Memakai baju Najis bagi banyak orang menjadi masalah yang berat dan dianggap larangannya berlaku dalam segala kondisi. Padahal sejatinya tidaklah demikian. Baju Najis hanya terlarang untuk dikenakan bila hendak mendirikan shalat atau ibadah lain yang dipersyaratkan agar dalam kondisi suci semisal thowaf menurut mayoritas ulama.
Dengan demikian bila Anda ditanya: bolehkah mengenakan baju Najis? Maka pertanyaan ini harus dijawab dengan terperinci, tidak bisa dijawab dengan satu jawaban, alias kondisional.
Apalagi bila yang bertanya ternyata dalam kondisi terpaksa, alias tidak ada pilihan selain mengenakan baju Najis atau telanjang bulat.
Fleksibilitas berpikir dan penilaian menjadi salah satu kriteria bagi pelajar ilmu fiqih.
Sebagaimana kemampuan memprediksi berbagai perbedaan kondisi yang ada, sebab dan akibat setiap masalah, juga menjadi kriteria selanjutnya.
Orang yang kaku dalam menerapkan ilmu fiqih, menutup mata dari perbedaan kondisi yang menyelimuti kasus, maka ia tidak layak belajar ilmu fiqih dan kalau tetap memaksakan diri apalagi sampai berfatwa maka berbahaya bisa mencelakakan ummat.
Dahulu ada seorang sahabat yang terluka parah di kepalanya, namun ia bermimpi basah. Oleh sebagian sahabat difatwakan agar ia mandi besar dengan tetap menyiram kepalanya, dan ternyata setelah mandi lelaki tersebut meninggal dunia.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar kasus ini beliau murka dan bersabda:
قتلوه قاتلهم الله الا سألوا اذ لم يعلموا فانما شفاء العي السؤال
Merekalah yang telah membunuh lelaki itu, semoga Allah memerangi mereka. Mengapa mereka tidak bertanya ketika menyadari bahwa dirinya tidak tahu ? Karena sejatinya penawar kebodohan adalah bertanya (kepada yang berilmu). Riwayat Ahmad, Abu Dawud dll.
Fiqih itu membutuhkan keluwesan bukan asal berani bicara lantang suaranya, namun fiqih membutuhkan keteguhan dalam menetapi dalil dengan metode pendalilan yang jelas.
Orang orang yang terjangkiti kemalasan berpikir, atau yang berprinsip: asal mantap atau sebaliknya asal mudah tidak layak belajar fiqih, karena kebenaran tidak diukur dari itu semua namun dari kebenaran dalil dan ketepatan pendalilan.
Sekedar hafal dalil belum cukup sampai ia mampu menerapkan dalil dengan tepat alias menguasai metodologi pendalilan yang benar. Semoga bermanfaat.