Ustadz Muhammad Arifin Badri, حفظه الله تعالى
Sobat! Anda gemar minum kopi? Bila anda gemar minum kopi, menurut anda kopi manakah atau merek apakah yang paling lezaat?
Bisa jadi anda akan berkata : kopi lampung, atau kopi luwak, atau bias pula kopi gayo aceh dan bisa pula yang lain.
Namun demikian tahukah anda, sebenarnya yang menyebabkan secangkir kopi terasa lezat dan begitu berkesan bukan sekedar “kopi”nya. Namun kelezatan kopi begitu tergantung pada keahlian anda dalam meramunya. Komposisi yang tepat antara kopi, gula dan air panas menentukan lezatnya kopi anda.
Bila anda mampu meramu kopi dengan gula dengan tepat, niscaya kopi anda terasa beeeegitu leezaat, hingga terkesan sampai ke hati, dan akhirnya: waaaah, puaaas dan mantaaap.
Namun bila anda salah komposisi, sehingga 2/3 cangkir kopi diseduh dengan sesendok gula, atau sebaliknya 2/3 cangkir gula dicampur dengan sesendok kopi, pastilah menghasilkan secangkir kopi yang mengecewakan.
Inilah resep rahasia secangkir kopi lezat yang lezatnya begitu mengesankan, dan resep rahasia ini sejatinya juga resep lezatnya kehidupan.
Sebagai seorang suami, bila hanya pandai menuntut hak, dan kurang pandai menunaikan kewajiban niscaya rumah tangga anda terasa pahit sepahit kopi pahit atau bahkan lebih. Demikian pula sebaliknya, bila seorang istri hanya pandai menuntut hak tanpa pandai menunaikan kewajibannya.
Sebagai seorang murid yang hanya pandai menuntut hak dan malas menunaikan kewajiban kepada guru pastilah menjadi murid paling sial, sebagaimana guru yang tiada henti menunut hak penghormatan tanpa menyadari akan kewajibannya menyayangi muridnya, tentu saja ia adalah guru yang paling arogan.
Seorang anak yang terus menerus menuntut haknya sebagai seorang anak tanpa peduli dengan kewajibannya kepada orang tua adalah anak durhaka. Sebagaimana orang tua yang hanya menuntut haknya tanpa sudi menunaikan kewajibannya pastilah menjadi orang tua yang paling bengis dan kejam. Karena itu, dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan pentingnya keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam segala hal. Sebagai contohnya sebagaimana yang beliau tekankan pada keseimbangan antara hak orang tua dengan hak anak muda:
مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرِنَا فَلَيْسَ مِنَّا
Orang yang tidak menyayangi orang yang lebih muda dan tidak menunaikan hak orang yang lebih tua bukanlah dari golongan kami. (Ahmad, Abu Dawud dan lainnya).
Dan demikian seterusnya dalam segala urusan hidup ini, komposisi yang berimbang antara hak dan kewajiban adalah resep manjurnya. Karena itu, sebelum anda menuntut hak, alangkah indahnya bila anda terlebih dahulu bertanya kepada diri sendiri: sudahkah saya menunaikan kewajiban saya?