Saat Semua Berpaling – Kisah Ka’ab bin Malik, Rodhiyallahu ‘Anhu… Part # 4

Minggu lalu (PART # 3) kita sudah mengikuti penuturan kisah Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu dan penyikapannya untuk memilih jalan kejujuran dalam menyampaikan ketiadaan uzur yang dimilikinya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam karena tidak mengikuti perang Tabuk. Dirinya lebih memilih dimarahi oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam daripada dimurkai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Lalu kejujuran Ka’ab dipuji oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dengan sabdanya;
”Tentang orang ini, maka pembicaraannya memang benar – tidak berdusta. Oleh sebab itu bolehlah engkau berdiri sehingga Allah akan memberikan keputusannya tentang dirimu.”

Tak kurang ujian yang dihadapi Ka’ab, sepulangnya ke rumah Ka’ab diprovokasi oleh segolongan dari Bani Salimah, demikian ucapan-ucapan mereka telah menghasut hati dan pikiran Ka’ab sampai-sampai dirinya hampir ingin kembali ke Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dan ‘merevisi’ pernyataan jujurnya dengan alasan kedustaan. Terkait cuplikan pengalaman Ka’ab ini, ibrah (pembelajaran) yang dapat kita petik ialah terdapat urgensi bagi kita untuk senantiasa menjaga ketiga organ tubuh kita; pendengaran, penglihatan dan hati guna dijauhkan dari paparan informasi yang jauh dari ajaran Islam & destruktif kepada keimanan kita.

Terdapat faedah yang sayang kita untuk kita lewatkan; yakni manusia memiliki kecenderungan labil yang besar. Dan dari faedah ini, kita dapat mengambil dua pelajaran; yang pertama mengenai istiqomah, janganlah terlarut dalam euforia hijrah. Pembenahan hati tidak berhenti ketika sudah berhijab sesuai syariat. Penegakkan sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam tidak berhenti ketika memiliki jenggot. Bisa jadi seseorang terlena dengan keadaan dan terjebak dalam kelalaian ibadah lainnya.

Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Sesungguhnya hati semua anak cucu Adam itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah subhanahhu wa ta’ala akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya.” (HR. Muslim)

Bayangkan, jika manusia sekaliber Ka’ab, sosok sahabat yang pernah berjuang bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam di perang Badr, yang notabene adalah salah satu dari 70 orang yang tergabung dalam Bai’at Aqobah, dalam hitungan menit dapat terpengaruh dalam hitungan menit. Apalagi diri kita, tak pelak lebih berpeluang untuk dapat mengalami kelabilan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

Artinya:
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (QS: Al Ankabut:2)

Itulah sebab kenapa kita harus istiqomah, karena Allah akan menguji kita. Dan ketika kesempatan ujian itu tiba, jangan sampai kita missed. Jangan mengira ketika kita sudah _ngaji_, kita sudah di comfort zone. Karena pada prinsipnya tidak ada comfort zone di dunia ini bagi orang beriman, karena tujuang akhir orang beriman adalah kampung akhirat.

PELAJARAN KEDUA dari faedah kelabilan manusia setelah istiqomah, yakni hal yang berkaitan dengan muammalah; selama kita berhadapan dengan manusia, maka masihlah terdapat peluang berjuang. Karena manusia mudah berubah, maka usahakan yang terbaik untuk mereka dalam upaya menyampaikan kebaikan.

Kita kembali ke kisah Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu. Dalam kegoncangannya atas pengaruh provokasi golongan Bani Salimah, Ka’ab menanyakan sesuatu kepada mereka:

“Apakah ada orang lain yang menemui peristiwa sebagaimana hal yang saya temui itu?”

Orang-orang itu menjawab:
“Ya, ada dua orang yang menemui keadaan seperti itu. Keduanya berkata sebagaimana yang engkau katakan lalu terhadap keduanya itupun diucapkan – oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam sebagaimana kata-kata yang diucapkan padamu.”

Ka’ab berkata:
“Siapakah kedua orang itu?”

Orang-orang menjawab:
“Mereka itu ialah Murarah bin Rabi’ah al-‘Amiri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi.”

Ka’ab berkata:
“Orang-orang itu menyebut-nyebutkan di mukaku bahwa kedua orang itu adalah orang-orang sholeh dan juga benar-benar ikut menyaksikan peperangan Badar dan keduanya dapat dijadikan sebagai contoh – dalam keberanian dan lain-lain.”_

Dari momen tersebut kita dapat kembali mengambil ibrah, obat untuk mengobati kegalauan yang kita alami adalah teman sepenanggungan. Keberadaan teman, apalagi jika lebih senior dari kita, yang pernah satu profesi dari kita, dapat menghilangkan penyakit kegalauan di dalam hati kita. Karena tak pelak lagi, ketika kita sedang menapaki jalan hidayah kita membutuhkan figur; tak luput Rasullullah Shallallahu’alaihi wa Sallam. Namun selain beliau, pada tingkatan pergaulan yang sebaya dengan diri kita, kita membutuhkan teman sepenanggungan.

Inilah resep istiqomah untuk survive hidup di kota yang penuh fitnah. Di mana dunia sudah terbuka semua, kita butuh teman. Kita butuh figur. Kita butuh senior. Janganlah kita jadi eksklusif.

Kita kembali ke kisah Ka’ab in Malik RadhiAllahu’anhu. Maka Ka’ab pulang ke rumahnya. Setibanya dirinya di kediamannya, telah tiba kabar hukuman untuk dirinya. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam melarang seluruh kaum Muslimin untuk berinteraksi dengan Murarah bin Rabi’ah al-‘Amiri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi serta Ka’ab bin Malik.

Semenjak hari itu, semuanya berubah. Satu kota Madinah mendadak berubah suasana bagi Ka’ab dua teman lainnya. Sampai Ka’ab merasa asing di kota Madinah. Semua orang berubah, pertanyaan dari Ka’ab tidak ada yang menjawab. Dan hal ini diberlangsungkan selama 50 hari khusus bagi mereka.

Hal ini tentu berbeda dengan apa yang sudah kita ketahui mengenai haramnya sesama muslim untuk mendiamkan selama lebih dari 3 hari. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثٍ، فَمَنْ هَجَرَ فَوْقَ ثَلَاثٍ فَمَاتَ دَخَلَ النَّارَ

Artinya:
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk memboikot saudaranya lebih dari 3 hari. Siapa yang memboikot saudaranya lebih dari 3 hari, kemudian dia meninggal maka dia masuk neraka.” (HR. Abu Daud dishahihkan Al-Albani).

Inilah mulianya agama Islam. Islam adalah agama yang sangat humanis. Karena yang menurunkan adalah Yang Menciptakan manusia. Allah Jalla jalaluhu yang paling memahami kapasitas emosi setiap manusia yang berbeda-beda, telah diatur bagaimana kita bersikap batas mendiamkan sesama muslim tak lebih dari 3 hari.

Adalah pengecualian pada treatment Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam yang memberlakukan hukuman mendiamkan kepada Ka’ab dan dua temannya selama 50 hari. Perlakuan khusus ini dijelaskan oleh Imam al Khattabi di dalam kitab Ma’alimul Sunan, karena terdapat kekhawatiran Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam pada diri tiga sahabatnya yang tidak ikut ke perang Tabuk tumbuh virus kemunafikan. Karena hanya orang munafik yang tidak memiliki uzur untuk tidak ikut dalam perang Tabuk. Pun hukuman yang diberlakukan adalah sarana uji ketahanan kapasitas Ka’ab dan kedua temannya, karena orang munafik tidak akan tahan didiamkan selama 50 hari.

Sejenak mari kita berkaca pada momen tersebut;
Hilal bin Umayyah yang pernah menghancurkan berhala dengan dua tangannya di khawatirkan menjadi munafik.
Ka’ab bin Malik, salah satu figur sahabat alumni perang Badr, perang Uhud, dan Fathul Mekkah telah dikhawatirkan menjadi munafik.

Mereka dikhawatirkan menjadi munafik karena sebuah kesalahan. Lalu pertanyaannya; “bagaimana dengan kita?” Kitalah yang paling pantas dikhawatirkan.

Apa yang sudah kita lakukan dengan masa lalu yang bergelimang dosa? Barulah kita bertaubat kemarin hari. Barulah kita menghadiri kajian dalam hitungan jari. Atau pun janganlah kita merasa senantiasa besar hati telah mengamalkan beberapa anjuran Sunnah.

Al-Hasan Al-Bashri mengatakan; “Tidak ada orang merasa aman dari sifat nifak kecuali orang munafik dan tidak ada orang yang merasa khawatir terhadapnya kecuali orang mukmin.”

Pemboikotan yang dialami Ka’ab dan kedua temannya hendaknya menginsipirasikan diri kita. Audit diri kita sebelum di audit Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat.

Bersambung di PART # 5
Baca kisah sebelumnya di 
PART # 3
PART # 2
PART # 1

Muhammad Nuzul Dzikri, حفظه الله تعالى
Courtesy of The Rabbaanians
https://www.facebook.com/therabbaanians/photos/a.1433546910282441.1073741828.1433458263624639/1628101810826949/?type=3&theater

Video Kajian : Saat Semua Berpaling… Part # 4

Raihlah pahala dan kebaikan dengan membagikan link kajian Islam yang bermanfaat ini, melalui jejaring sosial Facebook, Twitter yang Anda miliki. Semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala membalas kebaikan Anda.