Category Archives: Abu Yahya Badrusalam

Kaidah Memahami Al Qur’an Ke 21 : Bimbingan Al Qur’an Ada Dua Macam…

Kaidah-kaidah memahami Al Qur’an yang diambil dari kitab Qowa’idul Hisaan yang ditulis oleh Syaikh Abdurrohman As Sa’diy.

Kaidah ke 21 :

Bimbingan Alqur’an ada dua macam:
1. Bimbingan berupa perintah, larangan dan pengabaran tentang perkara yang ma’ruf secara syariat atau secara uruf (kebiasaan).

2. Bimbingan berupa mengeluarkan perkara yang bermanfaat dari pokok pokok yang ma’ruf dan menggunakan pikiran untuk dapat mengambil manfaat darinya.

Adapun yang pertama, maka kebanyakan bimbingan alqur’an adalah bersifat pengabaran dan masuk padanya masalah hukum.

Adapun yang kedua, maka alquran memerintahkan untuk memikirkan penciptaan langit dan bumi untuk menghasilkan dua ilmu yang agung:

Pertama: Mengenal Allah dengan sifat sifatNya yang agung dan mulia. Mengenal nikmat nikmatNya dan kekuasaanNya. Ini adalah ilmu yang paling agung.

Kedua: Mengambil manfaat manfaat dari ilmu dunia untuk kemashlahatannya dunia dan akherat. Menghasilkan produk produk di berbagai macam bidang baik tekhnologi ataupun lainnya yang bermanfaat untuk kehidupan manusia.

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Kaidah Ke 22 : Membimbing Sikap Tawasuth (Pertengahan) dan Mencela Sikap Meremehkan dan Ghuluw…

KAIDAH MEMAHAMI Al QUR’AN – Daftar Isi LENGKAP

Apa Keyakinan Ahlus Sunnah Tentang Sudah Adanya Surga dan Neraka..?

Simak penjelasan Ustadz Abu Yahya Badrusalam, حفظه الله تعالى

Dari pembahasan Kitab Al-Intishar (الانتصار بشرح عقيدة أئمة الأمصار) yang menjelaskan secara gamblang tentang aqidah ahlussunnah wal jama’ah yang dihimpun dari 2 (dua) karya ulama besar, yaitu: Abu Zur’ah Ar-Razi dan Abu Hatim Ar-Razi rahimahumallah.

Apakah SURGA dan NERAKA Telah Diciptakan..?

Simak penjelasan Ustadz Abu Yahya Badrusalam, حفظه الله تعالى

Dari pembahasan Kitab Al-Intishar (الانتصار بشرح عقيدة أئمة الأمصار) yang menjelaskan secara gamblang tentang aqidah ahlussunnah wal jama’ah yang dihimpun dari 2 (dua) karya ulama besar, yaitu: Abu Zur’ah Ar-Razi dan Abu Hatim Ar-Razi rahimahumallah.

Benarkah ALLAH Akan Berbicara Kepada Penduduk Surga..?

Simak penjelasan Ustadz Abu Yahya Badrusalam, حفظه الله تعالى

Dari pembahasan Kitab Al-Intishar (الانتصار بشرح عقيدة أئمة الأمصار) yang menjelaskan secara gamblang tentang aqidah ahlussunnah wal jama’ah yang dihimpun dari 2 (dua) karya ulama besar, yaitu: Abu Zur’ah Ar-Razi dan Abu Hatim Ar-Razi rahimahumallah.

Hadits SHAHIH… part 3

Hadits shahih adalah yang terpenuhi padanya lima syarat:

Syarat pertama: Bersambung sanadnya. (baca part 1)
Syarat kedua: Perawinya adil. (baca part 2)

Syarat ketiga: Dlobith

Dlobith artinya menguasai hadits yang ia riwayatkan dan selamat dari kesalahan atau kelalaian.

Dlobith ada dua macam:

1. Dlobith shodr. Yaitu menguasai hadits dengan hafalan dan hafalannya tidak berubah sampai akhir hayatnya. bila berubah maka periwayatan setelah berubah tidak diterima.

2. Dlobith kitab. Yaitu menguasai dengan kitab, dimana ia memiliki catatan yang selamat dari kesalahan dan telah dimuqobalah dengan kitab asalnya.

Sebagian perawi hadits ada yang diterima periwayatannya bila meriwayatkan dari hafalan tapi tidak diterima bila meriwayatkan dari catatan. Sebagian lagi ada yang sebaliknya. Dan ada juga yang diterima dari keduanya.

Bagaimana mengetahui kedlabitan perawi?

Ada dua cara yang digunakan oleh para ahli hadits untuk mengetahui kedlabitan perawi, yaitu:

Pertama: Membandingkan periwayatannya dengan periwayatan perawi-perawi lain yang terkenal ketsiqahan dan ke-dhabit-annya.
Jika mayoritas periwayatannya sesuai walaupun dari sisi makna dengan periwayatan para perawi yang tsiqah tersebut dan penyelisihannya sedikit atau jarang maka ia dianggap sebagai perawi yang dhabit. Dan jika periwayatannya banyak menyelisihi periwayatan perawi-perawi yang tsiqah tadi maka ia dianggap kurang atau cacat kedlabitannya dan tidak boleh dijadikan sebagai hujah. Akan tetapi jika si perawi tersebut mempunyai buku asli yang shahih dan ia menyampaikannya hanya sebatas dari buku bukan dari hafalannya maka periwayatannya dapat diterima.

Kedua: Menguji perawi.
Bentuk-bentuk ujian kepada perawi bermacam-macam diantaranya adalah dengan membacakan padanya hadits-hadits lalu dimasukkan di sela-selanya periwayatan orang lain, jika ia dapat membedakan maka ia adalah perawi yang tsiqah dan jika tidak dapat memebedakannya maka ia kurang ketsiqahannya.

Diantaranya juga adalah membolak-balik matan dan sanad sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli hadits Baghdad terhadap imam Bukhari. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menguji perawi, sebagian ulama mengharamkannya seperti Yahya bin Sa’id Al Qathan dan sebagian lagi melakukannya seperti Syu’bah dan Yahya bin Ma’in. Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah memandang bahwa menguji perawi adalah boleh selama tidak terus menerus dilakukan pada seorang perawi karena mashlahatnya lebih banyak dibandingkan mafsadahnya yaitu dapat mengetahui derajat seorang perawi dengan waktu yang cepat.

Hal hal yang meniadakan kedlabitan.

Ada tujuh perkara yang merusak kedlabitan perawi hadits, yaitu:

1. Katsrotul wahm: Yaitu perawi banyak melakukan wahm (kesalahan karena kurangnya menguasai) seperti memursalkan hadits yang harusnya mausul. Atau memuqufkan hadits yang seharusnya marfu dan sebaliknya.

2. Seringkali menyelisihi periwayatan perawi lain yang lebih tsiqot.

3. Buruk hafalan. Yaitu sisi salahnya tidak dapat mengalahkan sisi benarnya, artinya dua kemungkinan itu sama sama kuat.

4. Fuhsyul gholath. Yaitu kesalahan perawi dalam meriwayatkan hadits jauh lebih banyak dari periwayatannya yang benar.

5. Syiddatul ghoflah. Yaitu perawi tidak memiliki kepiawaian untuk membedakan mana riwayatnya yang benar dan mana yang salah.

6. Terlalu longgar dalam catatannya sehingga ia tidak berusaha membetulkan kesalahannya atau membandingkannya dengan kitab asal. Ini khusus untuk dlobit kitab.

7. Tidak memiliki ilmu tentang apa saja yang merusak makna hadits. Ini khusus ketika meriwayatkan secara makna.

Bersambung… part 4

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Hadits SHAHIH… part 2

Hadits shahih adalah yang terpenuhi padanya lima syarat:

Syarat pertama: Bersambung sanadnya. Dari awal sanad sampai akhir sanad. (baca part 1)

Syarat kedua: Perawinya adil.

Disebut adil apabila memenuhi lima syarat:
1. Muslim. Maka periwayatan orang kafir tidak diterima. kecuali bila ia masuk islam dan meriwayatkan apa yang ia dengar di saat kafir setelah islamnya.

2. Baligh. diterima Apa yang ia dengar di saat belum baligh lalu disampaikan setelah baligh.

3. Berakal.

4. Tidak fasiq. Yaitu pelaku dosa besar atau pelaku bid’ah. Adapun pelaku dosa besar maka tidak boleh diterima secara mutlak. Sedangkan pelaku bid’ah dapat diterima jika ia tsiqoh, amanah, dan tidak menghalalkan dusta.

5. Tidak melakukan khowarim almuruah. Seperti terbiasa meninggalkan sunnah sunnah muakkadah, atau melakukan adab adab yang buruk. maka yang seperti ini tercela pelakunya.

bersambung… part 3

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Hadits SHAHIH… part 1

Hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan perawi perawinya yang adil dan sempurna kedlobitannya, tidak syadz dan tidak mengandung illat yang merusak keabsahannya.

Definisi ini memberikan kepada kita faidah bahwa hadits shahih adalah yang terpenuhi padanya lima syarat:

Syarat pertama: Bersambung sanadnya. Dari awal sanad sampai akhir sanad.

Kebersambungan sanad ada yang sharih (jelas) yaitu dengan menggunakan lafadz yang menunjukkan kepada mendengar atau mengambil langsung dari gurunya seperti lafadz: haddatsana, akhbarona, sami’tu dan semacamnya.

Ada juga yang tidak shorih, yaitu dengan menggunakan lafadz yang mengandung ihtimal (kemungkinan) mendengar atau tidak, seperti lafadz ‘an (dari), dan qoola (ia berkata).

Lafadz yang tidak shorih ini dianggap bersambung bila:
1. Perawinya tidak mudallis. Akan dibahas makna mudallis pada tempatnya in sya Allah.

2. Ada kemungkinan besar bertemu, seperti sezaman dan satu daerah dan sebagainya.

Jika perawinya mudallis maka tidak diterima periwayatannya dengan menggunakan lafadz ‘an atau qoola. Dan diterima bila menggunakan lafadz yang shorih ssperti haddatsana dsb bila perawi mudallis ini tsiqoh.
Kecuali bila perawi mudallis ini amat banyak meriwayatkan dari seorang syaikh maka perbuatan para ulama menunjukkan tetap diterima seperti periwayatan Al A’masy dari ibrahim An Nakho’iy dan sebagainya.

Demikian pula tidak diterima bila ada indikasi atau pernyataan ulama bahwa perawi tersebut tidak mendengar dari syaikhnya.

bersambung… part 2

Badru Salam,  حفظه الله تعالى

Kaidah Memahami Al Qur’an ke 20 : Maksud Perumpamaan Dalam Al Qur’an…

Kaidah-kaidah memahami Al Qur’an yang diambil dari kitab Qowa’idul Hisaan yang ditulis oleh Syaikh Abdurrohman As Sa’diy.

Kaidah ke 20 :

Maksud perumpamaan dalam al Qur’an

Al Qur’an mengandung tata cara taklim yang paling baik dan lebih sampai kepada jiwa pembacanya. Diantara tata cara taklim al qur’an adalah memberikan perumpamaan agar lebih mudah difahami.

Seperti Allah mengumpamakan kalimah thoyibah dengan sebuah pohon yang tumbuh dengan baik. Ia memiliki akar, batang, cabang dan ranting yang menjulang.

Kalimah thayibah itu adalah laa ilaaha illallah yang merupakan pokok iman. Dan iman itu mempunyai 70 puluh cabang lebih. Bila hilang salah satu cabang tidak membuat hilang nama pohon itu namun ia berkurang kesempurnaannya.

Allah juga mengumpamakan ilmu bagaikan air hujan. Allah berfirman:

أو كصيب من السماء فيه ظلمات ورعد وبرق

“Atau bagaikan hujan yang terdapat padanya kegelapan, halilintar dan kilat.”

Dalam ayat ini Allah mengumpamakan ilmu dan hidayah bagaikan air hujan yang bermanfaat untuk bumi. Dan mengumpakan penyakit kemunafikan dan kekufuran dengan kegelapan. Kilat dan halilintar bagaikan perintah dan ancaman.
Sungguh perumpamaan yang amat tepat dan indah.

Maksud perumpamaan itu adalah lebih memahamkan pembacanya. Namun diantara manusia ada yang memahaminya dan diantara mereka ada juga yang tidak memahaminya.

Tentunya kewajiban kita adalah berusaha memahami perumpamaan perumpamaan tersebut dengan benar.

Badru Salam, حفظه الله

Kaidah Ke 21 : Bimbingan Al Qur’an Ada Dua Macam…

KAIDAH MEMAHAMI Al QUR’AN – Daftar Isi LENGKAP

Hukum Hadits AHAD…

Setelah kita mengenal hadits ahad, maka ketahuilah bahwa semua ulama bersepakat wajibnya menerima hadits ahad baik dalam hukum maupun dalam aqidah bahkan dalam semua sisi agama.

Al-Imam Asy Syafi’i berkata dalam kitab beliau Ar Risalah, “Apabila satu orang boleh berbicara dalam suatu cabang ilmu tertentu, bahwa kaum muslimin yang lalu maupun yang sekarang telah bersepakat atas validnya berargumen dengan hadits ahad dan mencukupkan diri dengannya. Dan tidak diketahui seorang pun fuqaha’ dari kaum muslimin kecuali mereka menetapkan validitas argumen dengan hadits ahad. Maka boleh juga untukku menetapkannya Akan tetapi aku berkata, “Aku tidak hafal adanya seorang pun fuqaha kaum muslimin yang berselisih dalam masalah penetapan khabar ahad.”

Maksudnya beliau tidak mengetahui adanya perselisihan. Beliau tidak menyatakan dengan tegas adanya ijma sebagai bentuk kehati hatian dan waro’. Tetapi adanya ijma wajibnya menerima kabar ahad telah dinyatakan oleh banyak ulama.

Al-Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata, “Adapun tingkatan yang kedelapan: Meyakini telah bersepakatnya umat atas hal-hal yang telah diketahui dan diyakini, yaitu dengan menerima hadits-hadits dan menetapkan sifat-sifat Rabb Ta’ala dengannya. Dalam hal ini tidak boleh meragukan suatu khabar yang sedikit penukilnya, yaitu dari kalangan shahabat radhiyallahu ‘anhum. Merekalah yang meriwayatkan hadits-hadits dan sebagian mereka saling bertemu satu sama lain dan saling menerima kabar tersebut, dan tidak ada satupun dari mereka yang mengingkari riwayat (ahad) tersebut. Kemudian bertemulah mereka dengan segenap tabi’in, dari awal sampai akhir’” (Mukhtashar As Shawa’iq Al Mursalah).

Al-Imam Ibn Abdil Barr berkata mengenai khabar ahad dan sikap para ulama terhadapnya, “Seluruh ulama berpegang dengan khabar ahad yang ‘adl dalam masalah aqidah, mereka menetapkan loyalitas dan permusuhan dengan khabar ahad, meyakininya sebagai sumber dalam syariat dan agama, dan seluruh ahlus sunnah bersepakat dalam hal ini.” –selesai kutipan dari kitab At Tamhid 1/8.

Badru Salam,  حفظه الله تعالى