Category Archives: Kaidah USHUL FIQIH

Kaidah Ushul Fiqih Ke 32 : Haram Melanjutkan Ibadah Atau Muamalah Yang Rusak, Kecuali …

Pembahasan ini merujuk kepada kitab “Syarah Mandzumah Ushul Fiqih“, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin, رحمه الله تعالى

KAIDAH SEBELUMNYA (KE-31) bisa di baca di SINI

=======

? Kaidah yang ke 32 ?
.
??   Haram melanjutkan ibadah atau muamalah yang rusak, kecuali haji dan umroh tetap wajib dilanjutkan.
.
Apabila suatu ibadah atau muamalah rusak karena tidak memenuhi syaratnya atau meninggalkan rukunnya maka tidak boleh kita melanjutkan ibadah atau muamalah tersebut.
.
⚉    contohnya bila kita sedang berwudlu, lalu nyata kepada kita airnya najis, maka tidak boleh kita lanjutkan dan wajib dibersihkan anggota yang terkena najis tersebut.
.
⚉    Apabila kita sholat lalu buang angin, wajib menghentikan sholat dan berwudlu kembali.
.
⚉    Jual beli yang mengandung riba tidak boleh dilanjutkan kecuali bila tidak mungkin dihentikan seperti bila kita membeli rumah secara kredit namun dengan akad ribawi.
.
⚉    Bila seorang wanita sedang puasa lalu ia haidh, maka haram baginya meneruskan puasanya tersebut.
.
⚉    Dikecualikan dalam masalah ini adalah haji dan umroh. Maka wajib disempurnakan walaupun ia telah rusak, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وأتموا الحج والعمرة لله

Dan sempurnakanlah haji dan umroh untuk Allah.” (Al Baqoroh: 196).

Apabila seseorang berjima disaat mabit di muzdalifah misalnya, maka hajinya rusak  tidak sah tapi ia wajib menyempurnakannya sampai selesai, dan ia wajib haji lagi di tahun mendatang.
Ini tidak ada bedanya antara haji wajib atau haji sunnah. Demikian pula umroh.
.
.
Wallahu a’lam ?
.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
.
Dari kitab “Syarah Mandzumah Ushul Fiqih“, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin, رحمه الله تعالى.
.
Silahkan bergabung di Telegram Channel dan Facebook Page:

https://t.me/kaidah_ushul_fiqih
https://www.facebook.com/kaidah.ushul.fiqih/
.
KAIDAH USHUL FIQIH – Daftar Isi LENGKAP

Kaidah Ushul Fiqih Ke 31 : Wajib Menutup Pintu Hilah…

Pembahasan ini merujuk kepada kitab “Syarah Mandzumah Ushul Fiqih“, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin, رحمه الله تعالى

KAIDAH SEBELUMNYA (KE-30) bisa di baca di SINI

=======

? Kaidah yang ke 31 ?

??   Wajib menutup pintu hilah.

⚉    Hilah adalah usaha untuk menggugurkan kewajiban atau menghalalkan yang haram dengan cara tersembunyi yang tampaknya boleh padahal tidak. Ini adalah perbuatan kejahatan dalam agama. Karena hakekatnya mempermainkan agama sesuai hawa nafsu.

Yang pertama kali menggunakan hilah adalah kaum yahudi. Ketika Allah mengharamkan untuk mereka berburu di hari sabtu, mereka ber-hilah dengan cara memasang jala di Jum’at sore dan mengambilnya di minggu pagi.

Ketika Allah mengharamkan untuk mereka gajih sapi, mereka jadikan minyak lalu menjualnya dan memakan harganya.

⚉    Contoh hilah misalnya: Orang yang malas pergi ke masjid. Di waktu waktu sholat ia sengaja memakan bawang agar ia punya alasan untuk tidak pergi ke masjid. Maka yang seperti ini diharamkan.

⚉    Contoh lain: Seseorang telah memiliki harta yang sampai nishob dan haul. Lalu ia ingin lari dari zakat dengan cara menghibahkannya kepada anaknya. Kemudian suatu ketika ia mengambilnya kembali.
.
.
Wallahu a’lam ?
.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
.
Dari kitab “Syarah Mandzumah Ushul Fiqih“, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin, رحمه الله تعالى.
.
Silahkan bergabung di Telegram Channel dan Facebook Page:

https://t.me/kaidah_ushul_fiqih
https://www.facebook.com/kaidah.ushul.fiqih/
.
KAIDAH USHUL FIQIH – Daftar Isi LENGKAP

Kaidah Ushul Fiqih Ke 30 : Amal Itu Dihukumi Dengan Niat…

Pembahasan ini merujuk kepada kitab “Syarah Mandzumah Ushul Fiqih“, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin, رحمه الله تعالى

KAIDAH SEBELUMNYA (KE-29) bisa di baca di SINI

=======

? Kaidah yang ke 30 ?

??   Amal itu dihukumi dengan niat.

Kaidah ini ditunjukkan oleh hadits:

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى

Sesungguhnya amal itu dengan niat dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan.”
(HR Bukhari dan Muslim)

Niat tempatnya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Dan tidak disyariatkan melafadzkannya kecuali dalam udlhiyah (kurban), karena itu yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam.

⚉    Niat mempunyai dua fungsi:
1. Membedakan ibadah dengan kebiasaan.
2. Membedakan ibadah satu sama lainnya.

⚉    Niat ada dua macam:
1. Niat amal. Yaitu niat untuk melakukan ibadah seperti sholat, zakat, puasa dsb.
2. Niat idhofah. Yaitu niat mengharapkan ridho Allah atau selain itu. Niat ini mempengaruh pahala atau dosa.

⚉    Niat mempunyai beberapa syarat:
1. Islam – Karena niat ibadah orang kafir tidak sah.
2. Mumayyiz – yaitu usia yang dapat membedakan, pendapat yang kuat adalah 7 tahun.
3. Berilmu tentang apa yang akan ia niatkan. Apakah amal tersebut hukumnya wajib atau sunnah.
4. Tidak ada sesuatu yang meniadakan antara niat yang diniatkan. seperti murtad meniadakan ibadah.
5. Berada di awal amal.
6. Niat harus ada dari awal ibadah sampai akhir ibadah, tidak boleh terputus.
7. Tidak boleh digabungkan khusus dalam amal yang tidak bisa digabungkan seperti sholat lima waktu. Adapun sholat sunnah, imam yang empat berpendapat boleh menggabungkan dua niat dalam satu ibadah. seperti sholat tahiyat masjid dengan sholat wudhu.

Ada juga perkara yang tidak membutuhkan kepada niat, seperti membersihkan najis, membayar hutang dan sebagainya yang disebut dengan istilah أفعال التروك (perbuatan meninggalkan)
.
.
Wallahu a’lam ?
.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
.
Dari kitab “Syarah Mandzumah Ushul Fiqih“, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin, رحمه الله تعالى.
.
Silahkan bergabung di Telegram Channel dan Facebook Page:

https://t.me/kaidah_ushul_fiqih
https://www.facebook.com/kaidah.ushul.fiqih/
.
KAIDAH USHUL FIQIH – Daftar Isi LENGKAP

Kaidah Ushul Fiqih Ke-29 : Hujjah Taklif Itu Ada Empat…

Pembahasan ini merujuk kepada kitab “Syarah Mandzumah Ushul Fiqih“, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin, رحمه الله تعالى

KAIDAH SEBELUMNYA (KE-28) bisa di baca di SINI

=======

? Kaidah yang ke 29 ?

??   Hujjah Taklif itu ada Empat :
1. Al Qur’an,

2. Hadits yang shohih,
3. Ijma’ dan
4. Qiyas.

⚉    HUJJAH TAKLIF yang ke-1 adalah AL QUR’AN.

Wajib diyakini bahwa al qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk, ia terjaga sampai hari kiamat, siapa yang meyakini bahwa alquran telah berubah, atau mengingkari salah satu ayatnya maka ia kafir.

Wajib diyakini bahwa alquran itu mutawatir, namun tentunya makna mutawatir dalam istilah ilmu alquran berbeda dengan mutawatir dalam istilah ilmu hadits.

Ayat al quran ada yang muhkam ada juga yang mutasyabih. Tata cara yang benar adalah menafsirkan ayat mutasyabih dengan ayat yang muhkam. Adapun mencari ayat ayat mutasyabih untuk manakwilnya sesuai hawa nafsu maka ini bukanlah jalan yang benar.

Dalam memahami alquran membutuhkan penguasaan terhadap ilmu ilmu alatnya seperti bahasa arab, sebab nuzul, nasikh mansukh dsb..

Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ada empat cara menafsirkan alquran:
1. Tafsirkan alquran dengan alquran.
2. Tafsirkan alquran dengan hadits.
3. Tafsirkan alquran dengan pemahaman shahabat.
4. Dengan pemahaman tabi’in.

In syaa Allah kita akan menyendirikan pembahasan kaidah kaidah memahami al quran setelah membahas kaidah-kaidah fiqih.

⚉    HUJJAH TAKLIF yang ke-2 adalah HADITS YANG SHOHIH.

Disebut hadits yang shahih apabila memenuhi lima syarat:
1. Bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
.
2. Perawinya adil, yaitu muslim, baligh, berakal, tidak fasiq, dan selamat dari muru’ah (martabat diri) yang buruk.
.
3. Dhabith, yaitu menguasai hadits yang ia riwayatkan baik dengan hafalan atau dengan tulisan yang selamat dari kesalahan.
.
4. Selamat dari ILLAT yang merusak keabsahannya.
.
5. Tidak syadz, yaitu periwayatan perawi yang diterima menyelisihi periwayatan perawi lain yang lebih tsiqoh (terpercaya).

Apabila salah satu dari lima syarat ini tidak terpenuhi maka tidak disebut shahih.

Adapun hadits lemah, maka ia bukan hujjah taklif. Jalaluddin Ad Dawaani berkata:

اتفقوا على أن الحديث الضعيف لا يثبت به الأحكام الخمسة الشرعية ومنها الاستحباب

Para ulama bersepakat bahwa hadits yang lemah tidak bisa menetapkan hukum syariat yang lima, termasuk di dalamnya al istihbab.
(Muntahal amaani hal. 186)

Adapun dalam fadlilah amal, memang terjadi perselisihan. sebagian ulama mengatakan boleh diamalkan.

Namun Syaikh Ali Al Qori berkata:

إن الحديث الضعيف يعمل به في الفضائل وإن لم يعتضد إجماعا كما قاله النووي، محله الفضائل الثابتة من كتاب أو سنة

Sesungguhnya hadits lemah itu dapat diamalkan dalam fadilah amal walaupun tidak ada jalan yang menguatkannya berdasarkan ijma sebagaimana yang dikatakan oleh imam An Nawawi. Namun tempatnya pada amal yang shahih dari alquran atau sunnah.
(Al Mirqot 2/381)

Maksudnya apabila asal amal tersebut ditetapkan oleh hadits yang shahih, namun ada hadits yang lemah yang menyebutkan tentang keutamaan amal tersebut, maka boleh diamalkan.
Contoh siwak, ia sunnah berdasarkan hadits yang shahih.
bila ada hadits lemah yang menyebutkan keutamaan siwak, maka boleh diamalkan.

⚉    HUJJAH TAKLIF yang ke-3 yaitu IJMA’

Ijma adalah kesepakatan ahli ijtihad umat islam pada suatu hukum syariat setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat.

Ahli ijtihad adalah yang telah terpenuhi syarat syarat ijtihad berupa menguasai al quran dan hadits dan ilmu ilmu alat untuk berijtihad.
Adapun kesepakatan bukan ahli ijtihad tidak disebut ijma.

Dalil hujjahnya ijma:
1. Allah Ta’ala berfirman:

فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول

Bila kalian berselisih dalam sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul..
(An Nisaa:59).

Ayat ini menunjukkan bahwa merujuk al quran dan sunnah itu di saat ada perselisihan. Adapun bila tidak berselisih maka itu sudah cukup.

2. Allah berfirman:

ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصليه جهنم وساءت مصيرا

Siapa yang menyelisihi Rosul setelah jelas kepadanya petunjuk dan mengikuti selain jalan kaum mukminin maka kami biarkan ia leluasa dalam kesesatannya dan Kami akan bakar ia dalam jahannam. dan itulah seburuk buruk tempat kembali.” (An Nisaa: 115)

Mengikuti selain jalan kaum mukminin artinya selain ijma mereka. Sebagaimana dikatakan oleh imam Asy Syafi’i rohimahullah.

3. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

لن تجتمع أمتي على ضلالة

Umatku tidak mungkin bersepakat di atas kesesatan.
(HR Abu Dawud)

Disyaratkan pada ijma adalah kesepakatan seluruh ahli ijtihad di dunia, bukan hanya ahli ijtihad negara tertentu tanpa negara lainnya. Dan yang menyatakan ijma harus seorang ulama yang benar-benar mengetahui pendapat-pendapat manusia.

Ijma ada dua macam:

1. Ijma Qoth’iy : yaitu yang dipastikan adanya ijma seperti wajibnya sholat, zakat, puasa, haji, haramnya arak, judi, zina, riba dan sebagainya.

2. Ijma Dzonniy : yaitu ijma yang diketahui setelah melakukan penelitian.
Para ulama berbeda pendapat akan kemungkinan terjadinya ijma seperti ini. yang kuat adalah pendapat syaikhul Islam ibnu Taimiyah :

والإجماع الذي ينضبط ما كان عليه السلف الصالح ، إذ بعدهم كثر الاختلاف وانتشرت الأمة ” . أهـ .

Ijma yang mungkin adalah ijma di zaman salafush-shalih karena setelah mereka umat islam telah sangat tersebar dan banyak perselisihan.

⚉    HUJJAH TAKLIF yang ke-4 yaitu QIYAS :

Qiyas adakah menyamakan hukum cabang dengan hukum asal karena adanya persamaan illat.

Rukunnya ada empat:
1. Adanya pokok yang ditunjukkan oleh dalil.
2. Adanya cabang yang akan diqiyaskan kepada pokok.
3. Adanya persamaan ILLAT. ILLAT adalah sifat yang tampak dan tetap dan tidak dibatalkan oleh syariat.
4. Adanya hukum baik wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram.

Contohnya adalah meng-qiyaskan beras dengan gandum karena adanya persamaan illat yaitu sama sama makanan pokok.

Beberapa perkara yang perlu diperhatikan dalam qiyas:
1. Qiyas digunakan disaat tidak ada dalil. Sebagaimana dikatakan oleh imam Asy Syafi’i rohimahullah: “Qiyas itu digunakan ketika darurat saja.”
.
2. Qiyas bila bertabrakan dengan dalil maka qiyas tersebut tertolak.
.
3. Qiyas hanya berlaku pada ibadah yang diketahui padanya illat. Adapun ibadah yang bersifat mahdhoh dan tidak diketahui illat-nya maka tidak mungkin diqiyaskan.
.
4. Tidak boleh mengqiyaskan kepada cabang.
.
Dan pembahasan qiyas secara terperinci dalam kitab ushul fiqih.
.
.
Wallahu a’lam ?
.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
.
Dari kitab “Syarah Mandzumah Ushul Fiqih“, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin, رحمه الله تعالى.
.
Silahkan bergabung di Telegram Channel dan Facebook Page:

https://t.me/kaidah_ushul_fiqih
https://www.facebook.com/kaidah.ushul.fiqih/
.
KAIDAH USHUL FIQIH – Daftar Isi LENGKAP

Kaidah Ushul Fiqih Ke-28 : Pendapat Seorang Shahabat Menjadi Hujjah Apabila…

Pembahasan ini merujuk kepada kitab “Syarah Mandzumah Ushul Fiqih“, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin, رحمه الله تعالى

KAIDAH SEBELUMNYA (KE-27) bisa di baca di SINI

=======

? Kaidah yang ke 28 ?

??   Pendapat seorang shahabat apabila tidak diselisihi oleh shahabat lainnya adalah hujjah atas pendapat yang kuat.

Shahabat yang dimaksud di sini adalah para shahabat ahli ijtihad seperti kholifah yang empat, ibnu Mas’ud, ibnu ‘Abbas, ibnu ‘Umar dan lain lain, rodhiyallahu ‘anhum.

⚉    Apabila pendapat mereka tidak diselisihi oleh shahabat lain terlebih bila pendapat tersebut masyhur di kalangan mereka, maka pendapat tersebuf adalah hujjah.

Karena mereka adalah generasi yang paling dalam ilmunya, paling bening hatinya dan paling jauh dari hawa nafsu.

Al Qur’an turun dengan bahasa mereka, dan mereka melihat langsung praktek dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mendengar langsung penjelasan dari beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.

⚉    Apabila pendapat shahabat itu diselisihi oleh shahabat lain yang juga ahli ijtihad, maka kita lihat mana yang paling dekat kepada Al Quran dan hadits.
Dan memberi udzur kepada yang salah.
.
.
Wallahu a’lam ?
.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
.
Dari kitab “Syarah Mandzumah Ushul Fiqih“, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin, رحمه الله تعالى.
.
Silahkan bergabung di Telegram Channel dan Facebook Page:

https://t.me/kaidah_ushul_fiqih
https://www.facebook.com/kaidah.ushul.fiqih/
.
KAIDAH USHUL FIQIH – Daftar Isi LENGKAP

Kaidah Ushul Fiqih Ke-27 : Ibadah Yang Mempunyai Beberapa Bentuk, Hendaknya…

Pembahasan ini merujuk kepada kitab “Syarah Mandzumah Ushul Fiqih“, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin, رحمه الله تعالى

KAIDAH SEBELUMNYA (KE-26) bisa di baca di SINI

=======

? Kaidah yang ke 27 ?

??   Ibadah yang mempunyai beberapa bentuk, hendaknya kita lakukan terkadang ini dan terkadang itu.

Ada beberapa ibadah yang mempunyai beberapa bentuk atau macam yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
⚉    Contohnya do’a istiftah, bacaan ruku dan sujud, bacaan sholawat dan sebagainya.

Maka agar terpelihara semuanya, kita tidak melanggengkan satu bacaan, tapi kita baca terkadang ini dan terkadang itu.
Namun tidak disyariatkan membaca seluruhnya dalam satu sholat.
Kecuali bila ada dalil yang menunjukkan boleh membaca seluruhnya dalam satu waktu seperti do’a pagi dan petang.
.
.
Wallahu a’lam ?
.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
.
Dari kitab “Syarah Mandzumah Ushul Fiqih“, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin, رحمه الله تعالى.
.
Silahkan bergabung di Telegram Channel dan Facebook Page:

https://t.me/kaidah_ushul_fiqih
https://www.facebook.com/kaidah.ushul.fiqih/
.
KAIDAH USHUL FIQIH – Daftar Isi LENGKAP

Kaidah Ushul Fiqih Ke-26 : Perbedaan Hukum Perintah Terkait Pelakunya Atau Perbuatannya…

Pembahasan ini merujuk kepada kitab “Syarah Mandzumah Ushul Fiqih“, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin, رحمه الله تعالى

KAIDAH SEBELUMNYA (KE-25) bisa di baca di SINI

=======

? Kaidah yang ke 26 ?

??   Perintah apabila yang dimaksud darinya pelakunya, maka perintah itu hukumnya FARDHU ‘AIN  (*).
.
??   Dan apabila yang dimaksud perbuatannya, maka perintah itu hukumnya FARDHU KIFAYAH  (**).

Ini adalah kaidah untuk membedakan antara perintah yang bersifat fardhu ‘ain dan perintah yang bersifat fardhu kifayah.

Bila yang dimaksud adalah pelakunya maka fardhu ‘ain.
⚉    contohnya perintah untuk sholat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya.

Bila yang dimaksud perbuatannya maka fardhu kifayah.
⚉    contohnya adalah adzan, bila ada satu orang adzan, maka itu sudah terhasilkan. Maka itu mencukupi.
⚉    contohnya lagi menyelenggarakan pengurusan jenazah. tidak wajib setiap orang mengurus jenazah.
.
.
Wallahu a’lam ?
.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
.
Dari kitab “Syarah Mandzumah Ushul Fiqih“, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin, رحمه الله تعالى.
.
(*) Fardhu ‘ain (kewajiban perorangan). Fardhu ain artinya kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap individu Muslim yang telah memenuhi sarat dan tidak bisa di wakili / di ganti orang lain, misalnya shalat lima waktu, hijab, zakat, puasa dan pergi haji ke Mekkah sekali seumur hidup.

.
(**) Fardhu Kifayah. Fardhu kifayah artinya kewajiban yang dibebankan pada seluruh ummat. Seseorang tidak diwajibkan melaksanakan suatu tugas jika ada cukup orang dalam kelompok masyarakat telah memenuhinya. Contohnya adalah adzan, bila ada satu orang adzan, maka itu sudah terhasilkan. Maka itu mencukupi. Contohnya lagi menyelenggarakan pengurusan jenazah, tidak wajib setiap orang mengurus jenazah.
.
Silahkan bergabung di Telegram Channel dan Facebook Page:
https://t.me/kaidah_ushul_fiqih
https://www.facebook.com/kaidah.ushul.fiqih/
.
KAIDAH USHUL FIQIH – Daftar Isi LENGKAP

Kaidah Ushul Fiqih Ke-25 : Sesuatu Yang Terlintas Di Hati Dima’afkan Selama Tidak Diucapkan Atau Diperbuat…

Pembahasan ini merujuk kepada kitab “Syarah Mandzumah Ushul Fiqih“, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin, رحمه الله تعالى

KAIDAH SEBELUMNYA (KE-24) bisa di baca di SINI

=======

? Kaidah yang ke 25 ?

??   Sesuatu yang terlintas di hati dima’afkan selama tidak diucapkan atau diperbuat.

Kaidah ini berdasarkan hadits:

إن الله تجاوز لي عن أمتي ما حدثت به أنفسها ما لم تعمل أو تتكلم

Sesungguhnya Allah memaafkan untuk umatku apa yang ia bicarakan di hatinya selama tidak dilakukan atau diucapkan.” (HR Bukhari dan Muslim).

⚉    Apabila terlintas difikiran seseorang untuk berbuat maksiat maka tidak berpengaruh apapun.
⚉    Atau terlintas dipikirannya untuk berbuat kebaikan.

Lalu bagaimana dengan firman Allah:

ومن يرد فيه بإلحاد بظلم نذقه من عذاب أليم

Barang siapa yang menginginkan padanya perbuatan buruk berupa kezaliman, maka Kami akan rasakan ia dengan adzab yang pedih. (Al Hajj: 25).

⚉   Dijawab: Bahwa lintasan hati berbeda dengan niat yang kuat. karena yang dimaksud ayat tersebut adalah azimah (niat yang kuat), sehingga tidak masuk dalam kaidah ini.
.
.
Wallahu a’lam ?
.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
.
Dari kitab “Syarah Mandzumah Ushul Fiqih“, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin, رحمه الله تعالى.
.
Silahkan bergabung di Telegram Channel dan Facebook Page:

https://t.me/kaidah_ushul_fiqih
https://www.facebook.com/kaidah.ushul.fiqih/
.
KAIDAH USHUL FIQIH – Daftar Isi LENGKAP

Kaidah Ushul Fiqih Ke-24 : Keraguan Setelah Melakukan Ibadah Itu Tidak Dianggap…

Pembahasan ini merujuk kepada kitab “Syarah Mandzumah Ushul Fiqih“, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin, رحمه الله تعالى

KAIDAH SEBELUMNYA (KE-23) bisa di baca di SINI

=======

? Kaidah yang ke 24 ?

??   Keraguan setelah melakukan ibadah itu tidak dianggap.
.
Keraguan biasanya terjadi di dua tempat:
1. Ketika ibadah sedang berlangsung.
2. Setelah selesai melakukan ibadah.
.
Adapun ketika ibadah berlangsung, maka ini pun ada dua macam:
1. Keraguan karena lupa.
2. Keraguan karena was was.
.
⚉   Bila karena lupa, maka ambillah yang yakin. Contohnya bila ia ragu apakah dua atau tiga roka’at, maka ambil dua dan tambah lagi satu roka’at dan sujud sahwi sebelum salam.
.
⚉   Bila karena was-was, maka tidak dianggap. Seperti ragu apakah keluar dari duburnya sesuatu atau tidak. Maka ia tidak boleh membatalkan sholatnya hanya karena was-was tersebut.
.
⚉   Sedangkan bila keraguan itu setelah melakukan perbuatan, maka inipun tidak dianggap.
.
Contohnya:
⚉   Bila telah selesai wudlu, ia ragu apakah sudah mencuci tangan atau belum.
⚉   Setelah selesai sholat, ia ragu apakah sudah dua roka’at atau tiga roka’at.
⚉   Setelah selesai puasa, ia ragu apakah ia berpuasa qodlo atau bukan. Dan sebagainya.
.
.
Wallahu a’lam ?
.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
.
Dari kitab “Syarah Mandzumah Ushul Fiqih“, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin, رحمه الله تعالى.
.
Silahkan bergabung di Telegram Channel dan Facebook Page:

https://t.me/kaidah_ushul_fiqih
https://www.facebook.com/kaidah.ushul.fiqih/
.
KAIDAH USHUL FIQIH – Daftar Isi LENGKAP

Kaidah Ushul Fiqih Ke-23 : Yang Dianggap Dalam Mu’amalah Adalah Sesuai Yang Terjadi…

Pembahasan ini merujuk kepada kitab “Syarah Mandzumah Ushul Fiqih“, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin, رحمه الله تعالى

KAIDAH SEBELUMNYA (KE-22) bisa di baca di SINI

=======

? Kaidah yang ke 23 ?

??   Yang dianggap dalam mu’amalah adalah sesuai yang terjadi, bukan sesuai dugaannya.

Telah disebutkan bahwa dugaan kuat dapat digunakan dalam masalah ibadah. Adapun dalam mu’amalah yang dianggap adalah sesuai yang terjadi.

⚉   Apabila si A menjual barang milik B tanpa izinnya. tetapi rupanya B sudah mewakilkan penjualan tanpa sepengetahuan A, maka jual belinya sah.
Walaupun haram bagi A menjual milik B tanpa izinnya.

⚉   Bila C membayarkan hutang B kepada A, maka dianggap lunas walaupun B tak mengetahuinya.

⚉   Bila A menjual milik B tanpa izinnya, ternyata B telah meninggal sebelum terjadinya akad. Dan ternyata A pewaris B maka akadnya sah..
dan sebagainya…
.
.
Wallahu a’lam ?
.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
.
Dari kitab “Syarah Mandzumah Ushul Fiqih“, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al’Utsaimin, رحمه الله تعالى.
.
Silahkan bergabung di Telegram Channel dan Facebook Page:

https://t.me/kaidah_ushul_fiqih
https://www.facebook.com/kaidah.ushul.fiqih/
.
KAIDAH USHUL FIQIH – Daftar Isi LENGKAP