Category Archives: Abu Yahya Badrusalam

Mendulang Faidah dari Hadits Nabawiyah

Berhati-hatilah saat duduk-duduk ditempat kemaksiatan. Karena bisa saja adzab Allah datang sekonyong-konyong , merata mengenai semua orang yang berada ditempat itu. Bagaimana dengan orang yang hanya sekedar ikut-ikutan ? Mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niat dan amalan mereka.

Anda mendapatkan pahala penuh sholat dan puasa meski anda tidak sedang sholat dan puasa. Bagaimana mungkin ? yaitu apabila Anda terbiasa melakukan sholat dan puasa. Namun suatu ketika Anda berhalangan untuk mengerjakannya karena udzur. Maka Anda tetap mendapatkan pahala penuh seolah-olah Anda menunaikannya.

Jangan sekali-kali Anda meremehkan orang yang buruk rupa atau cacat jasmani. Karena ukuran kemuliaan di sisi Allah bukanlah pada wajah ataupun fisik yang sempurna. Namun, tergantung pada hati dan amalan kita.

Simak pembahasan menarik dari kitab shohih attarghib wat tarhib bersama Ust Abu Yahya Badrusalam,Lc.

klik http://www.salamdakwah.com/videos-detail/sahih-attarghib-wa-attarhib-sesi-2.html

Menulusuri Hakikat Kufur

Ust. Badrusalam, Lc

Kufur menurut bahasa artinya menutupi, oleh karena itu Allah menamai petani dengan kuffar, karena mereka menutupi benih dengan tanah, dan orang kafir disebut kafir karena ia menutupi kebenaran.

Adapun kufur secara istilah terbagi menjadi dua yaitu kufur akbar (besar) dan kufur ashgar (kecil). Kufur ashgar adalah kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari islam selama tidak istihlal (meyakini bahwa Allah menghalalkannya), seperti zina, minum arak dan semua maksiat yang dinyatakan kufur oleh syari’at namun tidak mengeluarkan pelakunya dari islam.

Diantara contohnya juga adalah sabda Nabi yang artinya,

“Mencaci muslim adalah kefasiqan dan memeranginya adalah kufur.” (HR Bukhari dan Muslim).

namun para shahabat tidak mengkafirkan kaum khawarij, padahal mereka memerangi kaum muslimin. Kufur ini menghilangkan kesempurnaan iman yang wajib.

Sedangkan Kufur akbar adalah kufur yang mengeluarkan pelakunya dari islam dan ia ada enam macam sebagaimana yang dijelaskan oleh ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitab madarijussalikin 1/337-338 yaitu :

Pertama :
Kufur takdzib yaitu orang yang kafir dengan lisan dan hatinya, meyakini bahwa para Rosul adalah dusta sebagaimana yang ditunjukkan oleh surat An Naml ayat 83-84.

Kedua :
Kufur juchud yaitu orang yang meyakini kebenaran para Rosul namun lisannya mendustakan bahkan memerangi dengan anggota badannya seperti kufurnya fir’aun kepada Nabi Musa dan kafirnya orang Yahudi kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan kufur jenis ini ada dua macam :

– juchud mutlak yaitu mengingkari apa yang Allah turunkan secara umum.

– juchud muqoyyad yaitu mengingkari salah satu kewajiban islam atau keharaman-keharamannya atau salah satu sifat Allah atau kabar-Nya baik secara sengaja maupun karena lebih mendahulukan orang yang menyelisihinya karena tujuan tertentu.

Namun bila ia juchud karena bodoh atau adanya takwil yang diberikan udzur untuk pelakunya maka tidak dikafirkan.

Baca selengkapnya di:
http://cintasunnah.com/menulusuri-hakikat-kufur/

Jangan Menghitung Sedekah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أنفقي ولا تحصي فيحصي الله عليك ولا توعي فيوعي الله عليك
“Berinfaklah dan jangan menghitung-hitung, niscaya Allah akan hitung-hitung rizkiNya padamu. Dan jangan kamu menahan-nahan, niscaya Allah akan menahan-nahan rizkiNya padamu.” (HR Al Bukhari).

Ust. Badru Salam

Diantara Perilaku Jahiliyah

(Ust.Badrussalam, Lc)

Menilai kebenaran karena pengikutnya adalah orang-orang kaya, bangsawan, para ilmuwan dan orang-orang yang berkedudukan. Adapun bila pengikutnya rakyat jelata dan orang-orang lemah, ia anggap sesuatu yang batil.

Ini adalah parameter kaum jahiliyah yang tertipu dengan kedudukan dan pangkat. Dahulu para Nabi diikuti oleh orang-orang yang lemah.

Dalam Shahih Bukhari disebutkan kisah perbincangan raja Heraklius dengan Abu Sufyan yang masih kafir.
Diantara pertanyaan Heraklius tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, “Apakah pengikutnya dari kalangan rendahan atau para bangsawan?”
Abu Sufyan menjawab, “Justru kebanyakan dari kaum yang lemah.”

Padahal dahulu kaum ‘Aad dan Tsamud adalah kaum yang kuat dan berkedudukan. Namun Allah menghancurkan mereka akibat kekafiran mereka.
Di zaman ini, masih banyak orang yang yang mempunyai parameter seperti ini. Bila yang berbicara orang tidak punya titel ia acuhkan, walaupun yang diucapkan adalah kebenaran. Tapi bila yang mengucapkannya adalah orang yang bertitel apakah itu profesor atau doktor atau pejabat tinggi, maka ia anggap sebagai sebuah kebenaran.

Padahal kebenaran tidak terletak pada titel atau kedudukan. Kebenaran adalah yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Yang dapat mengikuti dakwah para Nabi hanyalah orang-orang yang menundukkan dirinya di hadapan Rabbnya dan membuang semua kesombongan dan keangkuhannya.

Adapun orang yang tertipu oleh kecerdasan, kekayaan dan kedudukan, amat sulit untuk tunduk dan taslim kepada Rabbnya. Masih menimbang-nimbang dengan akalnya, kekayaan dan kedudukan yang ia banggakan.

Maka sungguh mengagumkan orang yang tidak tertipu oleh semua itu, lalu ia tunduk dan mengakui kelemahannya di hadapan sang pencipta. Ia mengakui dirinya seorang hamba, kalaulah bukan karena Allah yang memberinya nikmat tentu ia akan binasa.

Di Bawah Naungan Sedekah

Ust. Badrusalam LC

Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

“Setiap orang akan berada di bawah naungan sedekahnya hingga diputuskan hukum antara manusia.”

Yazid berkata, “Abul Khair tidak pernah melewati satu haripun melainkan ia bersedekah dengan sesuatu walaupun hanya dengan sebuah kue ka’kah atau lainnya.”

(HR Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani).