1⃣ Mahram adalah wanita yang dilarang bagi lelaki untuk menikahinya (Shahih Fiqh Sunnah III/71).
2⃣ Di antara mahram seorang laki-laki adalah ibu mertua dan menantu perempuan, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ … وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ … وَحَلآَئِلُ أَبْنَآئِكُمُ …“
Diharamkan atas kamu (mengawini) … ibu-ibu isterimu (mertua)… (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)…” (QS. An-Nisaa’: 23)
Contoh:
Muflih menikahi Ela. Ibunya Ela (bahkan termasuk neneknya Ela dari jalur ibu dan bapaknya) menjadi mahram Muflih. Bapaknya Muflih pun menjadi mahram Ela.
3⃣ Mertua dan menantu menjadi mahram dengan semata-mata sahnya akad nikah suami istri, sekalipun mereka belum berhubungan badan. (Al-Wajiz Syaikh Abdul Azhim Badawi hal. 293, Syarh Zaadil Mustaqni’ Syaikh Shalih Fauzan hal.462).
Ini berdasarkan keumuman QS. An-Nisaa’: 23 di atas.
4⃣ Perlu dicermati bahwa “menantu” tidak sama dengan “anak perempuan istri”.
#Menantu menjadi mahram dengan semata-mata akad nikah, walau belum berhubungan badan.
#Anak perempuan istri (dari suami lama) baru menjadi mahram suami baru jika si istri telah digauli suami barunya.
Contoh:
Zainab ditinggal wafat suaminya. Keduanya punya anak, Maryam. Zainab menikah lagi dengan Zaid. Maka, Maryam baru menjadi mahram Zaid bila Zaid telah menggauli Zainab.
5⃣ Terdapat kaidah yang dapat memudahkan memahaminya:
العقد على البنات يحرم الأمهات والدخول بالأمهات يحرم البنات
“Akad dengan anak perempuan mengharamkan para ibunya, dan persetubuhan dengan para ibu mengharamkan anak perempuan.” (Syarh Mukhtashar Khalil, Al-Khurasyi 9/12, Hasyiyah Ad-Dasuqiy ‘ala Syarh Al-Kabir 8/23, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah 4/38, Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan 98/13)
6⃣ Hubungan mahram dengan ibu mertua ini adalah untuk selamanya (mu’abbad). Artinya, sekalipun seorang suami sudah mentalak istrinya, maka mertua tetap mahram menantu.
Muflih Safitra, حفظه الله تعالى