Pada tulisan pertama (baca disini), telah saya uraikan bahwa wahabi sejatinya adalah sebutan satu sekte sempalan dari sekte Khawarij yang dikenal sangat ekstrim dan hobi bersikap anarkis. Khawarij dikenal sebagai sekte yang hobi mengkafirkan setiap pelaku dosa, dan bahkan dalam banyak kasus mengkafirkan setiap orang yang menyelisihi mereka. Sekte wahabi ini dahulu dikenal banyak menyebar di negri-negri Afrika semisal Maroko dan sekitarnya.
Namun demikian, keberadaan sekte sempalan ini telah jauh hari tidak terdengar lagi kabarnya, dan yang tersisa hanya sekte induknya yaitu khawarij, yang secara data akan terus ada hingga akhir masa kelak.
Adapun orang orang yang saat ini dijuluki sebagai wahabi, maka sejatinya mereka bukanlah sekte khawarij, dan bahkan Syeih Muhammad bin Abdul Wahhab dan anak cucu murid beliau dikenal sangat keras memusuhi sekte Khawarij. Bahkan negri mereka termasuk negri pertama yang menjadi korban ulah para penganut paham Khawarij, pada tahun 1996, kota Khubar Saudi Arabia menjadi saksi aksi pengeboman besar yang menewaskan 19 orang dan melukai 498 orang. Dan selanjutnya terjadi pengeboman pengeboman dan aksi-aksi anarkis lainnya.
Dan semua orang juga mengetahui bahwa Saudi Arabia adalah salah satu negara yang dikenal memusuhi Al Qaedah yang merepresentasikan paham radikal dan sering bertindak anarkis. Kerja keras mereka dalam memerangi paham radikal baik dalam sekala regional ataupun internasional cukuplah sebagai buktinya. Sebagaimana telah berjuta-juta ummat Islam yang menunaikan ibadah Haji dan Umrah menyaksikan betapa berbagai tuduhan yang selama ini dilontarkan kepada Saudi Arabia terbukti salah.
Namun demikian, betapa banyak orang yang masih saja memaksakan anggapan bahwa Saudi, dan semua yang berbau Saudi Arabia, adalah penebar paham Wahabi dan paham radikal? Seakan akan mereka sengaja menutup mata dan telingan dari beribu-ribu bukti, tindak sosial semisal bantuan tanpa pamrih kepada saudara saudara kita korban sunami Aceh, persaksian berjuta juta jamaah Haji dan Umrah, dan lainnya.
Andaipun anggapan mereka benar, maka layakkah bila anda memaki dan mengobarkan api peperangan kepada mereka? Layakkah kobaran api dilawan dengan kobaran api serupa atau bahkan yang lebih besar?
Sobat, tidakkah sepatutnya kita meneladani sikap sahabat Ali bin Abi Thalib yang tergambarkan pada riwayat berikut..?
لما قتل علي رضي الله عنه الحرورية قالوا من هؤلاء يا أمير المؤمنين أكفار هم قال من الكفر فروا قيل فمنافقين قال إن المنافقين لا يذكرون الله إلا قليلا وهؤلاء يذكرون الله كثيرا قيل فما هم قال قوم أصابتهم فتنة فعموا فيها وصموا
Sebagian pasukan sahabat Ali bin Abi Thalib bertanya kepada beliau perihal orang-orang Khowarij yang baru saja berhasil beliau kalahkan:
Wahai Amirul Mukminin, siapakah sejatinya mereka itu, apakah mereka adalah orang-orang kafir ?
Beliau menjawab: Mereka itu menjauhi kekafiran.
Kembali ditanyakan kepada beliau: Apakah mereka itu orang-orang munafik ?
Beliau menjawab: Orang–orang munafik tidaklah mengingat Allah kecuali hanya sedikit, sedangkan mereka itu banyak mengingat Allah.
Kembali penanya berkata: Lalu siapakah sebenarnya mereka itu ?
Beliau menjawab: Mereka adalah orang-orang yang terjerat fitnah (kekacauan berpikir) hingga mereka menjadi buta, dan tuli. (Abdurrazzaq)
Beliau berkata demikian, padahal baru saja beliau selesai berperang melawan orang-orang Khawarij, yang tentunya banyak memakan korban harta bahkan korban jiwa.
Bahkan sebelum berperang beliau masih saja membuka ruang untuk menyelamatkan korban-korban paham radikal yang diajarkan oleh tokoh-tokoh khowarij. Beliau mengutus sahabat Abdullah ibnu Abbas radhiallahu ‘anhumaa untuk berdiskusi dengan mereka, dengan harapan mereka terbuka akal pikirannya dan kembali dari kesesatannya. Dan subhanallah, setelah diskusi, sekita 4.000 orang dari korban pemikiran radikal Khowarij sadar dan kembali kepada kebenaran.
Dan perlu dicamkan kembali bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib tidaklah menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan sekte khawarij, kecuali setelah mereka menumpahkan darah sebagian sahabat dan kaum muslimin.
Andai orang-orang yang selama ini tetap bersikukuh bahwa saudara mereka yang mereka anggap berpaham wahabi alias radikal dan anarkis, bersikap bijak seperti yang dicontohan oleh sahabat Ali Bin Abi Thalib dan juga sahabat Ibnu Abbas, niscaya terasa indah.
Namun apa yang terjadi, mereka meyakini saudara mereka bersikap anarkis, dan akhirnya dilawan dengan sikap anarkis, unjuk kekuatan, pengerahan masa, penyegelan masjid, makian, dan perang tuduhan yang tidak berkesudahan. Dan sikap sikap lain yang tidak sejalan dengan status negri kita sebagai negara hukum.
Paham radikal yang kemudian dilanjutkan dengan sikap anarkis, tidak mungkin ditumpas dengan kekuatan, karena pasti memakan banyak energi dan menyebabkan jatuh banyak korban. Paham menyimpang sepatutnya dilawan dengan paham yang benar, dan sikap anarkis dihadapi dengan akhlaq karimah. Dengan demikian kebenaran menjadi semakin nampak dan kebatilan menjadi tersibak. Demikianlah metode dakwah yang diajarkan dalam ayat berikut:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ {33} وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ {34}
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (Fusshilat 33-34)
Memang, mengobati sikap anarkis dan kebodohan dengan cara yang bijak dibutuhkan jiwa besar, dan ilmu yang luas.
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Fusshilat 35)
Dan sepanjang sejarah, kekerasan adalah argumen tarakhir yang orang orang bodoh, terlebih ketika telah kalah dalam berargumen, dan merasa memiliki kekuatan atau kekuasaan. Demikian dahulu yang hendak dilakukan oleh kaum nabi SYu’aib alaihi wa sallam:
قَالُواْ يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيراً مِّمَّا تَقُولُ وَإِنَّا لَنَرَاكَ فِينَا ضَعِيفًا وَلَوْلاَ رَهْطُكَ لَرَجَمْنَاكَ وَمَا أَنتَ عَلَيْنَا بِعَزِيزٍ
Mereka berkata: “Hai Syuaib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamu pun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami. (Huud 91)
Simak pula ucapan Azar ayah nabi Ibrahim ‘alaihi wa sallam setelah kalah berargumentasi:
قَالَ أَرَاغِبٌ أَنتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْراهِيمُ لَئِن لَّمْ تَنتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا
Berkata bapaknya: “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam (kulempari batu), dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama”. (Maryam 46)
Tanpa berbekalkan dengan ilmu dan kesabaran, niscaya anda tidak kuasa mengobatinya. Yang terjadi selaiknya, anda terseret dalam tindakan yang serupa, sehingga kekacauan semakin melebar dan kerusakan semakin besar. Anda terusik dengan tindak radikal dan ternyata tanpa disadari anda telah terseret bersama mereka dalam sikap anarkis dan radikal.
Sobat! Kekerasan tidak bisa diobati dengan kekerasan serupa, kebodohan tidak dapat diobati dengan kebodohan serupa. Karena itu bila anda meyakini bahwa ada sebagian dari saudara anda bersikap bodoh, maka obatilah dengan ilmu anda, ajari mereka, beri keteladan kepada mereka. Dan jika dirasa perlu, maka patahkan argumen mereka, melalui diskusi atau korespondensi yang ilmiyah. Dengan demikian orang-orang yang masih memiliki akal pikiran dan hati nurani dapat membandingkan dan kemudian kembali kepada jalan kebenaran sebagaimana yang terjadi pada pengikut paham khowarij yang berhasil disadarkan oleh Sahabat Ibnu Abbas radhiallalhu ‘anhuma.
Eh, bicara banyak tentang radikalisme, tapi kita lupa untuk menyebutkan definisi “radikalisme” yang layak dijadikan acuan dalam penilaian. Untuk urusan satu ini, maka BN-PT yang merupakan lembaga negara yang bertugas menangai masalah ini telah membuat definisi tentangnya. Menurut BN-PT Radikalisme ialah: “Tindakan yang melekat pada seseorang atau kelompok yang menginginkan perubahan, baik sosial, politik, dengan menggunakan paham kekerasan dan bertindak ekstrim”.
Demikian definisi radikalisme yang telah ditetapkan oleh BN-PT, bila demikian adanya, maka sekedar perbedaan sikap dan pendapat dengan budaya atau adat tidak serta merta dapat dianggap sebagai tindak radikal. Bahkan sebaliknya, memaksakan orang lain untuk merubah sikap atau pendapatnya agar sesuai dengan adat sebagian kelompok atau ritual sebagian golongan layak dianggap sebagai tindakan radikal. Wallahu Ta’ala a’alam bisshawab.
DR. Muhammad Arifin Badri, MA, حفظه الله تعالى