Perbedaan jumlah roka’at Taraweh dalam pandangan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah -rohimahulloh-.
======
“… Dan menyerupai hal ini dari sebagian sisi, perbedaan pendapat para ulama dalam kadar (roka’at) shalat qiyam (taraweh) di bulan Ramadhan.
Karena telah valid kabar tentang sahabat Ubay bin Ka’ab, bahwa dahulu dia mengimami jama’ah dengan 20 roka’at dalam shalat qiyam Ramadhan, dan berwitir dengan 3 roka’at.
Sehingga banyak ulama berpendapat bahwa hal itu merupakan sunnah, karena beliau mendirikan shalat qiyam itu di tengah-tengah kaum Muhajirin dan kaum Anshor, dan tidak ada satupun (dari mereka) yang mengingkari (jumlah roka’at itu).
Sedang ada ulama lain yang menganjurkan 39 roka’at, dengan dasar bahwa itu adalah praktek penduduk madinah dahulu.
Dan sekelompok ulama (lain) mengatakan: bahwa telah valid dalam kitab As-shahih, dari Aisyah: bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menambah, baik di Bulan Ramadhan maupun di bulan lain, melebihi 13 roka’at.
Kemudian ada kaum yang goncang pendapatnya dalam hal ini, karena mereka mengira ada pertentangan antara hadits Nabi yang sahih dengan sunnahnya para Khulafa’ Rosyidin, dan juga praktek kaum muslimin.
Tapi yang benar, bahwa semua itu baik sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ahmad -rohimahullah-, dan bahwa tidak ada ketentuan baku dalam jumlah roka’at shalat qiyam di bulan Ramadhan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memberikan batasan roka’at padanya.
Dengan demikian, banyak dan sedikitnya roka’at itu sesuai dengan panjang dan pendeknya berdiri (dalam shalat).
Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu memanjangkan shalat qiyamullail-nya, sampai-sampai telah valid -dalam kitab As-Shahih dari hadits Hudzaifah-: bahwa beliau dahulu membaca dalam satu roka’at surat Albaqoroh, surat Annisa’, dan surat Alu Imron. Sehingga dengan panjangnya berdiri (dalam shalat itu) tidak dibutuhkan lagi banyaknya roka’at.
Dan Sahabat Ubay bin Ka’ab ketika shalat bersama orang-orang, dan mereka satu jama’ah, tidak memungkinkan bagi dia untuk memanjangkan berdirinya, maka ia pun memperbanyak jumlah reka’atnya, agar banyak jumlah roka’at itu bisa menjadi ganti lamanya berdiri, dan mereka menjadikan shalat qiyam itu dua kali lipat jumlah roka’at beliau, dan dahulu beliau shalat qiyamnya 11 reka’at atau 13 reka’at.
Kemudian setelah itu, penduduk Madinah tidak mampu berdiri lama, maka mereka pun memperbanyak roka’atnya hingga mencapai 39 roka’at”.
[Majmu’ Fatawa Syeikhul Islam, 23/105].
———
Intinya: 11 atau 23 roka’at, dua-duanya baik, tidak perlu dipermasalahkan.. asalkan mengerjakannya dengan khusyu’, hikmat, dan pelan dengan menjaga thoma’ninahnya.. wallohu a’lam.
Ustadz DR. Musyaffa’ Ad Dariny MA, حفظه الله تعالى