(Ust.Badrussalam, Lc)
Menilai kebenaran karena pengikutnya adalah orang-orang kaya, bangsawan, para ilmuwan dan orang-orang yang berkedudukan. Adapun bila pengikutnya rakyat jelata dan orang-orang lemah, ia anggap sesuatu yang batil.
Ini adalah parameter kaum jahiliyah yang tertipu dengan kedudukan dan pangkat. Dahulu para Nabi diikuti oleh orang-orang yang lemah.
Dalam Shahih Bukhari disebutkan kisah perbincangan raja Heraklius dengan Abu Sufyan yang masih kafir.
Diantara pertanyaan Heraklius tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, “Apakah pengikutnya dari kalangan rendahan atau para bangsawan?”
Abu Sufyan menjawab, “Justru kebanyakan dari kaum yang lemah.”
Padahal dahulu kaum ‘Aad dan Tsamud adalah kaum yang kuat dan berkedudukan. Namun Allah menghancurkan mereka akibat kekafiran mereka.
Di zaman ini, masih banyak orang yang yang mempunyai parameter seperti ini. Bila yang berbicara orang tidak punya titel ia acuhkan, walaupun yang diucapkan adalah kebenaran. Tapi bila yang mengucapkannya adalah orang yang bertitel apakah itu profesor atau doktor atau pejabat tinggi, maka ia anggap sebagai sebuah kebenaran.
Padahal kebenaran tidak terletak pada titel atau kedudukan. Kebenaran adalah yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Yang dapat mengikuti dakwah para Nabi hanyalah orang-orang yang menundukkan dirinya di hadapan Rabbnya dan membuang semua kesombongan dan keangkuhannya.
Adapun orang yang tertipu oleh kecerdasan, kekayaan dan kedudukan, amat sulit untuk tunduk dan taslim kepada Rabbnya. Masih menimbang-nimbang dengan akalnya, kekayaan dan kedudukan yang ia banggakan.
Maka sungguh mengagumkan orang yang tidak tertipu oleh semua itu, lalu ia tunduk dan mengakui kelemahannya di hadapan sang pencipta. Ia mengakui dirinya seorang hamba, kalaulah bukan karena Allah yang memberinya nikmat tentu ia akan binasa.