Imam Ahmad hidup dalam rentang tiga periode kekhalifahan Bani Abbasiyah yang dipimpin Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq dalam kurun 16 tahun. Para khalifah tersebut terpengaruh pemikiran sesat Mu’tazilah, sehingga mewajibkan para ulama ketika itu untuk mengatakan dan mendakwahkan sebuah kalimat kufur, bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Siapa yang enggan melakukannya, maka diancam bunuh atau minimal dipenjara dan disiksa. Padahal, ucapan tersebut termasuk ucapan kufur karena jika Al-Qur’an adalah makhluk, itu berarti Al-Qur’an bisa bertambah dan berkurang seiring zaman.
Imam Ahmad adalah panutan umat. Apapun sikap beliau terhadap paksaan khalifah maka akan diikuti umat. Sampai ada orang yang berkata kepada beliau, jika beliau mengikuti tuntutan khalifah untuk mengucapkan Al-Qur’an adalah makhluk, maka umat akan mengikuti beliau sehingga beliau akan menanggung dosa-dosa mereka pada hari kiamat. Namun jika beliau bersabar atas siksaan, maka baginya surga.
Termotivasi dengan itu, beliau semakin berpegang teguh dengan keyakinannya dan tidak menuruti khalifah. Akibatnya beliau dipenjara selama 28-30 bulan dan dicambuk di dalamnya dengan cambukan yang bisa merubuhkan anak unta saking kerasnya. Padahal utusan-utusan khalifah yang bertugas untuk mendebat beliau dalam masalah itu tidak ada yang mampu mengalahkan dalil-dalil yang beliau bawakan.
Kisah lebih lengkap dapat dibaca dalam kitab Siyar A’lam An-Nubala, Al-Bidayah wa An-Nihayah, dan kitab lain, yang ujungnya adalah kabar gembira bagi kaum muslimin.
Pelajaran berharga dari seorang Imam Ahmad adalah bersabar dengan kezhaliman penguasa dan tidak memberontak kepadanya. Padahal mungkin saja itu beliau lakukan bersama murid-muridnya dan seluruh kaum muslimin, dengan alasan kesalahan pemerintah bahkan telah sampai tingkat kekafiran.
Sikap Sebagian Orang
Ketika pemerintah Indonesia dianggap melakukan berbagai kesalahan dalam menjalankan roda kekuasaan, sebagian orang dengan gegabahnya mengajak rakyat untuk memberontak. Mereka berteriak revolusi dan berusaha menggulingkannya. Padahal, para ulama umat Islam menyebutkan ada 7 syarat yang harus terpenuhi sebelum kaum muslimin memberontak.
Syarat pertama:
Kesalahannya adalah benar-benar suatu kekafiran menurut dalil dari Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ ulama.
Kadang orang mengajak masyarakat memberontak dan melengserkan pemimpin karena kesalahan pemerintah yang tingkatannya adalah maksiat seperti menarik pajak dalam keadaan tidak terdesak, memenjarakan orang tidak bersalah, korupsi dan sebagainya. Jika dibandingkan dengan ucapan kekafiran yang dituntut oleh para khalifah yang berkuasa di zaman Imam Ahmad, maka itu belum seberapa. Belum lagi, kesalahan yang dilakukan pemerintah sangat potensial dilakukan oleh siapapun yang memegang tampuk kekuasaan.
Syarat kedua:
Kekafiran yang dilakukan adalah nyata dilakukannya secara meluas, bukan sekedar dugaan ataupun hasil memata-matai.
Misalnya mereka menghina Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, malaikat-Nya dan mendustakan hari kiamat secara terang-terangan di media massa.
Masalahnya, banyak oknum di negeri ini yang bisa menjadi pembawa keburukan akibat mengajak manusia memberontak dan angkat senjata karena landasan berita-berita yang sifatnya tidak bisa dipastikan kebenarannya. Dengan kata lain, mereka hanya menelan mentah-mentah isu yang dihembuskan situs gosipanu.com, beritaanu.com yang hanya sekedar katanya dan katanya.
Syarat ketiga:
Kekafiran yang dilakukan adalah jelas kekafiran dan tidak ada keraguan lagi di dalamnya. Tidak bisa pula ditafsirkan dengan yang lain selain kekafiran.
Misalnya menginjak Al-Qur’an, membuangnya ke dalam toilet, mencaci maki Nabi, dan lainnya.
Adapun jika masalahnya adalah meninggalkan shalat dalam keadaan masih meyakini wajibnya shalat, atau shalat bolong-bolong, maka ini tidak memenuhi syarat, karena memang ada silang pendapat di kalangan ulama apakah yang melakukannya kafir atau tidak.
Syarat keempat:
Para ulama yang berkompeten telah membantah kekeliruan mereka dengan dalil sehingga terluruskan apa yang salah para pemerintah.
Karena itulah Imam Ahmad berdebat dengan para penganut Mu’tazilah yang ada di sekeliling khalifah agar khalifah menyadari kekeliruannya.
Syarat kelima:
Kaum muslimin memiliki kemampuan menggulingkannya. Jika tidak mampu, maka tidak mereka melakukannya.
Lihatlah apa yang terjadi di Suriah, dimana masyarakat memberontak pemerintah mereka yang menganut agama Syiah Nushairiyyah yang nyata kafir karena menyembah selain Allah. Hanya saja mereka tidak memiliki kemampuan pada asalnya. Setelah berlalu 7 tahun sejak pecah pemberontakan, pemerintah tak juga tergulingkan sedangkan nyawa kaum muslimin sudah ratusan ribu hingga jutaan melayang.
Syarat keenam:
Diyakinkan penggulingan tersebut tidak akan menimbulkan kemadharatan yang lebih besar.
Sungguh yang terjadi di Suriah menjadi contoh nyata. Masjid hancur. Sekolah dan fasilitas umum lebur. Jasad anak dan wanita bergelimpangan jatuh akibat perang. Bahkan sebagian dari mereka ada yang terpaksa makan kucing karena tidak ada lagi makanan.
Mungkin tidak ada kemadharatan yang lebih besar dari seorang muslim dari kalangan pemerintah dan yang mendukungnya saling bunuh dengan saudaranya dari kalangan kaum muslimin yang termakan fitnah yang dikobarkan pendukung pemberontakan.
Syarat ketujuh:
Penggulingan tersebut diputuskan melalui musyawarah para ahli ilmu agama yang mengambil keputusan dengan pertimbangan yang ilmu yang kuat, yaitu “ahlul halli wal aqdi”, bukan orang awam yang tidak berilmu.
Ketujuh syarat tersebut disebutkan dalam kitab Al-Ahkam fi Sabri Ahwal Al-Hukkam wama Yusyra’u Li Ar-Ra’iyyah fiha minal Ahkam karya Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili, seorang syaikh pengajar di Masjid Nabawi.
Jika salah satu saja dari ketujuh syarat di atas hilang, maka pemberontakan tidak dibenarkan di dalam Islam, meskipun itu atas nama revolusi damai atau semacamnya.
Bagaimana jika Pemerintah Zhalim ?
Ringkasnya ada beberapa hal yang harus dilakukan:
1. Mengingkari kemungkaran dan kezhaliman yang pemerintah lakukan, dengan hatinya.
2. Bersabar atas kezhalimannya, sekalipun dipukul, dipenjara ataupun hartanya diambil, sebagaimana dalam kisah Imam Ahmad.
3. Menyampaikan aspirasi dan nasehat dengan cara bijaksana, lembut, tulus, melalui orang-orang yang berkompeten, bukan dengan caci maki dan hinaan di hadapan massa dan mimbar Jumat.
4. Mendoakannya agar mereka mendapatkan hidayah agar kembali kepada kebenaran.
5. Tidak memberontak kecuali terpenuhi syarat tadi.
Nabi bersabda, “Barang siapa yang ingin menasehati penguasa, maka jangan melakukanya terang-terangan. Hendaklah ia berlemah lembut meraih tangannya dan berduaan dengannya. Sekiranya penguasa menerima nasehat maka itulah yang diharapkan. Jika tidak, maka ia telah melaksanakan kewajibannya untuk menasehatinya” (HR. Al-Hakim).
Harian Tribun Kaltim terbit hari ini, Senin, 6 Februari 2017.
Muflih Safitra, حفظه الله تعالى