Bid’ah itu menurut anda, tapi menurut mereka sunnah.
Dalilnya lemah menurut anda, namun kuat menurut mereka.
Rojih itu menurut anda, sedang menurut mereka marjuh.
Tidak sah menurut anda, namun sah menurut mereka.
Membatalkan ibadah itu menurut anda, namun tidak membatalkan menurut mereka.
Dan masih banyak lagi.
Bila perbedaan ini tidak disikapi dengan ilmu dan hikmah, niscaya terjadi kekacauan.
Perbedaan semisal terjadi pada banyak masalah, sejak dahulu kala hingga saat ini perbedaan serupa terus terjadi.
Karena perbedaan semacam inilah dahulu di Masjid Haram Makkah setiap kali sholat fardhu, ummat Islam di sana berkelompok menjadi 4 kelompok besar, ada para pengikut mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Setiap waktu sholat tiba, Masing masing dari mereka mengumandangkan Azan dan Iqamat serta sholat berjama’ah secara bergantian.
Masing masing penganut mazhab meyakini bahwa sholat penganut mazhab lain tidak sah, mengamalkan bid’ah, atau melakukan sebagian pembatal ibadah.
Akibatnya mereka tidak mau berjama’ah di belakang penganut mazhab lain.
Bahkan sebagian penganut mazhab merasa bahwa menikahi wanita ahli kitab lebih baik dibanding menikahi wanita penganut mazhab lain.
Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya perihal hukum berjama’ah dengan penganut mazhab lain, dan beliau menjawab:
“Segala puji hanya milik Allah, betul, sebagian mereka (para penganut mazhab) boleh mendirikan sholat di belakang penganut mazhab yang lain, sebagaimana dahulu para sahabat, para penerus mereka dengan kebaikan (tabi’in) dan juga para imam sepeninggal mereka diantaranya imam keempat mazhab, sebagian mereka mendirikan sholat (berjama’ah) di belakang sebagian lainnya.
Padahal mereka bersilang pendapat dalam masalah masalah yang telah disebutkan di atas dan jga masalah masalah lainnya. Walau demikian tidak seorangpun dari ulama salaf ( terdahulu ) yang berpendapat tidak sahnya sholat di belakang sebagian lainnya.
Dan siapapun yang mengingkari fakta ini, maka itu pertanda ia adalah seorang ahli bid’ah (mubtadi’) lagi sesat, menentang Al Kitab, As Sunnah, dan ijma’ generasi terdahulu dari ummat ini dan ijma’ para imam ummat ini.
Sungguh di kalangan para sahabat dan tabi’in dan generasi penerus mereka, dari mereka ada yang membaca basmalah ketika sholat, dan ada dari mereka yang tidak membacanya.
Dari mereka ada yang mengeraskan bacaan basmalah dan ada pula yang tidak mengeraskannya.
Dari mereka ada yang membaca QUNUT SUBUH, dan dari mereka ada pula yang tidak membaca qunut.
Dari mereka ada yang mengulang wudhu’ karena berbekam, mimisan, dan muntah, dan dari mereka juga ada yang tidak mengulang wudhunya karena hal hal tersbeut.
Dari mereka ada yang berwudhu kembali setiap kali menyentuh kemaluannya, menyentuh wanita dengan diringi nafsu birahi, dan dari mereka ada yang tidak mengulang wudhunya walau telah melakukan hal hal tersebut ……
Secara global, permasalahan ini ada dua kondisi:
⚉ Kondisi pertama:
Tidak diketahui apakah sang imam melakukan hal yang dapat membatalkan sholat, maka pada kondisi ini menurut kesepakatan ulama; terdahulu, dinataranya imam keempat mazhab dan lainnya, makmum boleh mendirikan sholat di belakang imam tersebut. Pada kondisi ini, di kalangan ulama’ terdahulu tidak ditemukan perbedaan pendapat.
Perbedaan pendapat baru ditemukan di kalangan sebagian kaum fanatisme dari penganut mazhab dari kalangan mutaakhirin. ……
⚉ Kondisi kedua:
Diketahui dengan meyakinkan bahwa sang imam melakukan hal yang terlarang menurut pendapat makmum, semisal menyentuh kemaluannya, atau wanita dengan diiringi nafsu birahi, berbekam, atau fashdu atau muntah, kemudian ia mendirikan sholat tanpa berwudhu kembali, maka pada kondisi ini terjadi perbedaan yang telah masyhur:
➡️ Pendapat pertama:
Sholat makmum di belakang imam tersbeut tidak sah, karena ia meyakini batalnya sholat sang Imam, ini adalah pendapat yang dianut oleh sebagian pengikut mazhab Abu Hanifah, As Syafii, dan Ahmad.
➡️ Pendapat kedua:
Sholat makmum tetap sah, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama; terdahulu, dan ini adalahmazhab Imam Malik, dan pendapat kedua di kalangan penganut mazhab As Syafii dan Ahmad, bahkan termasuk penganut mazhab Imam Abu Hanifah.
Dan kebanyak teks ucapan Imam Ahmad sejalan dengan pendapat ini.
Inilah pendapat yang benar, sejalan dengan hadits yang diriwayatkan dalam shohih Al Bukhari dan lainnya dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam:
يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Para imam kalian itu memimpin kalian dalam mendirikan sholat. Bila mereka berbuat benar, maka pahalanya untuk kalian dan juga untuk mereka. Namun bila para imam berbuat salah, maka pahalanya untuk kalian, sedangkan dosa kesalahan sepenuhnya mereka yang menangungnya.”
Pada hadits ini Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa kesalahan imam tidak menular kepada para makmumnya. …..
Sedangkan anggapan bahwa makmum meyakini bahwa sholat imamnya telah batal, maka ini adalah kesalahan persepsi.
Karena yang benar makmum meyakini bahwa imamnya telah melakukan ibadah sesuai dengan apa yang menjadi tanggung jawabnya, dan bahwasannya Allah akan mengampuni kesalahannya dan sholatnya tidak sertta merta menjadi batal karena amalannya tersebut.” (Majmu’ Fatawa 23/373-378)
Ini namanya manhaj salaf dalam berbeda pendapat bukan berbeda pendapatan, sehingga tetap adeeem mak nyeeeees
Selamat berekreasi di dunia fiqih yang selalu dinamis dan indah.
Semoga menyegarkan khazanah keilmuan anda.
Ditulis oleh,
Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri MA, حفظه الله تعالى
.
.
ARTIKEL TERKAIT
- Sholat Di Belakang Imam Yang Qunut Shubuh…
- Apakah Makmum Ikut Mengangkat Tangan dan Mengamini Imam Qunut Shubuh..?
- Sumber Perbedaan Masalah Qunut Shubuh Dan Pendapat Jumhur Ulama…
- Masalah Khilafiyah dan Ijtihaadiyah # 3 – Perkara Khilaf Yang Tidak Boleh Dikatakan Sesat – Qunut Shubuh…
- Saling Menghormati Dalam Masalah Ijtihadiyah…
- Beda Antara Khilafiyah dan Ijtihadiyah…