Saat Semua Berpaling – Kisah Ka’ab bin Malik, Rodhiyallahu ‘Anhu… Part # 6

Bergemuruh dada Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu ketika membaca surat dari Raja Ghassan (baca Part # 5). Sebuah pesan yang menyampaikan tawaran pelayanan raja kaum nasrani di Palestina yang dapat mengobati derita hukuman isolasi sosialnya di Kota Madinah akibat dari kelalaiannya luput mengikuti ajakan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam pada perang Tabuk. Pun tentunya yang notabene tawaran pelayanan dari Raja Ghassan tersebut ditebus dengan konsekuensi menggadaikan keimanan Islam & kesetiaannya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa Sallam.

Inilah salah satu sunnatullah dalam kehidupan manusia, di mana datangnya ujian ketika berada di titik nadir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

احسب الناس ان يتركوا ان يقولوا ءامنا وهم لا يفتنون – ولقد فتنا الذين من قبلهم فليعلمن الله الذين صدقوا وليعلمن الكذبين

”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS Al-Ankabuut 2-3).

Inilah sebuah ujian yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita pada masa-masa yang genting dengan membukakan lebar pintu-pintu kesempatan bermaksiat serta akses kemudahan maksiat lainnya. Tak luput manusia sekaliber Ka’ab bin Malik RadhiAllahu’anhu pun mendapatkan ujian ini.

Sebuah tawaran indah dunia bagi Ka’ab yang datang ketika belumlah kering luka sesak hati Ka’ab diacuhkan sahabat yang sekaligus sepupunya, yakni Abu Qatadah. Tak ayal membaca tawaran yang tersurat dari Raja Ghassan tersebut membuat gemuruh dada Ka’ab.

Namun gemuruh hati Ka’ab bukanlah karena hatinya melemah, bukanlah karena pendiriannya tergoyah, namun karena amarah. Amarah yang terbit dari keimanan Islam yang ‘bermental baja’, hingga-hingga sesampainya di rumah, Ka’ab membakar surat tersebut dan meninggalkan jauh-jauh perkara tawaran manis dunia tersebut. Pembakaran surat tersebut pun merupakan simbol sebuah teguhnya sikap dalam membawa diri dalam menjauhi kemaksiatan.

Demikiannya pada diri kita, wajiblah kiranya bagi kita menyiapkan diri dengan baik ketika ujian ini dihadapkan kepada diri kita oleh Allah Jalla Jalaluhu. Jangan sampai tergoyahkan dan kesempatan maksiat malah kita sambut dengan suka cita, yang tentunya kondisi mudah terlena kenikmatan maksiat dunia adalah perwujudan dari iman ‘bermental kerupuk’, jauh dari iman yang ‘berkekuatan mental baja’.

Indah jika pada saat ujian itu terjadi di hadapan kita, justru penyikapan kita harus bisa mengatakan TIDAK dan menutup segera pintu menuju kemaksiatan-kemaksiatan yang ada.

Kita kembali pada kisah Ka’ab, hari demi hari hukuman sanksi pengucilan dijalaninya. Menginjak fase pekan demi pekan, hingga menginjak 40 hari lamanya dari total 50 hari hukuman yang dijatuhkan. Dan tiada hari yang membahagiakan dilalui Ka’ab, Murarah dan Hilal yang menyempitkan rasa hati mereka, kecuali dengan dukungan setia dari istri mereka masing-masing.

Inilah faidah rumah tangga yang Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam ajarkan, di mana peran istri dalam mendukung suami sangatlah besar. Demikian besarnya hingga Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam perintahkan; istri adalah pengecualian di dalam kasus hukuman mendiamkan. Sehingga para istri masih merespon dan melayani mereka masing-masing.

Pun tak dapat dipungkiri, para ketiga sahabat tersebut dapat bertahan menjalani hukuman yang ada dengan pertolongan Allah melalui dukungan para istri dan anak-anak mereka masing-masing.
Inilah resep survive yang diajarkan dalam agama Islam. Jika kita ingin dapat melalui ujian yang berat, maka kita harus memiliki istri yang tegar dalam mendukung kita. Jika kita ingin dapat menghadapi rintangan kehidupan yang menantang, kita harus memiliki istri yang dapat matang dalam berpikir. Sehingga seorang suami senantiasa dapat mengandalkan istrinya. Karena istri adalah kekuatan.

Demikiannya peran istri sangat luar biasa. Oleh karena itu, cara menjadi istri yang tegar dan cara menjadi istri yang matang dalam berpikir, serta cara menjadi istri yang senantiasa dapat diandalkan oleh suami ialah tiada jalan lain kecuali kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena pondasi paling kuat untuk menjadi tegar adalah iman kepada takdir, setelah iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Namun apa daya, pada hari ke 40 tibalah utusan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam tiba menyampaikan berita, bahwa ketiga sahabat yang sedang menjalani hukuman untuk menjauhi istri mereka masing-masing. Mendengar berita tersebut, Ka’ab mengkonfirmasi berita tersebut kepada utusan yang membawa berita:
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan padamu supaya engkau menyendirikan isterimu.”
Ka’ab bertanya:
“Apakah saya harus menceraikannya ataukah apa yang harus saya lakukan?”
Ia berkata:
“Tidak usah menceraikan, tetapi menyendirilah daripadanya, jadi jangan sekali-kali engkau mendekatinya.”

Begitu jelas didengar instruksi dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, Ka’ab langsung berkata kepada istrinya:
“Istriku mulai detik ini pulanglah ke rumah orangtuamu, tinggal di sana, kita lihat apa yang Allah putuskan untuk rumah tangga kita.”
Inilah tanggapan orang yang beriman. Inilah yang membedakan Ka’ab dengan kita kebanyakan. Tidak ada reaksi yang ”baper” (terbawa perasaan –Red). Begitu mendengar, langsung dilaksanakan. Dan semua dijalankan meluncur di atas iman yang tebal.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS: An Nisa: 65).

Karena inilah inti dari makna menjadi muslim, yakni menyerah. Menyerah kepada ketentuan Allah Jalla Jalaluhu.

Selanjutnya, Ka’ab melanjutkan kisahnya dengan menceritakan bagaimana istri Hilal menghadap kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam untuk memohon dispensasi meninjau keringanan hukuman karena kondisi Hilal yang sudah berlanjut usia dan tidak ada aktivitas yang dilakukan hanya menangisi dengan sesal atas kekhilafannya.

Pun pantas kita memetik hikmah, bagaimana istri seorang Hilal bin Umayyah al-Waqifi yang setia berkhidmat untuk melayani suaminya dalam kondisi apapun. Sehingga dengan kondisi demikian Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam mengizinkan dispensasi kepada istri Hilal untuk dapat tetap melayani suaminya.

Mendengar kondisi dispensasi tersebut, para keluarga Ka’ab pun menganjurkan kepada Ka’ab untuk memohon dispensasi serupa kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam. Namun mendengar anjuran tersebut dari keluarganya, maka Ka’ab pun berkata:
“Saya tidak akan meminta izin untuk isteriku itu kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, saya pun tidak tahu bagaimana nanti yang akan diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam sekiranya saya meminta izin pada beliau perihal isteriku itu – yakni supaya boleh tetap melayani diriku? Saya adalah seorang yang masih muda.

Demikiannya Ka’ab memilih untuk menghabiskan 10 hari terakhir di masa hukumannya dengan menyendiri. Terkait hal ini, Ibnu Qayyim Al Jauziyah pada kitab Zadul Maad melakukan bedah pada kasus khusus ini, terkutip pendapat Ibnu Qayyim yang senada dengan ulama-ulama terdahulu; karena Allah berkehendak kepada 3 orang sahabat tersbut menjalani 10 hari terakhir hukumannya dengan fokus penuh beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana Allah meminta kita untuk beritikaf di bulan Ramadhan, dan menghabiskan 10 hari terakhir dengan fokus beritikaf.

Kenapa?

Karena 10 hari terakhir tersebut adalah babak final. Adalah sebuah prime time. Adalah sebuah golden moment. Allah ingin kita habis-habisan beribadah, karena sudah mendekati garis finish. Agar banyak bersujud kepada Allah. Agar banyak beristighfar kepada Allah. Karena Allah akan menyelesaikan masalah-masalah kita dengan cara kita meningkatkan ibadah kepada Allah.

Karena jalan keluar dari masalah-masalah kita adalah bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

{ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3).

Serta merta beribadah ialah fokus semata yang dilakukan ketiga sahabat tersebut. Tiada hari kian berganti dan berlalu adanya sujud, dzikir, istighfar, dan beribadah kepada Allah. Hingga tibalah waktu subuh pada hari ke 50.

Apa yang terjadi di hari ke 50 pada Ka’ab, Hilal dan Murarah?
Insya Allah akan kita bahas pada kajian berikutnya.

Bersambung di PART # 7
Baca kisah sebelumnya di
PART # 5
PART # 4
PART # 3
PART # 2
PART # 1

Muhammad Nuzul Dzikri, حفظه الله تعالى
Courtesy of The Rabbaanians
https://www.facebook.com/therabbaanians/posts/1636565783313885:0

Video Kajian :

Raihlah pahala dan kebaikan dengan membagikan link kajian Islam yang bermanfaat ini, melalui jejaring sosial Facebook, Twitter yang Anda miliki. Semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala membalas kebaikan Anda.