Bathilnya Kalimat : “Terimalah Aku Apa Adanya”

Oleh : Ust. DR Muhammad Arifin Badri

Sobat, coba pilih :
– Suami yg setia adalah yg menerima istrinya dng apa adanya atau yg crewet mengkritisinya?

– Istri yg setia adalah yg menerima suaminya apa adanya ataukah yg cerewet terus mengkritisinya?

– Teman yg baik adalah yg menerima temannya dng apa adanya atau yg cerewet mengusik kekurangan dan kesalahan temannya?

Betapa sering anda menuntut orang di sekitar anda dg kalimat :

TERIMALAH SAYA APA ADANYA.

Bukankah demikian?

Sadarkah anda bahwa tuntutan semacam inilah yg selama ini menjadikan rumah tangga retak, persahabatan hancur, dan tatanan masyarakat rusak.

Betapa tidak, karena setiap orang biasanya juga menuntut hal serupa.
Dan bila kondisi semacam ini telah terjadi maka yg ada hanyalah perebutan dan persengketaan.

Karena ternyata “apa adanya” mengganggu dan mengancam “apa adanya” istri anda.

“apa adanya” anda ternyata tidak sejalan dg “apa adanya” teman anda.

Karena itu bila anda ingin sukses berumah tangga, bersahabat atau bermasyarakat,
buanglah jauh2 kebiasaan buruk berprinsip “terimalah saya apa adanya”, dan gantilah dg prinsip manjur dan kiat sukses berikut:

ﻭﺗﻌﺎﻭﻧﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺒﺮ ﻭﺍﻟﺘﻘﻮﻯ ﻭﻟﺎ ﺗﻌﺎﻭﻧﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺈﺛﻢ ﻭﺍﻟﻌﺪﻭﺍﻥ

Bahu membahulah kalian dlm kebajikan dan ketakwaan dan jangan sekali2 kali bahu membahu dlm hal dosa dan perbuatan melampaui batas.

Perintahkanlah yang baik, sempurnakan yang benar dan buang jauh2 yg buruk.

Tegakkanlah yg ma’ruf dan jauhilah yg mungkar.

Dahulu orang bijak berpetuah:

ﺻﺪﻳﻘﻚ ﻣﻦ ﺻﺪﻗﻚ ﻻ ﻣﻦ ﺻﺪﻗﻚ

Kawanmu yang sejati ialah yg senantiasa jujur bukan yg senantiasa membenarkan atau membelamu.

Silakan share semoga bermanfaat, menginspirasi dan menjadi renungan bagi sahabat yang lainnya…. ({})

AJARAN-AJARAN MADZHAB SYAFI’I YG DITINGGALKAN OLEH SEBAGIAN PENGIKUTNYA 3 -CADAR

Memang aneh..sbagian orang memandang miring terhadap cadar..,sementara sbagian yg lain dengan bangganya berkata,”Jika ada sejuta Lady Gaga yg datang ke tanah air maka tak akan mengurangi keimanan kami??!!”.Lady Gaga datang sejuta kali ke Indonesia tak akan mengurangi keimanan warga kita..!!(lihat https://­www.youtube.com/­watch?v=pnC4ZKAM­EQQ)

Sebagian lagi menganggap tarian goyang inul sebagai sesuatu yg biasa yg tidak perlu diingkari,goyangan inul merupakan bentuk kebebasan berekspresi!!(lihat: http://­www.merdeka.com/­peristiwa/­dulu-bikin-inul-­menangis-kini-g­iliran-rhoma-se­senggukan.html)

Kalau sebagian orang tersebut dari kalangan awam,mungkin masih bisa dimaklumi..,akan tetapi jika pernyataan-pern­yataan tersebut muncul dari kiyai..maka..mau dikemanakan moral bangsa kita ini!!??

Tidakkah diketahui bahwa di tanah air kita telah terjadi perbuatan mesum di bawah umur??,anak-anak remaja SMP,bahkan SD!!, lantas bagaimana bisa terucap bahwa sejuta Lady Gaga tak akan mempengaruhi keimanan..,bahkan jika lady Gaga datang sejuta kali ke tanah air??

Maka sungguh aneh..jika ada yg membela inul..&ada yg memandang miring cadar??!!

Ternyata pendapat yg menjadi patokan dalam madzhab syafi’i adalah wajah wanita merupakan aurot sehingga wajib untuk ditutupi!!wajib untuk bercadar!!

Meskipun tentunya permasalahan cadar adl permasalahan khilafiyah dikalangan para ulama,akan tetapi perlu diingat bahwasanya para ulama telah sepakat bahwa memakai cadar hukumnya disyari’atkan&minimal adl mustahab/­sunnah.Mereka hanyalah khilaf tentang kewajiban bercadar.

Sebelum saya nukilkan perkataan para ulama syafi’iyah tentang permasalahan ini,ada baiknya kita telaah terlebih dahulu dalil2 yg menunjukkan akan disyari’atkanny­a bercadar bagi wanita.

Selengkapnya di :
http://www.firanda.com/index.php/artikel/fiqh/444-ajaran-ajaran-madzhab-syafi-i-yang-ditinggalkan-oleh-sebagian-pengikutnya-3-cadar

~-¤-~

Air Musta’mal

Oleh Ustadz Badrusalam, Lc حفظه الله تعالى

Berkata imam Asy Syaukani rahimahullah: “..dan tidak ada bedanya. Antara air musta’mal dan air ghair musta’mal.

Syarah:
Terjadi ikhtilaf dikalangan ulama tentang hukum air musta’mal. Yang rajih ia adalah suci dan mensucikan, dan ini adalah pendapat Ali bin Abi Thalib, ibnu Umar, Abu Umamah, yang masyhur dari madzhab Malik, suatu riwayat dari imam Asy Syafi’I, Ahmad, ibnu Hazm, ibnul Mundzir dan dipilih oleh syaikhul islam ibnu Taimiyah.

Dalil-dalilnya:
1. Pada asalnya air itu suci mensucikan, tidak dianggap najis kecuali dgn dalil.

2. Para shahabat menggunakan bekas air wudlu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dari Abu Juhaifah bahwa Rasulullah keluar di waktu siang, lalu di bawa air wudlu, maka orang-orang mengambil bekas wudlu beliau dan mengusapkannya ke badan mereka.
Al Hafidz ibnu Hajar berkata: “padanya terdapat dalil yang terang sucinya air musta’mal (fathul baari 1/353).

3. Hadits ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mandi dengan air bekas mandi Maimunah.

4. Ibnul Mundzir berkata: “Dalam ijma’ ulama yang menyatakan bahwa tetesan air wudlu yang jatuh dari badan orang yang mandi dan berwudlu, menjadi dalil sucinya air musta’mal, dan apabila ia suci, maka tidak ada alasan untuk melarang berwudlu dengannya dengan tanpa hujjah”. (Al Ausath 1/288).

– – – – – – 〜✽〜- – – – – –

Tj Hukum Membaca Al Fatihah Bagi Makmum Dalam Shalat Berjama’ah

Tanya:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ. وَبَرَكَاتُه

Ustadz, mohon penjelasan tentang hukum membaca surat al-Fatihah bagi makmum dlm sholat berjama’ah dimana imam mengeraskan ataupun melirihkan bacaannya.
شكرا وجزاكم الله خيرا

Jawab:
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Bismillah. Bpk. H.A.N yg smg
dirahmati Allah, membaca surat Al-Fatihah di dlm sholat fardhu n sunnah merupakan salah satu rukun sholat.

Para ulama telah sepakat bahwa membaca al-Fatihah di dlm sholat hukumnya WAJIB bagi imam dan orang yg sholat sendirian. Akan tetapi mereka berbeda pendapat ttg hukum membaca surat Al-Fatihah bagi makmum dlm sholat berjama’ah. Dlm hal ini ada 3 pendapat:

»PENDAPAT PERTAMA:
Makmum WAJIB membaca surat
Al-Fatihah, baik dlm sholat
sirriyyah (spt sholat Duhur dan
ashar) maupun sholat jahriyyah (spt sholat subuh, maghrib dan isya). Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “La Sholaata Liman Lam Yaqro’ Bi Faatihatil Kitaab.” Artinya: “Tidaklah sah sholat seseorang tanpa (membaca) surat al-Fatihah.”

»PENDAPAT KEDUA:
Makmum TIDAK WAJIB membaca surat al-Fatihah, tetapi cukup mendengarkan bacaan imam saja. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
(Wa idzaa quri-al Qur’aanu fastami’uu lahuu wa anshituu.”

Artinya: “Dan apabila dibacakan
al-Qur’an maka dengarkanlah dan diamlah.”

Dan berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

(man kaana lahu imaamun fa qiroo’atul imaami qiroo’atun lahu)

Artinya: “Barangsiapa mempunyai imam (dlm sholat), maka bacaan (Al-Fatihah) imam adalah (mencukupi) bacaan baginya.”

»PENDAPAT KETIGA:
Menjelaskan secara terperinci dlm masalah ini. Yakni apabila imam membaca surat al-Fatihah secara sirri (pelan) spt sholat Duhur n Ashar, maka makmum wajib membaca surat al-Fatihah. Akan tetapi jika imam membaca surat al-Fatihah secara jahr (jelas/keras), maka makmum TIDAK WAJIB membaca surat al-Fatihah, tapi cukup baginya diam n mendengarkan bacaan imamnya saja.

Pendapat ketiga ini dilandasi dengan semua dalil yg dijadikan hujjah oleh pendapat pertama n kedua.

Dan pendapat ketiga (terakhir) inilah yg nampak lebih ROJIH (kuat n benar) dibanding pendapat pertama n kedua.

Demikian jawaban yg dapat kami sampaikan. Smg mudah dipahami n menjadi ilmu yg bermanfaat. Wallahu a’lam bish-showab. Wabillahi at-Taufiq.

–⌣»̶·̵̭̌·̵̭̌✽‎​¤M-¤✽·̵̭̌·̵̭̌«̶⌣–

» SUMBER: BBG Majlis Hadits, chat room Tanya Jawab.

(*) Blog Dakwah Kami:
http://abufawaz.wordpress.com

Bersyukur

Bersyukur adalah memberikan pujian kepada yang memberikan karunia nikmat dari suatu kebajikan.

Syukurnya seorang hamba berkisar pada tiga rukun, yaitu Mengakui pemberian nikmat secara bathin, Menyebut-nyebut puji dan syukur secara dhohir, Menggunakan nya pada jalan keta’atan.

Dengan ini kita simpulkan, bersyukur berkaitan dengan hati, lisan, dan anggota badan. Hati mengakui akan adanya nikmat, lisan senantiasa memuja dan memuji, anggota badan menggunakan nikmat tersebut di jalan keta’atan.

Allah سبحانه وتعالى kaitkan syukur dengan iman dalam firman Nya,” Allah tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman. Dan Allah Maha Mensyukuri lagi Maha mengetahui “. QS An-Nisa’ 147.

Allah khabarkan bahwa hamba yang bersyukur merekalah orang-orang yang khusus diberikan karunia kenikmatan, sebagaimana firman Nya ,” Demikiyanlah Kami menguji sebagiyan mereka dengan sebagiyan yang lain, agar mereka berkata,” Orang orang semacam inikah diantara kita yang diberi anugrah olih Allah ? “, Maka Allah berkata ” Bukankah Allah lebih mengetahui tentang hamba-hamba Nya yang bersyukur kepada Nya ?”. QS Al-An’am 53.

Allah membagi manusia ada dua jenis, Bersyukur dan Kafir,sebagaimana firman Nya,” Sungguh, Kami telah menunjukkan kepada manusia jalan yang lurus, akan tetapi diantara mereka ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur “. QS Al-Insan 3.

Dan Allah memberikan ancaman kepada mereka yang kafir, Allah berfirman ,” Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengumandangkan ” Sungguh jika kaliyan bersyukur, niscaya Aku akan tambah nikmat kepadamu, tapi bila kaliyan kufur dan mengingkari nikmat-Ku, maka pastilah adzabKu amat sangat keras “. QS Ibrahim 7.

 Ditulis oleh Ustadz Ust. Rochmad supriyadi, Lc حفظه الله تعالى

– – – – – – 〜✽〜- – – – – –

Tj Tidur Sebelum Dan Sesudah Shalat Shubuh

Pertanyaan Ai 399:
afwan tanya lagi : Khotib mengatakan, “Jangan tidur satu jam sebelum Subuh,dan Jangan tidur dua jam setelah Subuh”.
Adakah hadist yang menjelaskan dalil tersebut? جزاك الله خيرا

Jawaban:

Ust. Badru: “gak ada haditsnya”
Ust. Syafiq:
“Wallahu A’lam, baru dengar ni, soalnya Nabi shallahu alaihi wa sallam biasanya setelah shalat malam, menanti subuh, kadang beliau rebahan, bahkan shalatnya nabi dawud, seperenam malam sebelum subuh malah tidur”

Tj Bacaan Dalam Sujud Syukur

Pertanyaan Ai 399:

Assalamu’alaykum, ana ingin tanya bacaan dalam sujud syukur, jazakallah khayran

Jawaban:

Ketika seorang mukmin mendapatkan nikmat yang besar atau diselamatkan dari kecelakaan atau musibah tertentu, dianjurkan untuk melakukan sujud syukur. Tata caranya, sama seperti sujud biasa.

Apa yang harus dibaca ketika sujud syukur?

Tidak terdapat hadis shahih yang menjelaskan bacaan tertentu untuk sujud syukur. Karena itu, para ulama menegaskan bacaan pada sujud syukur sama sebagaimana bacaan pada sujud dalam shalat. Seperti, subhaana rabbiyal a’laaa, atau subbuuhun qudduusun rabbul malaaikati war ruuh, atau yang lainnya, kemudian dilanjutkan dengan
doa apapun yang dikendaki orang yang sujud.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Tata cara sujud syukur, baik gerakan maupun
hukum, dan syaratnya sama seperti sujud tilawah.” (Al-Mughni, 2:372)

Beliau menjelaskan tentang sujud tilawah, “Bacaan sujud tilawah sama dengan bacaan
sujud dalam  shalat.” (Al-Mughni, 2:362)

Allahu a’lam

Disadur dari Fatawa Islam, Syaikh Al-Munajed. no. 21888.

http://www.konsultasisyariah.com/bacaan-sujud-syukur/#axzz2THPIbWFU

Tj Membaca Al Qur’an Ketika Ziarah Kubur

Pertanyaan Ai49:

Asslmwlkum ustad,ijinkan saya bertanya,apakah kita boleh membaca al quran pada saat berziarah kubur,dan apa yg kita lakukan apabila berada didpn jenasah,yg sesuai dgn tuntunan rosulallah,tks,

Jawaban:
Yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita, sebagian yang ziarah kubur sering membawa Qur’an –terutama surat Yasin-, lalu membacanya di sisi kubur. Kita sepakat bahwa Al Qur’an adalah kalamullah dan surat Yasin adalah surat yang baik, mengandung pelajaran dan hikmah-hikmah penting di dalamnya. Namun apakah ketika ziarah kubur dituntunkan demikian? Ataukah ada tuntunan atau ajaran lainnya dari Rasul kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah ditanya, “Apakah membaca Al Qur’an di sisi kubur termasuk amalan yang tidak dituntunkan khususnya surat Fatihah dan Al Baqarah? Karena setahu saya setelah membaca kitab Ar Ruh karya Ibnul Qayyim bolehnya membaca Qur’an ketika pemakaman mayit dan setelah pemakaman. Beliau menyebutkan bahwa para salaf menasehati agar membaca Al Qur’ah ketika pemakaman.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,

Membaca Al Qur’an di sisi kubur adalah di antara amalan yang tidak dituntunkan sehingga tidak boleh kita lakukan. Kita tidak boleh pula shalat di sisi kubur karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan seperti itu. Begitu pula hal tersebut tidak pernah dituntunkan oleh khulafaur rosyidin (Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen). Karena amalan tadi hanyalah dilakukan di masjid dan di rumah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اجْعَلُوا مِنْ صَلاَتِكُمْ فِى بُيُوتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا

Jadikanlah shalat kalian di rumah kalian dan jangan jadikan rumah tersebut seperti kubur” (HR. Bukhari no. 432 dan Muslim no. 777). Hadits ini menunjukkan bahwa kubur bukanlah tempat untuk shalat dan juga bukan tempat untuk membaca Al Qur’an.  Amalan yang disebutkan ini merupakan amalan khusus di masjid dan di rumah. Yang hendaknya dilakukan ketika ziarah kubur adalah memberi salam kepada penghuninya dan mendoakan kebaikan pada mereka.[1]

Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah penguburan mayit, beliau berhenti di sisi kubur dan berkata,

اسْتَغْفِرُوا لأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ فَإِنَّهُ الآنَ يُسْأَلُ

Mintalah ampun pada Allah untuk saudara kalian dan mintalah kekokohan (dalam menjawab pertanyaan kubur). Karena saat ini ia sedang ditanya” (HR. Abu Daud no. 2758. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Beliau sendiri tidak membaca Al Qur’an di sisi kubur dan tidak memerintahkan untuk melakukan amalan seperti ini..

Memang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar -jika  riwayat tersebut shahih- bahwa beliau melakukan seperti itu, alasan ini tidak bisa dijadikan pendukung. Karena yang namanya ibadah ditetapkan dari sisi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dari Al Qur’an. Perkataan sahabat tidak selamanya menjadi pendukung, begitu pula selainnya selain khulafaur rosyidin. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai khulafaur rosyidin,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Wajib atas kalian berpegang tegus dengan ajaranku dan juga ajaran khulafaur rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah kuat-kuat ajaran tersebut dengan gigi geraham kalian” (HR. Tirmidzi no. 2676 dan Ibnu Majah no. 42. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih). Ajaran khulafaur rosyidin bisa jadi pegangan selama tidak menyelisihi ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan sahabat lainnya, maka itu tidak selamatnya  bisa menjadi pegangan dalam hal ibadah. Karena sekali lagi, ibadah adalah tauqifiyah, mesti dengan petunjuk dalil. Ibadah itu tauqifiyyah, diambil dari Al Qur’an dan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.

Adapun perkataan Ibnul Qayyim dan sebagian ulama lainnya, itu tidak bisa dijadikan sandaran. Dalam masalah semacam ini hendaklah kita berpegang pada Al Qur’an dan As Sunnah. Amalan yang menyelisihi keduanya adalah amalan tanpa tuntunan. Jadi, kita tidak boleh shalat di sisi kubur, membaca Al Qur’an di tempat tersebut, berthawaf mengelilingi kubur, dan tidak boleh pula berdo’a kepada selain Allah di sana. Tidak boleh seorang muslim pun beristighotsah dengan berdo’a kepada penghuni kubur atau si mayit. Tidak boleh pula seseorang bernadzar kepada penghuni kabar karena hal ini termasuk syirik akbar. Sedangkan berdo’a di sisi kubur atau berdo’a pada Allah di sisi kubur termasuk amalan yang mengada-ngada.

Lalu Syaikh rahimahullah ditanya oleh salah satu muridnya, “Apalah Imam Ahmad telah rujuk secara perbuatan dari pendapat yang membolehkan berdo’a di sisi kubur? Jazakumullah khoiron, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.

Diriwayatkan mengenai hal ini, namun aku sendiri tidak mengetahui keshahihannya seandainya  beliau rujuk. Namun jika beliau membolehkannya (berdo’a di sisi kubur), maka beliau keliru, sama halnya dengan ulama lainnya. Dan Ibnu ‘Umar sendiri lebih afdhol dari Imam Ahmad.  Sekali lagi, pegangan kita dalam ibadah adalah dalil Al Qur’an dan As Sunnah.

Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’: 59).

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (dikembalikan) kepada Allah.” (QS. Asy Syura: 10).

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah.” (QS. Al Hasyr: 7). Amalan ini adalah permasalahan ibadah dan permasalah yang urgent sehingga seharusnya setiap muslim kembalikan pada ajaran Al Qur’an dan As Sunnah yang suci.

Ada yang bertanya lagi pada Syaikh Ibnu Baz, “Apakah engkau berpegang pada madzhab tertentu?”

Beliau rahimahullah menjawab, “Fatwa yang kukeluarkan tidaklah berdasarkan pada madzhab tertentu, aku tidak berpegang pada madzhab Imam Ahmad dan imam lainnya. Yang selalu jadi peganganku adalah firman Allah dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baik pendapat tersebut terdapat pada madzhab Ahmad, Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, atau Zhohiriyah atau pada sebagian ulama salaf di masa silam. Yang selalu jadi peganganku adalah dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Saya tidak selalu berpegang pada madzhab Hambali atau madzhab lainnya. Sandaranku sekali lagi adalah pada firman Allah dan sabda Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang menjadi petunjuk dari kedua dalil tersebut dalam berbagai hukum. Inilah kewajiban yang harus diikuti setiap penuntut ilmu.

[Referensi: http://www.ibnbaz.org.sa/mat/9920]

Fatwa di atas mengajarkan pada kita suatu pedoman yang penting dalam beragama. Hendaknya kita berpegang teguh pada dalil. Perkataan ulama atau ulama madzhab tidak selamanya bisa menjadi pegangan jika menyelisihi ajaran Al Qur’an dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini berbeda dengan sikap sebagian orang yang terlalu fanatik buta pada madzhab tertentu. Padahal para imam madzhab sendiri tidak memerintahkan kita untuk ikut pendapatnya, yang mereka anjurkan adalah ikutilah dalil.

Imam Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf berkata, “Tidak boleh bagi seorang pun mengambil perkataan kami sampai ia mengetahui dari mana kami mengambil perkataan tersebut (artinya sampai diketahui dalil yang jelas dari Al Quran dan Hadits Nabawi, pen).”[2]

Imam Malik berkata, “Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa keliru dan benar. Lihatlah setiap perkataanku, jika itu mencocoki Al Qur’an dan Hadits Nabawi, maka ambillah. Sedangkan jika itu tidak mencocoki Al Qur’an dan Hadits Nabawi, maka tinggalkanlah.[3]

Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’i berkata, “Jika hadits itu shahih, itulah pendapatku.”[4]

Imam Asy Syafi’i berkata, “Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.”[5]

Terdapat riwayat shahih dari Imam Asy Syafi’i, beliau sendiri mengatakan, “Jika ada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi pendapatku, maka beramallah dengan hadits tersebut dan tinggalkanlah pendapatku.” Dalam riwayat disebutkan, “Pendapat (yang sesuai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) tersebut itulah sebenarnya yang jadi pendapatku.” Perkataan ini disebutkan oleh Al Baihaqi, beliau mengatakan bahwa sanadnya shahih[6].

Imam Ahmad berkata, “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berarti telah berada dalam jurang kebinasaan.”[7]

Sekali lagi ulama dan imam madzhab bukanlah Rasul yang setiap perkataannya harus diikuti, apalagi jika menyelisihi  dalil. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun menyatakan bahwa wajib mengikuti seseorang dalam setiap perkataannya tanpa menyebutkan dalil mengenai benarnya apa yang ia ucapkan, maka ini adalah sesuatu yang tidak tepat. Menyikapi seseorang seperti ini sama halnya dengan menyikapi rasul semata yang selainnya tidak boleh diperlakukan seperti itu.”[8]

http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/3694-membaca-al-quran-di-sisi-kubur.html

Tj Rasulullah Telah Di Khitan Sewaktu Dilahirkan

Pertanyaan Ai 49:

Ana prnah dengar ceramah ustad yg mengatakan bahwa rosulallah wktu lahir sudah di khitan(disunat),,dan kemaluannya gak bisa dilihat,apakah ini benar? mohon pencerahannya,tks

Jawaban:

Ustadz Badrusalam Lc:

– Tdk ada hadits yg shahih yg menyebutkan tentang hal ini (kemaluan tdk kelihatan)

– Mengenai kemaluan yang sdh di khitan itu betul, namun tdk ada suatu keistimewaan dari hal tersebut, karena sering kita mendengar di zaman sekarang ada bayi2 yg terlahir sdh dalam keadaan di khitan.

Tj Membaca Al Qur’an Tanpa Menutup Aurat Dengan Sempurna

Pertanyaan Ai 319:

Assalamu’alaykum, mau tanya, apakah boleh seorang wanita membaca Al Qur’an tanpa menutup auratnya dengan sempurna ? Syukran

Jawaban:

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin ditanya tentang hukum wanita yang membaca Alquran tanpa memakai jilbab. Apakah semacam ini dibolehkan?

Beliau menjawab, “Untuk membaca Alquran, tidak ada persyaratan bagi wanita untuk menutup kepalanya. Karena tidak disyaratkan untuk menutup aurat ketika membaca Alquran. Berbeda dengan  shalat.

Shalat seseorang bisa tidak sah kecuali dengan menutup aurat.”

Fatawa Nurun ala ad-Darb:
http://www.ibnothaimeen.com/all/noor

http://www.ibnothaimeen.com/article_4805.shtml

Pertanyaan semisal juga pernah diajukan di Syabakah Al-Fatwa Asy-Syar’iyah. Syaikh Prof. Dr. Ahmad Hajji Al-Kurdi memberi jawaban, “Jika tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa tindakan itu termasuk melecehkan atau tidak menghormati Alquran, maka perbuatan semacam ini tidak haram. Hanya saja tidak sesuai dengan adab yang diajarkan ketika membaca Alquran.”

Allahu a’lam

Sumber:

http://www.islamic-fatwa.net/fatawa

http://www.konsultasisyariah.com/membaca-alquran-dengan-aurat-terbuka/

http://www.islamic-fatwa.net/fatawa/

http://www.konsultasisyariah.com/membacaalquran-dengan-aurat-terbuka/

Menebar Cahaya Sunnah