Tamu Ngajak Debat…

Ust. DR. Muhammad Arifin Badri, Lc, MA حفظه الله تعالى

Suatu pagi saya mendapat telpon dari seseorang yang tidak saya kenal. Ia menyatakan ingin berjumpa dengan saya, namun karena kesibukan akhirnya saya sepakat untuk menerimanya bertamu di sore hari.

Di sore hari, betul saja kembali orang tersebut menghubungi saya dan via telpon saya memandunya untuk bisa menemukan alamat rumah saya. Setelah beberapa kali saya pandu via telpon, tetap saja orang itu kesulitan menemukan alamat rumah saya, hingga akhirnya saya menjemputnya di satu tempat, untuk saya ajak ke rumah

Setibanya di rumah, saya segera mempersilahkannya masuk ke rumah saya. Namun betapa terkejutnya saya, belum sempat tamu tersebut duduk, sambil berdiri ia langsung mengajukan pertanyaan, tentang hukum azan dua kali untuk shalat Jum’at.

Mendapat pertanyaan yang tegesa gesa seperti ini, saya tidak segera menjawab, namun saya berkata kepada tamu saya: silahkan duduk terlebih dahulu, dan selanjutnya kita berkenalan.

Saya belum mengenal saudara, tentu kurang etis bila langsung bertanya jawab, apalagi tentang masalah yang potensi menimbulkan salah paham semacam ini. Sebagaimana saya juga tidak etis untuk berbicara tentang berbagai hal padahal saya belum menyuguhkan jamuan apapun kepada saudara.

Segera kamipun berkenalan, tamu saya memperkenalkan dirinya, dan sayapun memperkenalkan diri saya. Dan tidak selang berapa lama, saya menyuguhkan minuman secangkir teh hangat dan beberapa makanan ringan.

Nampaknya tamu saya yang satu ini sudah gatal ingin segera menanyakan masalah hukum azan dua kali untuk shalat jum’at. Tanpa banyak basa basi, ia berkata: iya, masalah saya tadi bagaimana? Apa pendapat ustadz tentang azan dua kali untuk sholat jum’at, bid’ah atau bukan?

Saya menanggapi pertanyaan tamu saya itu dengan berkata: waah, nampaknya saudara ini menggebu gebu menanyakan masalah ini, gerangan ada apa?

Ia kembali berkata: saya ingin mengetahui pendapat ustadz .
Saya menjawab: azan dua kali untuk shalat Jum’at adalah sunnah, karena dilakukan oleh sahabat Utsman bin Affan yang kita diperintahkan untuk meneladani sunnah-sunnahnya.

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku (keteladanan dariku) dan juga keteladanan dari para khulafa’ ar rasyidin yang mereka itu selalu mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya, dan gigitlah keteladanan mereka dengan gigi gerahammu.” (Abu Dawud dll)

Mendengar jawaban saya, tau tersebut berkata: loh kok boleh sih, saya tuh berharapnya sampeyan (anda) menjawab tidak boleh, bisa jadi rame.

Giliran saya yang terperangah; mendengar ucapan tamu tersebut, sehingga saya balik bertanya: lo, memangnya saudara ini mau berkelahi atau mau bertanya? Kalau mau berkelahi bukan disini tempatnya. Kalau mau berkelahi, gampang saja, pergi ke pasar, langsung pukul siapapun yang saudara mau, pasti segera mendapatkan lawan perkelahian.

Tamu saya tersebut kembali berkata: saya itu ke sini dengan harapan ustadz menjawab: azan dua kali adalah bid’ah, agar bisa jadi rame. Lalu bagaimana dengan qunut shubuh, bid’ah atau bukan?

Saya menjawab: qunut shubuh diperselisihkan oleh para ulama’ ada yang mengatakan sunnah diantaranya Imam Syafii, dan ada yang menangatakanbid’ah. Perbedaannya berawal dari perbedaan merka dalam menyikapi hadits hadits tentang qunut shubuh. Walau demikian, saya tetap sholat di belakang orang yang qunut shubuh. Dan bahkan bukan sekedar sholat, saya juga turut mengaminkan doa qunut mereka. Walaupun kalau saya yang jadi imam atau sholat sendiri maka saya tidak akan baca qunut subuh. Apa yang saya amalkan ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam:

إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ

“Sejatinya adanya imam itu untuk diikuti.” (Muttafaqun ‘alaih)

Berdasarkan keumumam hadits ini, maka saya tetap mengkuti imam yang membaca doa qunut dengan cara mengaminkannya. Walaupun ketika saya sholat sendiri atau menjadi imam maka saya tidak membaca qunut.

Lagi, lagi tamu tadi berkata: loh kok gitu sih sikapnya, saya tuh mengharapnya ustadz mengatakan qunut itu bid’ah, biar ramai diskusinya.

Karena tamu saya yang satu ini nampaknya bernafsu untuk diskusi, maka saya akhirnya membuka pintu dan berkata: kalau memang saudara mengajak diskusi saya, maka saya siap melayani. Mau diskusi seputar mazhab Syafii, saya juga siap, kebetulan semasa menempuh pendidikan S2, disertasi saya seputar mazhab Syafii. Dan kalau mau diskusi dengan media kitab, maka silahkan pilih kitab di perpustakaan saya ini, saya akan layani. Diskusi dengan bahasa indonesia saya siap dan dengan bahasa arab juga siap.

Mendengar pernyataan saya ini, tamu saya yang semula nampak menggebu gebu untuk diskusi, segera berubah sikap.

Perubahan sikap ini, menjadikan saya menarik satu kesimpulan: nampaknya tamu saya ini telah menyiapkan dirinya untuk diskusi seputar dua masalah di atas.

Namun karena ternyata saya membolehkan azan dua kal untuk sholat jum’at dan menjelaskan bahwa qunut shubuh adalah masalah khilafiyah dan saya bersikap ikut mengaminkan doa imam, maka seakan tamu saya kehabisan bekal.

Akibatnya, tamu saya tersebut merubah tema pembicaraan dengan bercerita ngalor ngidul tentang perjalanan hidupnya dari satu pondok ke pondok lain, hingga akhirnya menjadi mantu seorang kiyai pengasuh pondok.

Raihlah pahala dan kebaikan dengan membagikan link kajian Islam yang bermanfaat ini, melalui jejaring sosial Facebook, Twitter yang Anda miliki. Semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala membalas kebaikan Anda.