Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri, MA, حفظه الله تعالى
Tiga sebutan di atas adalah tiga model kepemimpinan, yang tentunya memiliki metode dan cara yang berbeda.
Pada saat ini saya tidak ingin membandingkan antara ketiganya secara terperinci, apalagi memilihnya, karena saat ini bukan kapasitas kita semua apalagi saya seorang diri untuk menentukan pilihannya. Saat ini kita hanya mengikuti atau lebih tepatnya hanya menjadi penonton dan obyeknya saja, sedangkan wewenang memilihnya ada di tangan orang lain.
Saya hanya mengajak anda sedikit merenung, bahwa ketiga model kepemimpinan di atas sejatinya hanyalah sarana dan cara. Sedangkan intinya terletak pada apa dan bagaimana ketiga model pemimpin di atas dalam menjalankan roda roda pemerintahannya.
Kalaupun modelnya adalah kerajaan namun bila yang dijadikan pedoman kepemimpinannya adalah produk manusia dan dan dijalankan dengan semena-mena maka tidak ada artinya.
Bahkan kalaupun sistemnya disebut dengan khilafah, namun bila yang dijalankan adalah peraturan hasil rekayasa manusia ditambah lagi peraturan itu dijalankan secara sewena wena maka, juga tiada artinya.
Apalagi bila sistemnya adalah sistem demokrasi atau sistem hasil rekayasa menusia lainnya.
Saudaraku! Saya mengangkat tema ini karena sedang kepikiran tentang sikap konyol segelintir orang yang mencemooh sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memilih sistem kerajaan, seakan sistem kerajaan adalah dosa besar atau bahkan bentuk kekufuran yang wajib diperangi.
Namun di saat yang sama mereka rajin meratapi keluarga atau cucu cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak dipilih menjadi pemimpin, seakan sistem kerajaan dengan proses turun temurunnya itu adalah satu kepastian yang tidak boleh diganggu gugat.
Sebagian sekte sesat saat ini rajin mengangkat isu ini sebagai jargon mereka dalam mempropagandakan paham sesatnya. Mereka berkedok sebagai pembela dan simpatisan cucu cucu keturunan Nabi yang dalam sejarah islam tidak seorangpun dari mereka dipilih menjadi khalifah atau pemimpin, kecuali sahabat Hasan bin Ali saja.
Saudaraku! Anda pasti tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah seorang raja, sehingga wajar bila kepemimpinan di tengah tengah ummatnya ditentukan dengan cara syura’ (musyawarah, bukan dengan sistem turun temurun). Karena itu waspadalah terhadap propaganda murahan mereka yang berusaha mempermainkan perasaan anda.