Boleh jadi, ada di antara kita yang–sebelum mendapatkan hidayah ketika masa SMA–menganggap enteng perbuatan mengambil harta orang lain tanpa jalan yang benar. Selepas pelajaran olah raga, langsung masuk ke kantin sekolah. Kondisi kantin yang ramai dengan anak-anak yang baru selesai pelajaran olah raga menyebabkan ada yang memanfaatkan kesempatan untuk berbuat dosa. Dia mengaku makan tiga potong gorengan padahal sebenarnya makan lima potong, atau mengaku minum satu gelas es padahal sebenarnya minum dua gelas. Setelah sekarang mendapatkan hidayah dan bertobat, apakah dia harus mencari ibu penjaga kantin sekolah lalu menyerahkan sejumlah uang pengganti gorengan atau es yang diambil dengan cara yang tidak benar, sambil berkata jujur menceritakan duduk permasalahan di masa lalu? Duh, malunya …. Adakah solusi lain?
Bagaimana pula dengan buku perpustakaan sekolah yang sampai saat ini belum kita pulangkan? Haruskah kita menemui penjaga perpustakaan dan menceritakan permasalah kita? Adakah solusi lain agar tidak terlalu merasa malu?
Simak jawabannya dari tanya-jawab berikut ini:
Pertanyaan, “Suamiku membeli beberapa barang dari orang kafir dengan menggunakan kartu kredit VISA, namun dia tidak menyerahkan uang pembayaran. Apakah perbuatan tersebut termasuk kategori pencurian?”
Jawaban, “Tidaklah diragukan bahwa siapa saja yang membeli sesuatu namun tidak menyerahkan uang pembayaran maka dia telah melakukan perbuatan yang haram dan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Adapun status pelakunya sudah tergolong pencuri atau bukan, boleh jadi dia tidak termasuk pencuri, dengan mempertimbangkan bahwa perbuatan mencuri–yang hukumannya dalam Islam potong tangan sebagaimana dalam QS. Al-Maidah:38–itu memiliki ketentuan-ketentuan, yang bisa saja, ketentuan tersebut tidak terpenuhi dalam kasus di atas. Meski demikian, bukan berarti perbuatan tersebut halal. Bahkan, perbuatan tersebut jelas-jelas haram!
Allah telah mewajibkan semua orang yang mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan untuk mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya. Siapa saja yang tidak melakukannya maka dia berhak mendapatkan hukuman dan kehinaan.
فعن أبي حميد الساعدي قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (والله لا يأخذ أحد منكم شيئاً بغير حقه إلا لقي الله يحمله يوم القيامة ، فلأعرفن أحداً منكم لقي الله يحمل بعيراً له رغاء ، أو بقرةً لها خوار ، أو شاة تيعر ، ثم رفع يده حتى رئي بياض إبطه يقول : اللهم هل بلغت ؟) رواه البخاري (6578) ومسلم (1832) .
Dari Abu Humaid As-Sa’idi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Demi Allah, semua orang yang mengambil sesuatu tanpa menggunakan cara yang benar itu pada hari kiamat nanti akan menghadap Allah sambil memikul sesuatu yang dia ambil tersebut. Sungguh, aku akan mengenal salah seorang kalian yang menghadap Allah sambil memikul unta yang bersuara, sapi yang bersuara, atau kambing yang sedang mengembik.’ Nabi kemudian mengangkat tangannya sehingga putihnya ketiak beliau pun tampak, lalu beliau berkata, ‘Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan?‘ (HR. Bukhari dan Muslim)
Orang yang mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar itu bisa mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya dengan cara-cara yang tepat tanpa harus mempermalukan diri sendiri.
Jika orang yang hartanya diambil itu, saat ini, berdomisili di suatu tempat yang kita tidak bisa mencapainya atau kita tidak mengetahui keberadaan orang tersebut maka uang senilai harta tersebut kita sedekahkan atas nama pemilik harta. Jika pada akhirnya kita berjumpa dengan pemilik maka kita sampaikan kepadanya dua opsi pilihan, yaitu rela dengan sedekah atas nama orang tersebut ataukah tetap meminta haknya. Jika dia memilih sedekah maka pahala sedekah tersebut untuk dirinya. Jika dia tidak rela dengan sedekah maka kita wajib memberikan haknya kepadanya sedangkan pahala sedekah itu menjadi hak kita jika kita telah benar-benar bertobat.
Syekh Ibnu Utsaimin mengatakan, ‘Jika Anda mencuri harta milik seorang individu atau pihak tertentu maka Anda berkewajiban untuk menemui orang tersebut dan menyampaikan kepadanya, ‘Ada harta Anda dalam tanggungan saya dengan nilai sekian,’ kemudian perdamaian antara keduanya adalah sebagaimana kesepakatan yang terjadi di antara keduanya.
Akan tetapi, cara di atas boleh jadi berat bagi banyak orang. Tidak mungkin bagi seorang mantan pencuri untuk menemui pemilik harta lalu secara langsung dan terus terang mengatakan, ‘Dahulu, aku mencuri harta milik Anda senilai sekian,’ atau mengatakan, ‘Dahulu, aku mengambil milik Anda dengan nilai sekian.’ Jika demikian kondisinya maka harta curian tersebut bisa Anda kembalikan dengan cara lain: dengan cara tidak langsung.
Misalnya: Anda serahkan harta tersebut kepada seseorang yang menjadi kawan dari pemilik harta lalu Anda sampaikan kepadanya bahwa harta ini adalah milik Fulan. Kemudian, Anda sampaikan kisah harta tersebut, lalu Anda tutup kisah tersebut dengan mengatakan, ‘Sekarang, saya sudah bertobat. Saya berharap agar Anda menyerahkan harta ini kepada Fulan (tanpa Anda perlu menceritakan kisah harta tersebut).’
Jika pencuri tersebut telah melakukan hal di atas maka sungguh Allah berfirman,
(وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً (الطلاق/2
‘Barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka akan Allah berikan kepadanya jalan keluar dari permasalahan yang dia hadapi.‘ (QS. Ath-Thalaq:2)
(وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً (الطلاق/4
‘Barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan memberika kemudahan untuk urusannya.‘ (QS. Ath-Thalaq:4)
Akan tetapi, jika Anda mencuri harta milik seseorang yang saat ini tidak Anda ketahui keberadaannya maka solusinya lebih mudah daripada kasus di atas. Cukup Anda sedekahkan harta curian tersebut kepada fakir miskin dengan niat pahala sedekah tersebut diperuntukkan pemilik harta. Dengan demikian, Anda telah bebas dari masalah.
Kisah yang dituturkan oleh Penanya mengharuskan kita untuk menjauhi perbuatan semisal itu. Boleh jadi, ada seseorang yang mencuri karena tidak berpikir panjang dan tanpa menimbang dampak buruknya. Setelah itu, dia mendapatkan hidayah. Akhirnya, dia harus bersusah payah agar terbebas dari dosa mengambil harta milik orang lain.’ (Fatawa Islamiyyah, juz 4, hlm. 162)
Terkait dengan kasus seorang tentara yang pernah mencuri, para ulama yang duduk di Lajnah Daimah mengatakan, ‘Jika dia mengetahui keberadaan pemilik harta atau mengenal orang yang mengetahui keberadaan pemilik harta maka wajib bagi mantan pencuri tersebut untuk melacak keberadaan pemilik harta lalu menyerahkan uang curian atau harta yang senilai dengan uang curian tersebut atau sejumlah harta yang menjadi kesepakatan di antara keduanya.
Jika dia tidak mengetahui keberadaan pemilik harta dan dia sudah putus asa untuk bisa melacaknya maka harta curian tersebut atau uang senilai harta curian tersebut disedekahkan kepada fakir miskin atas nama pemilik harta.
Jika pada akhirnya, pemilik harta bisa dilacak keberadaannya maka mantan pencuri tadi wajib menceritakan perbuatan yang telah dia lakukan. Jika pemilik harta rela dengan sedekah maka itulah yang diharapkan. Namun, jika ternyata dia tidak setuju dengan sedekah dan tetap meminta uangnya maka mantan pencuri wajib mengganti harta yang telah disedekahkan sedangkan pahala harta yang telah terlanjur disedekahkan itu menjadi milik orang yang bersedekah. Di samping itu, mantan pencuri ini wajib memohon ampunan kepada Allah serta bertobat dan mendoakan kebaikan untuk pemilik harta yang dulu pernah dia curi.’ (Fatawa Islamiyyah, juz 4, hlm. 165)”
Diterjemahkan dari http://www.islamqa.com/ar/ref/31234
http://pengusahamuslim.com/cara-mengembalikan-harta-curian