Sebagian orang memandang bahwa bila ikhtilafnya mu’tabar, berarti boleh dilakukan semua.
=====
Misalnya, “Qunut Subuh”, ketika dikatakan ikhtilafnya mu’tabar, maka kita boleh melakukan dua-duanya, yakni: boleh qunut boleh tidak, meski menurut kita pendapat yang tidak membolehkannya lebih kuat.
Sungguh ini kesalahan dalam memahami konsekuensi dari “ikhtilaf yang mu’tabar” .. kesalahan dalam hal ini akan menyeret kita kepada sikap plin-plan dan tidak konsisten dalam berpendapat, misalnya:
– Menyentuh wanita yang bukan mahram, apakah membatalkan wudhu atau tidak..?
– Membaca alfatihah bagi makmum ketika imamnya mengeraskan bacaannya, apakah wajib ataukah tidak..?
– Nikah tanpa wali, apakah boleh atau tidak..?
– Isbal, apakah boleh atau tidak..?
– Shalat berjama’ah, apakah wajib atau tidak..?
Ikhtilaf dalam masalah-masalah ini adalah mu’tabar, apakah itu berarti kita boleh melakukan dua-duanya..? Bayangkan bahayanya kesalahan pemahaman ini..!
Padahal ikhtilaf yang mu’tabar dalam fikih itu banyak .. begitu pula dalam masalah akidah.
● Yang benar bahwa seseorang tetap tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan dalil dalam pandangannya, meskipun ikhtilafnya mu’tabar.
● Kenyataan bahwa itu ikhtilaf yang mu’tabar, hanya mengharuskan kita untuk toleran di dalamnya dan tidak merendahkan pendapat lain .. bukan membenarkannya dan menjadikan kita boleh melakukan dua-duanya.
Karena bila ikhtilafnya bertentangan dan saling menafikan, tidak mungkin dua-duanya benar .. dan bila tidak mungkin dua-duanya benar, maka berarti salah satunya salah, dan kita tidak boleh melakukan sesuatu yang menurut kita salah.
Yang dibolehkan adalah melakukan salah satunya saja yang menurut dia dalilnya lebih kuat, wallahu a’lam.
Demikian, semoga bermanfaat dan Allah berkahi, amin.
Ditulis oleh,
Ustadz DR. Musyaffa’ Ad Dariny MA, حفظه الله تعالى