Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata :
الإنسان لو اغتاب شخصا داعية سوء وعينه باسمه ليحذر الناس منه، فإن هذا لا بأس به، بل قد يكون واجبا عليه، لما في ذلك من إزالة الخطر على المسلمين، حيث لا يعلمون عن حاله شيئا.
“Seseorang seandainya dia mengghibahi seorang da’i yang jahat (menyimpang) dan menyebutkan namanya agar orang lain mewaspadainya, maka sesungguhnya hal ini tidak mengapa, bahkan bisa menjadi wajib atasnya, karena pada perbuatan tersebut terdapat upaya melenyapkan bahaya yang mengancam kaum muslimin, karena mereka tidak mengetahui tentang keadaan dai yang jahat tersebut” (Nuurun Alad Darb, kaset no. 158 side A)
MEMBANTAH KESALAHAN YANG TERSEBAR BUKAN TERMASUK GHIBAH YANG DIHARAMKAN
Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata :
رد المقالات الضعيفة وتبيين الحق في خلافها بالأدلة ليس هو مما يكرهه العلماء، بل مما يحبونه ويمدحون فاعله ويثنون عليه، فلا يكون داخلا في الغيبة.
“Membantah pendapat-pendapat yang lemah dan menjelaskan kebenaran yang menyelisihi pendapat-pendapat yang lemah tersebut berdasarkan dalil-dalil bukan termasuk yang dibenci oleh para ulama, bahkan termasuk yang mereka sukai dan mereka puji dan sanjung pelakunya, jadi hal itu bukan termasuk ghibah” (Al-Farqu Bainan Nashihah wat Ta’yir hal 3)
Sebagian orang berkata kepada Imam Ahmad rahimahullah bahwa berat baginya untuk berkata si B itu begini dan si C itu begitu (dalam rangka memperingatkan umat dari kebid’ahannya), maka Imam Ahmad pun berkata : “Jika kamu diam dan aku juga diam, maka kapan orang bodoh itu tahu mana yang benar dan mana yang salah ?” (Majmu’ Fatawa 28/231).
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya :
“Mana yang lebih engkau sukai, seseorang berpuasa, shalat dan beri’tikaf atau dia membicarakan (penyimpangan) ahlul bid’ah ?” Maka beliau menjawab : “Kalau dia berpuasa, shalat dan beri’tikaf maka hal itu untuk dirinya sendiri, tapi kalau membicarakan (penyimpangan) ahlul bid’ah maka ini untuk dirinya dan kaum muslimin dan ini lebih utama“
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
“Seandainya Allah tidak memilih orang yang dapat menolak bahaya ahlul bid’ah maka rusaklah agama ini. Dan kerusakannya lebih dahsyat dari pada kerusakan yang ditimbulkan oleh musuh dari kalangan ahli perang, karena mereka jika telah menguasai tidak akan memulai dengan merusak hati serta agama kecuali terakhir. Adapun ahli bid’ah mereka langsung merusak hati” (lihat Majmu’ Fatawa 28/231-232).
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata bahwa boleh melakukan ghibah jika :
(1). Mengadukan tindak kezaliman kepada penguasa atau pada pihak yang berwenang. Seperti mengatakan : “Fulan telah menzhalimiku”
(2). Meminta tolong agar dihilangkan dari suatu perbuatan mungkar dan untuk membuat orang yang berbuat kemungkaran tersebut kembali pada jalan yang benar.
Seperti meminta pada orang yang mampu menghilangkan suatu kemungkaran : “Fulan telah melakukan tindakan kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar lepas dari tindakannya”
(3). Meminta fatwa kepada seorang mufti seperti seorang bertanya mufti : “Saudara kandungku telah menzhalimiku demikian dan demikian. Bagaimana caranya aku lepas dari kezaliman yang ia lakukan”
(4). Mengingatkan kaum muslimin terhadap suatu kejelekan seperti mengungkap jeleknya hafalan seorang perowi hadits.
(5). Membicarakan orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan bid’ah, bukan pada masalah lainnya. Yaitu boleh menyebutkan apa-apa yang dia lakukan secara terang-terangan tadi, namun tidak diperbolehkan membicarakan aibnya yang lain, kecuali memang ada sebab-sebab tertentu yang membolehkan.
(6). Menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah ma’ruf dengannya, seperti menyebutnya si buta. Namun jika ada ucapan yang bagus, maka itu lebih baik (Syarah Shahih Muslim 16/124-125)
Ustadz Najmi Umar Bakkar, حفظه الله تعالى