Haruskah Memakai Brand “Salafy” …?

Nama atau kalau boleh bisa juga disebut dengan “brand” memang penting, terlebih bila diperlukan untuk menunjukkan identitas, sehingga dengan nampaknya identitas anda mendapat keuntungan dan terhindar dari kerugian. Para ulama’pun telah dengan tegas menjelaskan bahwa penggunaan brand “salafy” adaah satu hal yang disyari’atkan alias dibenarkan.

Sebutan “salafy” untuk menggambarkan cara anda dalam beragama, memahami, mengamalkan, dan mendakwahkan Islam.

Salafy, berarti dalam beragama anda meneladani generasi terdahulu dari ummat Islam, yaitu para sahabat, dan ulama’ yang mengikuti jejak mereka.

Penggunaan nama “salafy” serupa dengan penggunaan nama muslim” atau “mukmin”, sama sama identitas diri anda.

Namun demikian, kadang kala karena satu alasan, anda “TERPAKSA” menyembunyikan identitas diri anda sebagai seorang muslim, demi terwujudnya kepentingan yang atau terhindarnya kerugian yang besar.

Kondisi ini terjadi pada para sahabat yang tinggal di kota Makkah pada awal Islam. Mereka merahasiakan identitas mereka sebagai seorang muslim, karena kawatir diintimidasi oleh orang orang kafir Quraisy, sebagaimana dikisahkan dalam surat Al Fateh 25.

Kondisi serupa juga terjadi pada diri seorang mukmin dari pengikut sebagian rasul terdahulu. Ia merahasiakan keislamannya agar dapat menyusup ke barisan orang -orang kafir dan memberikan pembelaan kepada para utusan ALlah tersebut di hadapan musuh musuh mereka, sebagaimana dikisahkan dalam surat Yasiin.

Merahasiaan atau menyembunyikan identitas sebagai seorang muslim dan mukmin bila dirasa perlu tidaklah merusak iman atau menodainya. Bahkan itu sebagai bagian dari kearifan sikap dalam menghadapi kondisi yang kurang menguntungkan.

Hal serupa juga bisa terjadi dan patut anda lakukan dengan identitas anda sebagai seorang “salafy”. Bila dirasa perlu dan tentunya dengan pertimbangan yang masak lagi mendalam, anda juga sepatutnya menyembunyikan brand “salafy” anda. Percayalah bahwa menyebunyikan brand “salafy” bila diperlukan karena pertimbangan yang matang, tidak akan melunturkan ke”salay’an anda, sebagaimana merahasiakan status sebagai “muslim” tidak melnturkan keislaman para sahabat.

Suatu hari, di salah satu perumahan di kota Jember terjadi kondisi yang sedikit meresahkan. Ulah sebagian pemuda yang kurang bijak alias ceroboh telah memantik amarah sebagian pengurus takmir masjid. Akibatnya mereka membuat pengumuman di masjid “SALAFY TIDAK BOLEH SHOLAT DI MASJID INI”.
Tak ayal lagi pengumuman ini meresahkan sebagian staf STDI Imam Syafii dan juga mahasiswanya yang kebetulan tinggal di perumahan tersebut.

Mendapat laporan tentang ini, maka saya segera mengumpulkan suluruh staf dan mahasiswa STDI Imam Syafi’i yang tinggal di perumahan tersebut di atas. Setelah mendengarkan alur masalah dan kondisi yang terjadi, saya berkata kepada mereka: “Al hamdulillah, masalah telah selesai dan tidak perlu ada yang di risaukan. Karena pengumumannya berbunyi “SALAFY TIDAK BOLEH SHOLAT DI MASJID INI”, maka kalian semua tidak perlu kawatir atau risau. Sebab kalian adalah staf dan juga Mahasiswa Imam Syafi’i dan bukan staf atau murid di pondok As Salafy..”

Mereka heran, kok ustadz tahu bahwa masalah sudah selesai, padahal ustadz baru tahu masalahnya dari laporan kami..?

Saya menjawab: “iya, sudah selesai karena yang dilarang sholat di masjid adalah SALAFY sedangkan kalian adalah Imam Syafii dan bukan As Salafy. Kalian harus paham dan membuka mata bahwa di kota kita tinggal ini “Jember” kampus kita dikenal dengan sebutan “IMAM SYAFI’I sedangkan sebutan “SALAFY” dikenal sebagai brand dan merek pondok yang diasuh oleh Ust Luqman Baabduh. Beliau menamai pondoknya dengan AS SALAFY. Jadi pada kondisi ini gunakanlah brand yang telah melekat kepada kalian dan sengaja kita pilih yaitu IMAM SYAFI’I dan jangan merebut brand yang telah melekat pada pondok ustadz Luqman yaitu AS SALAFY..”

Ada salah satu mahasiswa yang nyletuk: “Tapi ustadz, bukankah kita juga salafy..?”

Saya menjawab: “iya , betul kita semua beriman bahwa dalam beragama ini kita harus meneladani generasi salaf, namun dalam kondisi seperti ini jangan sok paham, namun bersikaplah pura pura bodoh. Bersikaplah seperti masyarakat yang kebanyakannya masih belum paham apa beda STDI IMAM SYAFI’I dari pondok AS SALAFY. Terutama untuk memahami tulisan yang dibuat oleh orang yang tidak paham. Jangan pahami tulisan orang bodoh dengan cara piker dan pemahaman orang berilmu. Kalau kalian ditegur oleh takmir masjid: kok masih ke masjid padahal sudah ada pengumuman, maka katakan kepada mereka bahwa : kami dari “Imam Syafii”..”

Alhamdulillah, mereka mengikuti saran saya, dan al hamdulillah masalah dapat terselesaikan dengan aman tanpa ada kegaduhan yang lebih berat. Nampaknya “pura pura bodoh” dalam kondisi tertentu adalah “ilmu” dan sebaliknya : “Sok paham” dalam beberapa kondisi adalah cermin dari kebodohan yang sebenarnya.

Wallahu ta’ala a’alam bisshowab.

Ditulis oleh,
Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri MA, حفظه الله تعالى

Raihlah pahala dan kebaikan dengan membagikan link kajian Islam yang bermanfaat ini, melalui jejaring sosial Facebook, Twitter yang Anda miliki. Semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala membalas kebaikan Anda.