekurangannya dalam menjalankan amal shalih membuat ALLAH tidak berkenan menerimanya. Bukan justru angkuh dan merasa diri suci,
﴿٦٠﴾ وَٱلَّذِينَ يُؤْتُونَ مَآ ءَاتَوا۟ وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رٰجِعُونَ
(60) Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan (beramal shalih), dengan hati yang takut (amal ibadah mereka tidak diterima) karena mereka yakin sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka,
(Al Mu’minun 23:60)
Bukankah kita diperintahkan untuk beristighfar setiap selesai mengerjakan shalat wajib?
Ya, shalat yang notabenya merupakan ibadah terbaik dan prestasi yang sangat prestisius saja diikuti dengan permohonan ampun.
Sebuah pesan bahwa sehebat apapun ibadah yang anda kerjakan, anda kerjakan dengan penuh kekurangan dan ketidaksempurnaan, maka mintalah ampun kepada ALLAH dari segala khilaf dan lalai tersebut, dan rendah hatilah setelah mengerjakannya.
Terinspirasi oleh pemaparan Ibnul Qayyim dalam Madarijus Saalikiin 2/62.
Muhammad Nuzul Dzikri, حفظه الله تعالى